Korban kejahatan siber terkait keuangan biasanya kaum "kepompong"
9 Juni 2024 19:46 WIB
Tangkapan layar - Ketua Komite Keamanan Siber Perbanas, Wani Sabu dalam seminar daring di sela kegiatan Jakreatifest 2024, Minggu (9/6/2024). ANTARA/Lia Wanadriani Santosa/am.
Jakarta (ANTARA) - Pakar keamanan siber dari Perhimpunan Bank-Bank Nasional (Perbanas) mengungkapkan bahwa korban kejahatan siber terkait keuangan seperti model klik aplikasi biasanya terjadi pada kaum "kepompong".
Istilah "kepompong" merupakan kependekan dari "kepo" (ingin tahu berlebihan) dan "rempong" (ribet atau repot).
"Jadi, kalau dapat aplikasi, misalnya, cek paket. Dia langsung 'rempong', siapa yang kirim. Atau dapat undangan, langsung 'siapa yang menikah aduh jangan mantan'. Dia klik," kata Ketua Komite Keamanan Siber Perbanas, Wani Sabu dalam seminar daring di sela-sela kegiatan Jakreatifest 2024 di Jakarta pada Minggu.
Hal ini berbeda dengan model penipuan masa lalu seperti "mama minta pulsa". Model klik pun beragam, mulai dari klik aplikasi atau link (tautan) untuk memeriksa kiriman barang dan surat undangan.
Baca juga: Transportasi umum di Jakarta sudah setara kota-kota besar dunia
Menurut Wani, sebenarnya uang tak serta merta hilang dari rekening hanya dengan satu kali klik. Dia mengatakan saat seseorang melakukan klik pada satu link, biasanya sistem operasi di ponsel akan memberikan informasi bahwa link atau aplikasi yang akan diklik berbahaya.
Namun, karena rasa "kepo" kemudian membuat seseorang tetap melakukan klik terus-menerus dan berujung memberikan akses pada penjahat siber untuk mengakses rekening.
"Biasanya Android akan memberi tahu aplikasi ini berbahaya. Tetapi karena kita 'kepo', diklik 'ok'. (Diberi peringatan) Jangan di-'download' karena aplikasi ini tidak resmi, tapi diklik 'yes'. Yes, ok," katanya.
"Jadi akhirnya kita memberikan akses untuk mengakses rekening kita," kata Executive Vice President PT BCA Tbk itu.
Baca juga: BI DKI Jakarta harap masyarakat olah pangan segar antisipasi inflasi
Wani mengatakan, saat ini juga pernah terjadi penipuan mengatasnamakan lembaga negara seperti BPJS Kesehatan. Penipu biasanya mengawali percakapan yang menggiring calon korban agar meyakini dirinya mendapatkan panggilan telepon dari lembaga resmi BPJS Kesehatan.
"Hati-hati kalau, misalnya, ada telpon yang mengatakan bahwa BPJS untuk membeli narkoba. Jangan percaya. Biasanya mereka membuat kita takut. Pura-pura ada telepon, membuat percaya itu BPJS," kata dia.
Dia juga mengingatkan masyarakat agar benar-benar memahami hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan kala sudah masuk ke dunia transaksi digital. "Ini mengingat adanya potensi orang-orang di luar sana yang menginginkan uang melalui cara ilegal," katanya.
Baca juga: BI perkuat literasi dan edukasi gaya hidup halal
Istilah "kepompong" merupakan kependekan dari "kepo" (ingin tahu berlebihan) dan "rempong" (ribet atau repot).
"Jadi, kalau dapat aplikasi, misalnya, cek paket. Dia langsung 'rempong', siapa yang kirim. Atau dapat undangan, langsung 'siapa yang menikah aduh jangan mantan'. Dia klik," kata Ketua Komite Keamanan Siber Perbanas, Wani Sabu dalam seminar daring di sela-sela kegiatan Jakreatifest 2024 di Jakarta pada Minggu.
Hal ini berbeda dengan model penipuan masa lalu seperti "mama minta pulsa". Model klik pun beragam, mulai dari klik aplikasi atau link (tautan) untuk memeriksa kiriman barang dan surat undangan.
Baca juga: Transportasi umum di Jakarta sudah setara kota-kota besar dunia
Menurut Wani, sebenarnya uang tak serta merta hilang dari rekening hanya dengan satu kali klik. Dia mengatakan saat seseorang melakukan klik pada satu link, biasanya sistem operasi di ponsel akan memberikan informasi bahwa link atau aplikasi yang akan diklik berbahaya.
Namun, karena rasa "kepo" kemudian membuat seseorang tetap melakukan klik terus-menerus dan berujung memberikan akses pada penjahat siber untuk mengakses rekening.
"Biasanya Android akan memberi tahu aplikasi ini berbahaya. Tetapi karena kita 'kepo', diklik 'ok'. (Diberi peringatan) Jangan di-'download' karena aplikasi ini tidak resmi, tapi diklik 'yes'. Yes, ok," katanya.
"Jadi akhirnya kita memberikan akses untuk mengakses rekening kita," kata Executive Vice President PT BCA Tbk itu.
Baca juga: BI DKI Jakarta harap masyarakat olah pangan segar antisipasi inflasi
Wani mengatakan, saat ini juga pernah terjadi penipuan mengatasnamakan lembaga negara seperti BPJS Kesehatan. Penipu biasanya mengawali percakapan yang menggiring calon korban agar meyakini dirinya mendapatkan panggilan telepon dari lembaga resmi BPJS Kesehatan.
"Hati-hati kalau, misalnya, ada telpon yang mengatakan bahwa BPJS untuk membeli narkoba. Jangan percaya. Biasanya mereka membuat kita takut. Pura-pura ada telepon, membuat percaya itu BPJS," kata dia.
Dia juga mengingatkan masyarakat agar benar-benar memahami hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan kala sudah masuk ke dunia transaksi digital. "Ini mengingat adanya potensi orang-orang di luar sana yang menginginkan uang melalui cara ilegal," katanya.
Baca juga: BI perkuat literasi dan edukasi gaya hidup halal
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2024
Tags: