Unhas: Indeks Risiko Bencana tertinggi Sulsel ada di Kabupaten Luwu
2 Juni 2024 20:15 WIB
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Kebencanaan Universitas Hasanuddin Ilham Alimuddin, ST, M.Gis, pH.D pada acara diskusi publik yang digelar SIEJ Simpul Sulsel dan Depati Project di Makassar. Antara/ Suriani Mappong
Makassar (ANTARA) - Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Kebencanaan Universitas Hasanuddin (Unhas) Ilham Alimuddin mengungkapkan Kabupaten Luwu menempati posisi pertama pada Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) di Sulawesi Selatan.
"Dari 24 kabupaten kota di Sulawesi Selatan, Luwu yang memiliki IRBI tertinggi atau nomor satu berdasarkan survei kaji cepat penanganan bencana banjir dan tanah longsor," ungkap Ilham dalam Diskusi Publik "The Society of Indonesian Enviromental Journalists (SIEJ) Simpul Sulawesi Selatan" di Balai Rehabilitasi Wirajaya, Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), Minggu.
Ahli Geologi itu mengemukakan kondisi tanah Luwu memang sering kali mengalami bencana ekologis, bahkan pada awal Mei 2024 kembali dihantam banjir, disusul tanah longsor di beberapa titik.
Baca juga: BPBD Sulsel & akademisi ajak masyarakat ikut dalam mitigasi bencana
Kejadian bencana tersebut, kata dia, sedikit banyaknya dipengaruhi oleh karakteristik tanah di daerah itu, seperti sebagian besar termasuk jenis tanah longsor translasi (debris slide) dan terjadi pada tanah tebal yang merupakan pelapukan dari batuan metamorf.
Sementara kondisi geologi wilayah tanah Luwu, khususnya di Kecamatan Latimojong yang mengalami longsor itu, kata dia, berada pada formasi batuan filit atau batuan keras yang berlapis tipis sudah lapuk di atas.
Namun sebagian di bawahnya tidak mengalami lapuk hingga menyebabkan lapisan tidak lapuk ini menjadi licin, kemudian mendorong tanah lapuknya ke bawah lalu menjadi longsor.
Dampak akibat bencana banjir dan tanah longsor di Kabupaten Luwu, sebut dia, sebanyak 14 warga meninggal serta kerugian materi dan non materi mencapai puluhan miliar rupiah.
Baca juga: Pj Gubernur Sulsel lalui medan sulit temui warga terisolir banjir Luwu
Selain itu tercatat 13 titik desa terisolir di wilayah pegunungan Latimojong, dengan sebaran 16 titik longsor di wilayah Luwu. Bahkan bantuan maupun evakuasi disalurkan harus melalui jalur udara menggunakan helikopter.
"Dari peta zona kerentanan gerakan tanah dan peta bahaya longsor tanah Luwu berada pada zona merah," katanya.
Ia menyebut ada beberapa catatan dan rekomendasi pengurangan risiko bencana di Luwu yakni dimulai dengan mengetahui risiko bencana di sekitar. Untuk jangka pendek yakni pendataan rumah atau bangunan yang berada pada area bahaya tanah longsor.
Selanjutnya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Luwu dapat berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga (K/L) terkait untuk melaksanakan survei dan pemetaan lanjutan pada titik longsor yang belum terpetakan yakni prioritas di permukiman untuk memastikan apakah perlu dilakukan relokasi atau tidak, serta mitigasi apa yang diperlukan.
Baca juga: 16 desa terisolir di Luwu jadi perhatian khusus BNPB
Untuk mitigasi jangka menegah, kata dia, melengkapi dokumen perencanaan penanggungan bencana dimulai dari kajian risiko bencana (disusun 2025).
Dilanjutkan penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dan Rencana Kontigensi (Renkon) per jenis bencana sesuai dengan amanat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 101 tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal Sub Urusan Bencana Kabupaten Kota .
Selanjutnya, mengintegrasikan hasil kajian risiko bencana dengan perencanaan tata ruang Kabupaten Luwu, seperti sempadan sungai dan sempadan lereng harus diperhatikan.
