Anggota Komisi IX DPR sebut ide dasar kebijakan Tapera mulia
31 Mei 2024 20:54 WIB
Ilustrasi - Anggota Komisi IX DPR RI Darul Siska dalam rapat kerja Komisi IX DPR RI bersama Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo, di Kompleks Parlemen, Jakarta, sebagaimana dipantau melalui kanal YouTube TVR Parlemen, Kamis (16/5/2024). ANTARA/Tri Meilani Ameliya
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi IX DPR Darul Siska menilai bahwa ide dasar kebijakan terkait Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sangat mulia karena sesuai dengan konstitusi, dimana akan membantu masyarakat mendapatkan rumah.
"Ide dasar untuk menyediakan rumah bagi rakyat baik dan mulia sesuai konstitusi, agar rakyat dapat melindungi keluarga dan pertumbuhan keluarganya,” kata Darul dalam keterangan di Jakarta, Jumat.
Menurut Darul, selain mulia karena sesuai dengan konstitusi, membantu masyarakat dalam memiliki rumah yang layak juga dapat mengurangi risiko stunting bagi keluarga tertentu.
“Misalnya dalam rumah yang sehat mencegah lahirnya anak yang berisiko stunting," ujar Darul.
Lebih lanjut Darul menilai adanya penolakan dari masyarakat mungkin karena berbagai hal seperti pembuatan peraturan pemerintah yang kurang memerhatikan aspirasi pemangku kepentingan.
Selain itu, kurang menyosialisasikan ke masyarakat, dinilai tidak tepat waktu, hingga adanya kecurigaan berulangnya kasus di lembaga yang mengelola uang masyarakat.
"Masyarakat tidak mengetahui program dan manfaatnya, masyarakat tidak mau atau tidak Ikhlas uangnya dipotong," ujar Darul.
Oleh karena itu, di tengah tingginya penolakan, Darul menyarankan kepada pemerintah agar bisa duduk bersama dengan semua pihak terkait untuk kembali menyerap aspirasi terkait kebijakan tersebut.
“Selain itu, kebijakan ini juga perlu disosialisasikan secara masif,” tutur Darul.
Regulasi mengenai Tapera diteken oleh Presiden Jokowi pada Senin (20/5) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) 21/2024 yang merupakan perubahan dari PP 25/2020.
Klasifikasi kelompok yang wajib mengikuti program ini yakni ASN, TNI, Polri, pekerja BUMN/BUMD, serta pekerja swasta.
Dalam aturan itu disebutkan bahwa pemberi kerja wajib membayar simpanan peserta yang menjadi kewajibannya, dan memungut simpanan peserta dari pekerja.
Adapun besaran iuran ditetapkan sebesar 3 persen dari gaji atau upah untuk peserta pekerja dan penghasilan untuk peserta pekerja mandiri.
Untuk peserta pekerja ditanggung bersama antara perusahaan dengan karyawan masing-masing sebesar 0,5 persen dan 2,5 persen, sedangkan peserta pekerja mandiri menanggung simpanan secara keseluruhan.
Peserta yang yang termasuk dalam kategori masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dapat memperoleh manfaat berupa kredit pemilikan rumah (KPR), kredit bangun rumah (KBR), dan kredit renovasi rumah (KRR) dengan tenor panjang hingga 30 tahun dan suku bunga tetap di bawah suku bunga pasar.
Dana yang dihimpun dari peserta akan dikelola oleh Badan Pengelola Tapera sebagai simpanan yang akan dikembalikan kepada peserta.
Baca juga: Anggota Komisi V DPR: Kebijakan Tapera perlu disosialisasikan
Baca juga: Anggota DPR minta Tapera terafiliasi dengan Himbara
Baca juga: Rapat di DPR, Kementerian PUPR jelaskan pengalihan dana ke BP Tapera
Baca juga: Menaker: Program Tapera hadapi sejumlah tantangan
"Ide dasar untuk menyediakan rumah bagi rakyat baik dan mulia sesuai konstitusi, agar rakyat dapat melindungi keluarga dan pertumbuhan keluarganya,” kata Darul dalam keterangan di Jakarta, Jumat.
Menurut Darul, selain mulia karena sesuai dengan konstitusi, membantu masyarakat dalam memiliki rumah yang layak juga dapat mengurangi risiko stunting bagi keluarga tertentu.
“Misalnya dalam rumah yang sehat mencegah lahirnya anak yang berisiko stunting," ujar Darul.
Lebih lanjut Darul menilai adanya penolakan dari masyarakat mungkin karena berbagai hal seperti pembuatan peraturan pemerintah yang kurang memerhatikan aspirasi pemangku kepentingan.
Selain itu, kurang menyosialisasikan ke masyarakat, dinilai tidak tepat waktu, hingga adanya kecurigaan berulangnya kasus di lembaga yang mengelola uang masyarakat.
"Masyarakat tidak mengetahui program dan manfaatnya, masyarakat tidak mau atau tidak Ikhlas uangnya dipotong," ujar Darul.
Oleh karena itu, di tengah tingginya penolakan, Darul menyarankan kepada pemerintah agar bisa duduk bersama dengan semua pihak terkait untuk kembali menyerap aspirasi terkait kebijakan tersebut.
“Selain itu, kebijakan ini juga perlu disosialisasikan secara masif,” tutur Darul.
Regulasi mengenai Tapera diteken oleh Presiden Jokowi pada Senin (20/5) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) 21/2024 yang merupakan perubahan dari PP 25/2020.
Klasifikasi kelompok yang wajib mengikuti program ini yakni ASN, TNI, Polri, pekerja BUMN/BUMD, serta pekerja swasta.
Dalam aturan itu disebutkan bahwa pemberi kerja wajib membayar simpanan peserta yang menjadi kewajibannya, dan memungut simpanan peserta dari pekerja.
Adapun besaran iuran ditetapkan sebesar 3 persen dari gaji atau upah untuk peserta pekerja dan penghasilan untuk peserta pekerja mandiri.
Untuk peserta pekerja ditanggung bersama antara perusahaan dengan karyawan masing-masing sebesar 0,5 persen dan 2,5 persen, sedangkan peserta pekerja mandiri menanggung simpanan secara keseluruhan.
Peserta yang yang termasuk dalam kategori masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dapat memperoleh manfaat berupa kredit pemilikan rumah (KPR), kredit bangun rumah (KBR), dan kredit renovasi rumah (KRR) dengan tenor panjang hingga 30 tahun dan suku bunga tetap di bawah suku bunga pasar.
Dana yang dihimpun dari peserta akan dikelola oleh Badan Pengelola Tapera sebagai simpanan yang akan dikembalikan kepada peserta.
Baca juga: Anggota Komisi V DPR: Kebijakan Tapera perlu disosialisasikan
Baca juga: Anggota DPR minta Tapera terafiliasi dengan Himbara
Baca juga: Rapat di DPR, Kementerian PUPR jelaskan pengalihan dana ke BP Tapera
Baca juga: Menaker: Program Tapera hadapi sejumlah tantangan
Pewarta: Muhammad Harianto
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2024
Tags: