Harga baja di dalam negeri naik
15 Januari 2014 19:05 WIB
Seorang pekerja melintas di atas pipa besi kontruksi yang akan digunakan untuk pembangunan jembatan di Pelabuhan Paotere Makassar, Sulsel. (ANTARA/Yusran Uccang)
Jakarta (ANTARA News) - Asosiasi Industri metal dan baja Indonesia menyatakan harga besi dan baja di dalam negeri naik sejalan dengan masih melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
"Material bahan baku industri besi dan baja di dalam negeri sebagian besar harus impor seperti billet dan slab yang berarti rentan terhadap perubahan nilai tukar," kata Direktur Eksekutif IISIA (the Indonesian Iron and Steel Industry Association) Hidayat Triseputro saat dihubungi, Rabu.
Hidayat mengatakan, persoalannya untuk menaikkan harga besi dan baja di dalam negeri tidak bisa sembarangan tetapi juga harus memperhatikan daya serap pasar industri di dalam negeri.
Untuk itu, ia menambahkan, produsen besi dan baja di dalam negeri harus mempersiapkan program penjualan dalam jangka panjang terkait kondisi tren menguatnya dolar AS.
Selain itu, kenaikan harga baja juga imbas dari kenaikan harga listrik dan gas alam beberapa waktu lalu.
Menurutnya, untuk menyikapi kondisi ini perlu dilakukan kenaikan yang sifatnya gradual (bertahap) sedangkan di sisi pasokan dibuat "road map" program jangka panjang industri besi dan baja agar seimbang.
Dengan begitu, diutarakan Hidayat, langkah terbaik industri baja di dalam negeri adalah terus memantau kondisi nilai tukar seraya menyiapkan program penyesuaian harga jual dalam jangka panjang.
Kondisi industri besi dan baja di Indonesia, sebenarnya juga dialami sejumlah negara. "Mereka juga tidak bisa mengalihkan ke pasar ekspor mengingat daya daya serap pasar internasional juga terbatas," jelasnya.
Menurut data Platts SBB dan The Steel Index, tren kenaikan harga besi dan baja sudah terlihat sejak awal Desember 2013 - Januari 2014 yang melonjak pada kisaran 10 persen-15 persen.
Dirjen Kerjasama Industri Internasional Kementerian Perindustrian Agus Tjahajana Wirakusumah mengatakan, harga besi dan baja sangat erat kaitannya dengan perubahan nilai tukar (kurs).
Hal ini terjadi mengingat bahan baku (bahan mentah) masih harus diimport (seperti slab, billet dan lain-lain. Bahkan, gas sebagai bahan pembuat besi/ baja yang dibeli di dalam negeri harus dibayar dengan dolar, kemudian baja skrap (besi tua) juga harus impor dan dibayar dengan dolar AS.
Agus menjelaskan, saat ini dunia sedang kelebihan pasokan baja.
Industri baja nasional dalam situasi sulit, di satu sisi harga barang jadi cenderung turun, tetapi di sisi lain bahan baku meningkat karena perubahan kurs.
"Agar produsen dunia dan dalam negeri dapat bertahan maka nampaknya terpaksa harus meningkatkan harga produknya agar tidak terus menurun."
Sebenarnya harga besi dan baja saat ini masih di bawah harga pada saat awal 2013. Awal tahun harga baja memiliki siklus dengan kecenderungan lebih tinggi dibanding akhir tahun.
"Jadi konsumen perlu mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi dengan sebaik baiknya," kata Agus.
"Material bahan baku industri besi dan baja di dalam negeri sebagian besar harus impor seperti billet dan slab yang berarti rentan terhadap perubahan nilai tukar," kata Direktur Eksekutif IISIA (the Indonesian Iron and Steel Industry Association) Hidayat Triseputro saat dihubungi, Rabu.
Hidayat mengatakan, persoalannya untuk menaikkan harga besi dan baja di dalam negeri tidak bisa sembarangan tetapi juga harus memperhatikan daya serap pasar industri di dalam negeri.
Untuk itu, ia menambahkan, produsen besi dan baja di dalam negeri harus mempersiapkan program penjualan dalam jangka panjang terkait kondisi tren menguatnya dolar AS.
Selain itu, kenaikan harga baja juga imbas dari kenaikan harga listrik dan gas alam beberapa waktu lalu.
Menurutnya, untuk menyikapi kondisi ini perlu dilakukan kenaikan yang sifatnya gradual (bertahap) sedangkan di sisi pasokan dibuat "road map" program jangka panjang industri besi dan baja agar seimbang.
Dengan begitu, diutarakan Hidayat, langkah terbaik industri baja di dalam negeri adalah terus memantau kondisi nilai tukar seraya menyiapkan program penyesuaian harga jual dalam jangka panjang.
Kondisi industri besi dan baja di Indonesia, sebenarnya juga dialami sejumlah negara. "Mereka juga tidak bisa mengalihkan ke pasar ekspor mengingat daya daya serap pasar internasional juga terbatas," jelasnya.
Menurut data Platts SBB dan The Steel Index, tren kenaikan harga besi dan baja sudah terlihat sejak awal Desember 2013 - Januari 2014 yang melonjak pada kisaran 10 persen-15 persen.
Dirjen Kerjasama Industri Internasional Kementerian Perindustrian Agus Tjahajana Wirakusumah mengatakan, harga besi dan baja sangat erat kaitannya dengan perubahan nilai tukar (kurs).
Hal ini terjadi mengingat bahan baku (bahan mentah) masih harus diimport (seperti slab, billet dan lain-lain. Bahkan, gas sebagai bahan pembuat besi/ baja yang dibeli di dalam negeri harus dibayar dengan dolar, kemudian baja skrap (besi tua) juga harus impor dan dibayar dengan dolar AS.
Agus menjelaskan, saat ini dunia sedang kelebihan pasokan baja.
Industri baja nasional dalam situasi sulit, di satu sisi harga barang jadi cenderung turun, tetapi di sisi lain bahan baku meningkat karena perubahan kurs.
"Agar produsen dunia dan dalam negeri dapat bertahan maka nampaknya terpaksa harus meningkatkan harga produknya agar tidak terus menurun."
Sebenarnya harga besi dan baja saat ini masih di bawah harga pada saat awal 2013. Awal tahun harga baja memiliki siklus dengan kecenderungan lebih tinggi dibanding akhir tahun.
"Jadi konsumen perlu mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi dengan sebaik baiknya," kata Agus.
Pewarta: Ganet
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2014
Tags: