STC: Jangan abaikan dampak kekeringan pada masa depan anak
5 Juni 2024 20:44 WIB
Ilustrasi- Anak-anak mengangkut derigen berisi air ditengah lahan yang kering di Nusa Tenggara Barat. (ANTARA/HO-Save the Children)
Jakarta (ANTARA) - Organisasi Save the Children (STC) Indonesia mengingatkan pentingnya gerakan kolektif multi-pihak yang berkelanjutan untuk mengatasi dampak kekeringan yang mengancam masa depan anak-anak Indonesia, khususnya di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
"Ini tidak bisa diabaikan kita harus segera bertindak karena kekeringan berkelanjutan yang dipicu oleh perubahan iklim sangat berpengaruh pada masa depan anak-anak di sana," kata Kepala (Interim) Advokasi, Kampanye, Komunikasi dan Media STC Indonesia Tata Sudrajat dalam keterangan di Jakarta, Rabu.
Setidaknya, kata dia, ada dua kebutuhan yang paling mendesak untuk direalisasikan oleh gerakan kolektif multi-pihak tersebut, antara lain menciptakan akses yang adil terhadap sumber daya air bersih dan menyediakan dukungan kebutuhan pokok, sandang, perekonomian, dan kesehatan bagi keluarga yang paling terdampak.
Pasalnya berdasarkan hasil penelitian STC Indonesia pada November 2023 kekeringan yang berlangsung terus-menerus telah menempatkan anak pada posisi paling rentan di NTT dan NTB.
Baca juga: Pemkab Manggarai NTT antisipasi potensi bencana dampak El Nino
Penelitian yang dipusatkan pada tiga kabupaten yakni Lombok Barat, Sumba Timur, dan Kupang, tersebut, kata dia, bahkan menemukan kekeringan telah memaksa anak-anak mengorbankan waktu belajar dan berisiko diserang penyakit, seperti malaria, demam berdarah, infeksi pernafasan, dan penyakit kulit.
Ia mencontohkan, misalnya di Kabupaten Lombok Barat, anak-anak harus bangun pada jam tiga pagi untuk mengantre mengambil air sebelum pergi ke sekolah.
Hal serupa juga terjadi di Kabupaten Sumba Timur, yang mana anak-anak harus menempuh perjalanan 1,5–2 kilometer ke mata air setiap jam lima pagi. Aktifitas tersebut menyebabkan anak-anak sulit berkonsentrasi saat pelajaran berlangsung di sekolah.
Tak hanya itu, ia mengungkapkan kekeringan juga memperbesar potensi gagal panen di daerah tersebut yang berimplikasi penurunan pendapatan keluarga hingga kerap menimbulkan ketidakmampuan untuk belanja makanan sehat dan bergizi.
Baca juga: Gubernur NTT minta dinas pertanian mulai distribusi benih ke petani
STC Indonesia mendapati fenomena ini terjadi di Kabupaten Sumba Timur yang tak sedikit kepala keluarga menjual aset berharga, termasuk hewan ternak untuk belanja kebutuhan pokok dan membeli air bersih.
Tata mengharapkan hasil penelitian tersebut bisa direfleksikan dan menggugah timbulnya kesadaran kolektif, termasuk swasta, untuk membantu bersama pemerintah daerah (pemda) setempat mengatasi dampak kekeringan di wilayahnya.
Terlebih NTT dan NTB menjadi salah satu daerah yang rentan terdampak kekeringan pada musim kemarau 2024 yang puncaknya diperkirakan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) berlangsung periode Juli-September.
Baca juga: BMKG paparkan penyebab hujan pada musim kemarau di NTT
Baca juga: BMKG: Waspada angin kencang pada empat pulau di NTT
"Ini tidak bisa diabaikan kita harus segera bertindak karena kekeringan berkelanjutan yang dipicu oleh perubahan iklim sangat berpengaruh pada masa depan anak-anak di sana," kata Kepala (Interim) Advokasi, Kampanye, Komunikasi dan Media STC Indonesia Tata Sudrajat dalam keterangan di Jakarta, Rabu.
Setidaknya, kata dia, ada dua kebutuhan yang paling mendesak untuk direalisasikan oleh gerakan kolektif multi-pihak tersebut, antara lain menciptakan akses yang adil terhadap sumber daya air bersih dan menyediakan dukungan kebutuhan pokok, sandang, perekonomian, dan kesehatan bagi keluarga yang paling terdampak.
Pasalnya berdasarkan hasil penelitian STC Indonesia pada November 2023 kekeringan yang berlangsung terus-menerus telah menempatkan anak pada posisi paling rentan di NTT dan NTB.
Baca juga: Pemkab Manggarai NTT antisipasi potensi bencana dampak El Nino
Penelitian yang dipusatkan pada tiga kabupaten yakni Lombok Barat, Sumba Timur, dan Kupang, tersebut, kata dia, bahkan menemukan kekeringan telah memaksa anak-anak mengorbankan waktu belajar dan berisiko diserang penyakit, seperti malaria, demam berdarah, infeksi pernafasan, dan penyakit kulit.
Ia mencontohkan, misalnya di Kabupaten Lombok Barat, anak-anak harus bangun pada jam tiga pagi untuk mengantre mengambil air sebelum pergi ke sekolah.
Hal serupa juga terjadi di Kabupaten Sumba Timur, yang mana anak-anak harus menempuh perjalanan 1,5–2 kilometer ke mata air setiap jam lima pagi. Aktifitas tersebut menyebabkan anak-anak sulit berkonsentrasi saat pelajaran berlangsung di sekolah.
Tak hanya itu, ia mengungkapkan kekeringan juga memperbesar potensi gagal panen di daerah tersebut yang berimplikasi penurunan pendapatan keluarga hingga kerap menimbulkan ketidakmampuan untuk belanja makanan sehat dan bergizi.
Baca juga: Gubernur NTT minta dinas pertanian mulai distribusi benih ke petani
STC Indonesia mendapati fenomena ini terjadi di Kabupaten Sumba Timur yang tak sedikit kepala keluarga menjual aset berharga, termasuk hewan ternak untuk belanja kebutuhan pokok dan membeli air bersih.
Tata mengharapkan hasil penelitian tersebut bisa direfleksikan dan menggugah timbulnya kesadaran kolektif, termasuk swasta, untuk membantu bersama pemerintah daerah (pemda) setempat mengatasi dampak kekeringan di wilayahnya.
Terlebih NTT dan NTB menjadi salah satu daerah yang rentan terdampak kekeringan pada musim kemarau 2024 yang puncaknya diperkirakan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) berlangsung periode Juli-September.
Baca juga: BMKG paparkan penyebab hujan pada musim kemarau di NTT
Baca juga: BMKG: Waspada angin kencang pada empat pulau di NTT
Pewarta: M. Riezko Bima Elko Prasetyo
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2024
Tags: