Menurut dia, pihaknya telah melakukan koordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), serta lembaga lain supaya bisa mengalokasikan lahan perkebunan untuk produksi bioetanol. Ia mengatakan, kolaborasi tersebut perlu dilakukan supaya cita-cita Indonesia seperti yang tertuang dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (E-NDC) menjadi 32 persen atau setara dengan 912 juta ton CO2 pada tahun 2030 bisa terwujud.
"Misalnya untuk bioetanol kita perlu kebun-kebun tebu misalnya, jagung dan lain sebagainya, termasuk juga variasi-variasi alternatif lainnya," ujar AHY.
Lebih lanjut ia mengatakan, lembaga yang dipimpinnya tengah melakukan revisi Peraturan Pemerintah (PP) 21/2021 Tentang Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah bersama kementerian lain yang mengatur Hak Guna Usaha (HGU) untuk carbon trading.
Melalui revisi terhadap regulasi tersebut, nantinya akan mengakomodasi terkait pemberian Hak Guna Usaha/Hak Pakai untuk lahan dengan peruntukan jasa lingkungan seperti kawasan mangrove, termasuk materi carbon capture, carbon storage pada Pemberian Hak Ruang Bawah Tanah (RBT) dalam Rancangan Perpres Ruang Atas Tanah dan Ruang Bawah Tanah.
"Ini yang akan kita galakan sebagai komunitas carbon trading," ujar AHY.
Menurut dia, komitmen untuk mengakomodasi pemberian hak itu diperuntukkan untuk jasa lingkungan, sehingga selaras dengan komitmen bersama untuk mencapai net zero emissions atau nol emisi karbon, serta sebagai langkah nyata untuk mengurangi dampak dari perubahan iklim.