Urumqi (ANTARA) - Di tengah deru mesin dan pusaran debu di Reli Taklimakan China yang sedang berlangsung, sepeda motor Abas Ghapar tampak menyita perhatian karena penampilannya yang terlihat kuno.

Demi memangkas biaya, Abas dan kawan-kawannya merakit sendiri tangki bahan bakar dan sistem knalpot motornya. Namun, sang pembalap tetap memancarkan rasa percaya diri.

Berkompetisi untuk ketiga kalinya, Abas tampil impresif, dan saat ini menduduki peringkat kedua di klasemen umum, menempel ketat pembalap Prancis Neels Theric.

"Motor saya mungkin yang tertua di reli ini," ujar Abas. "Namun, setiap pereli bermimpi untuk memenangkan gelar juara, tidak terkecuali saya."

Berasal dari keluarga dokter di Kota Lukqin, wilayah Shanshan, Xinjiang, Abas mengikuti tradisi keluarga dengan mengambil jurusan kedokteran di perguruan tinggi. Setelah lulus, Abas bekerja sebagai ahli radiologi di rumah sakit setempat.

Keluarganya telah menelurkan dokter selama 14 generasi, dan profesi yang dihormati serta gaji yang layak bagi pemuda itu bisa saja menjamin kehidupan yang diidam-idamkan banyak orang. Namun, kecintaannya pada dunia balap semakin kuat, mendorongnya meluangkan waktu untuk mengikuti berbagai kompetisi.

Semenjak kecil, Abas sudah terpesona dengan apa pun yang beroda. Saat bersepeda di jalanan, dia pun jatuh cinta pada sensasi melaju kencang menembus angin.

Pada 2012, saat masih menjadi mahasiswa, Abas bekerja selama musim panas untuk membeli sepeda motor pertamanya seharga lebih dari 2.000 yuan (1 yuan = Rp2.243). Masih lekat dalam ingatannya sepeda motor bekas yang pertama kali menemaninya dalam perjalanan.

"Saya senang sekali pada saat itu, setiap hari saya membersihkannya," kenang Abas.

Tetangganya, Mehmet Ahmat, juga seorang pembalap Reli Taklimakan yang berpengalaman, memicu ambisinya untuk menjadi pereli. Setiap kali berlaga di ajang balapan, Mehmet kerap menceritakan pengalamannya yang mendebarkan kepada Abas.

Berpartisipasi dalam Reli Taklimakan merupakan impian bagi semua pereli. Ajang yang pertama kali digelar pada 2005 ini terkenal dengan tingkat kesulitan dan tantangannya dalam melintasi Gurun Taklimakan, gurun pasir bergeser terbesar kedua di dunia.

Sejak saat itu, ajang ini berkembang menjadi kompetisi reli utama di China.

Pada 2018, Abas akhirnya berkesempatan untuk berlaga di Reli Taklimakan. Hanya memiliki waktu satu pekan untuk mempersiapkan diri, Abas dan kawan-kawannya pun bekerja hingga larut malam dengan sepeda motor pinjaman, bahkan membuat dudukan buku petunjuk jalan seadanya.

Terlepas dari tantangan yang melelahkan, termasuk cuaca yang sangat panas, masalah navigasi, dan kerusakan mesin, Abas berhasil finis di urutan keenam di klasemen umum dalam debutnya.

Menyadari bahwa mimpinya tidak mustahil, Abas pun memantapkan hati untuk berhenti dari pekerjaannya tanpa memberi tahu keluarganya. Orang tuanya baru mengetahui keputusannya itu belakangan.

"Ayah saya tidak masalah dengan hal itu, tetapi ibu saya sangat menentangnya, karena dia berpikir bahwa saya meninggalkan pekerjaan yang bagus untuk sesuatu yang berisiko. Dia mengkhawatirkan masa depan saya," ujarnya.

Tak bisa berbalik dari keputusannya, Abas pun sepenuhnya menggeluti olahraga yang dicintainya itu.

"Baik sebagai dokter maupun pembalap, keduanya adalah karier yang berarti bagi saya," ungkap Abas. "Hidup hanya terjadi sekali, dan selama Anda melakukan yang terbaik, Anda tidak akan menyia-nyiakannya."

Tekadnya mirip dengan Forrest Gump, memanfaatkan setiap kesempatan seperti sebuah garis hidup.
Abas Ghapar melaju di etape ketiga Reli Taklimakan 2024 di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang, China, pada 23 Mei 2024. (Xinhua/Chen Shuo)

Tahun lalu, meskipun mengalami kecelakaan dan cedera pada etape kedelapan, hasil rontgen menunjukkan terdapat fraktur kompresi pada tulang belakang dada Abas. Namun demikian, dia tetap finis di urutan kesepuluh, menyelesaikan etape terakhir dengan posisi separuh jongkok.

Kini, mantan dokter muda itu mengerti bagaimana menikmati kompetisi dengan lebih baik di setiap balapan. Dia bermimpi untuk menorehkan prestasi di Reli Dakar.

"Sebelumnya, Dakar seperti tak terjangkau. Kini, saya yakin mampu meraihnya," ujar Abas.

Di luar arena balap, Abas mengelola sebuah klub sepeda motor di Urumqi, mempromosikan sepeda off-road di seluruh Xinjiang dan membantu anak-anak muda untuk menguasai olahraga ini. Usaha ini juga memberinya penghasilan yang stabil, sehingga dapat meredakan kekhawatiran ibunya.

Abas memiliki seorang putra berusia dua tahun, yang dengan sepeda kecil miliknya selalu meniru gaya bermotor sang ayah.

"Saya memilih jalan ini dan saya tidak menyesal," tutur Abas.

"Di masa mendatang, saya ingin melihat apa yang akan dipilih oleh anak saya. Jika dia menyukai olahraga ini, saya akan mendukungnya dengan sepenuh hati," katanya lagi.