"Terpenting melakukan pemantauan hulu sungai secara rutin dan terprogram. Kemudian koordinasi antara Dinas terkait dan peningkatan kapasitas serta edukasi masyarakat terkait pengetahuan risiko maupun mitigasi bencana wilayah masing-masing," kata Ilham.
Baca juga: Saatnya bangkit hentikan ulah perusak lingkungan pemicu bencana
"Dari 24 kabupaten kota di Sulawesi Selatan, Luwu yang memiliki IRBI tertinggi atau nomor satu berdasarkan survei kaji cepat penanganan bencana banjir dan tanah longsor," ungkap Ilham dalam Diskusi Publik "The Society of Indonesian Enviromental Journalists (SIEJ) Simpul Sulawesi Selatan" di Balai Rehabilitasi Wirajaya, Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), Minggu.
Ahli Geologi itu mengemukakan kondisi tanah Luwu memang sering kali mengalami bencana ekologis, bahkan pada awal Mei 2024 kembali dihantam banjir, disusul tanah longsor di beberapa titik.
Baca juga: BPBD Sulsel & akademisi ajak masyarakat ikut dalam mitigasi bencana
Kejadian bencana tersebut, kata dia, sedikit banyaknya dipengaruhi oleh karakteristik tanah di daerah itu, seperti sebagian besar termasuk jenis tanah longsor translasi (debris slide) dan terjadi pada tanah tebal yang merupakan pelapukan dari batuan metamorf.
Sementara kondisi geologi wilayah tanah Luwu, khususnya di Kecamatan Latimojong yang mengalami longsor itu, kata dia, berada pada formasi batuan filit atau batuan keras yang berlapis tipis sudah lapuk di atas.
Namun sebagian di bawahnya tidak mengalami lapuk hingga menyebabkan lapisan tidak lapuk ini menjadi licin, kemudian mendorong tanah lapuknya ke bawah lalu menjadi longsor.
Dampak akibat bencana banjir dan tanah longsor di Kabupaten Luwu, sebut dia, sebanyak 14 warga meninggal serta kerugian materi dan non materi mencapai puluhan miliar rupiah.
Baca juga: Pj Gubernur Sulsel lalui medan sulit temui warga terisolir banjir Luwu
Selain itu tercatat 13 titik desa terisolir di wilayah pegunungan Latimojong, dengan sebaran 16 titik longsor di wilayah Luwu. Bahkan bantuan maupun evakuasi disalurkan harus melalui jalur udara menggunakan helikopter.
"Dari peta zona kerentanan gerakan tanah dan peta bahaya longsor tanah Luwu berada pada zona merah," katanya.
Ia menyebut ada beberapa catatan dan rekomendasi pengurangan risiko bencana di Luwu yakni dimulai dengan mengetahui risiko bencana di sekitar. Untuk jangka pendek yakni pendataan rumah atau bangunan yang berada pada area bahaya tanah longsor.
Selanjutnya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Luwu dapat berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga (K/L) terkait untuk melaksanakan survei dan pemetaan lanjutan pada titik longsor yang belum terpetakan yakni prioritas di permukiman untuk memastikan apakah perlu dilakukan relokasi atau tidak, serta mitigasi apa yang diperlukan.
Baca juga: 16 desa terisolir di Luwu jadi perhatian khusus BNPB
Untuk mitigasi jangka menegah, kata dia, melengkapi dokumen perencanaan penanggungan bencana dimulai dari kajian risiko bencana (disusun 2025).
Dilanjutkan penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dan Rencana Kontigensi (Renkon) per jenis bencana sesuai dengan amanat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 101 tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal Sub Urusan Bencana Kabupaten Kota .
Selanjutnya, mengintegrasikan hasil kajian risiko bencana dengan perencanaan tata ruang Kabupaten Luwu, seperti sempadan sungai dan sempadan lereng harus diperhatikan.
"Terpenting melakukan pemantauan hulu sungai secara rutin dan terprogram. Kemudian koordinasi antara Dinas terkait dan peningkatan kapasitas serta edukasi masyarakat terkait pengetahuan risiko maupun mitigasi bencana wilayah masing-masing," kata Ilham.
Baca juga: Saatnya bangkit hentikan ulah perusak lingkungan pemicu bencana
Pewarta: Suriani Mappong
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2024
Tags: