Jakarta (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menempatkan riset resistensi antimikroba menjadi salah satu fokus karena kondisi itu merupakan sebuah silent pandemic yang berdampak pada kesehatan manusia, lingkungan, dan hewan.
"Kami membuat peta jalan riset resistensi antimikroba pada 2024 hingga 2029," kata Kepala Organisasi Riset Kesehatan BRIN Indi Dharmayanti di Jakarta, Kamis.

Indi menuturkan pihaknya mengembangkan new therapheutics untuk mengontrol resistensi antimikroba, termasuk mengembangkan novel antibody, vaccine immunogens, compound screening, laboratory validation, serta clinical and pre-clinical trial.

Para peneliti BRIN juga melakukan pengembangan biomarker dan diagnostik cepat terhadap kondisi resistensi antimikroba.

"Bagaimana ini nanti dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, tentunya memerlukan proses penelitian yang panjang mulai dari deteksi resistensi antimikroba dan isolasinya sampai karakterisasi resistensi antimikroba," kata Indi.

Sekarang ini obat antimikroba umum digunakan oleh orang-orang untuk antimikroba, anti jamur, anti virus, dan anti parasit.

Jika obat yang digunakan semakin banyak, maka khasiat obat menjadi kurang efektif. Permasalahan itu dikenal dengan resistensi antimikro karena mikroba telah mengembangkan resistensi terhadap obat-obatan yang biasa digunakan untuk pengobatan.

Lebih lanjut Indi menyampaikan bahwa tak hanya fokus terhadap riset resistensi antimikroba, pihaknya juga memprioritaskan penelitian penyakit zoonosis.

Menurutnya, tema riset penyakit zoonosis sangat mendesak karena hampir 70 persen penyakit baru atau pandemi baru kemungkinan besar disebabkan oleh penyakit zoonosis.

“Sehingga ini menjadi program prioritas kami. Di dalam peta jalan penyakit zoonosis kami mengembangkan vaksin dan obat, juga mengembangkan peralatan diagnosis terkait riset-riset penyakit zoonosis,” pungkas Indi.

Baca juga: BRIN buka kolaborasi riset farmasi dan alat kesehatan dengan industri

Baca juga: BRIN segera uji terbang radar resolusi tinggi