Surabaya (ANTARA News) - Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Harjono menegaskan bahwa hasil putusan MK mengenai Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur (Pilkada Jatim) 2013 sudah final serta tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun dan dengan alasan apapun.

"Keputusan MK sudah final dan tidak ada lagi peninjauan kembali, termasuk sidang gugatan PHPU Pilkada Jatim," ujarnya kepada wartawan di sela-sela Seminar dan Pembekalan Hukum Acara Penyelesaian Perkara PHPU Legislatif 2014 di DPD Partai Golongan Karya (Golkar) di Surabaya, Jumat.

Sejumlah pihak sempat memunculkan pendapat bahwa Pilkada Jatim akan diulang berkaitan dengan kasus suap terhadap mantan Ketua MK Akil Mochtar.

Oleh karena itu, Harjono mengatakan, apapun kabar dan informasi yang berkembang, maka pihaknya memastikan tidak akan ada pilkada ulang di Jatim, dan putusan MK yang memenangkan pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa) sudah final.

"Isu apapun tidak bisa mempengaruhi hasil putusan MK," kata hakim konstitusi kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, yang juga doktor lulusan Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH Unair) pada 1994 tersebut.

Terkait kabar bahwa ada seseorang yang mencoba mempengaruhi hakim MK sebelum pengambilan keputusan, Haejono menyerahkan hal itu ke ranah hukum dan harus dipertanggungjawabkan secara hukum dan prosedur yang berlaku.

Pengamat politik dari Universitas Negeri Surabaya Ali Imron menilai, merebaknya isu kasus suap terhadap mantan Ketua MK Akil Mochtar yang meminta uang Rp10 miliar dalam sengketa Pilkada Jatim hendaknya tidak dimanfaatkan oleh pihak tertentu.

Menurut dia, pelantikan pasangan Gubernur Soekarwo dan Wakil Gubernur Saifullah Yusuf pada 12 Februari 2014 tidak akan terpengaruh oleh isu suap itu.

Ali juga mengingatkan, agar semua pihak menghormati hasil putusan MK yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.

"Pelantikan akan tetap jalan terus karena putusan MK bersifat mengikat secara hukum dan tidak bisa dibatalkan oleh lembaga manapun," katanya.

Ia menilai, kasus dugaan suap Pilkada Jatim Jatim merupakan persoalan hukum, sehingga tidak bisa diseret ke ranah politik, apalagi dijadikan manuver dan muncul upaya penjegalan pelantikan pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf.

"Persoalan hukum sepenuhnya wewenang instansi penegak hukum, jadi jangan diseret ke politik praktis. Biarlah KPK bekerja menyelesaikan dan mengungkap fakta sebenarnya," demikian Ali Imron. (*)