Climate Central laporkan potensi kejadian gelombang panas di Indonesia
30 Mei 2024 17:38 WIB
Ilustrasi: Petugas Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan pantauan suhu udara di Kantor BMKG, Jakarta, Senin (6/5/2024). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/nym.
Jakarta (ANTARA) - Laporan yang dikeluarkan oleh Climate Central memperlihatkan potensi dua kejadian gelombang panas (heatwave) yang sebelumnya terjadi di Indonesia terulang kembali, mengingat probabilitasnya mencapai tertinggi kedua dan ketiga di seluruh dunia.
Dalam laporan yang dikeluarkan oleh Climate Central, World Weather Attribution (WWA), dan Red Cross Red Crescent Climate Centre, yang dikutip di Jakarta, Kamis, mengulas potensi terjadinya gelombang panas dan jumlah orang yang terpapar oleh cuaca ekstrem di seluruh belahan dunia, termasuk di Indonesia.
Berdasarkan laporan yang dirilis pada 28 Mei 2024 itu menemukan bahwa rasio probabilitas (probability ratio) dua kejadian gelombang panas di Indonesia tercatat menjadi yang tertinggi kedua dan ketiga di seluruh dunia.
Rasio probabilitas yang dimaksud menunjukkan peningkatan kemungkinan atau potensi terjadinya suatu peristiwa akibat dari perubahan iklim yang disebabkan manusia.
Temuan dari studi yang dilakukan ketiga lembaga itu memperlihatkan dua kejadian gelombang panas yang terjadi di Indonesia dan Filipina menempati rasio probabilitas tertinggi kedua dan ketiga di dunia atau memiliki potensi terjadi hal serupa.
Baca juga: Profesor UB: Gelombang panas terjadi akibat minimnya pertumbuhan awan
Kejadian pertama adalah gelombang panas yang terjadi di Indonesia dan Filipina pada 2-7 April 2024 dengan skor rasio probabilitas 29. Sementara posisi ketiga adalah gelombang panas yang terjadi 26-31 Oktober 2023 yang memiliki skor rasio probabilitas sebesar 25.
Indikasi dari rasio probabilitas itu adalah skor 25 berarti perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia membuat kejadian tersebut 25 kali lebih mungkin terjadi.
Wilayah dengan skor probabilitas tertinggi menurut laporan itu adalah gelombang panas yang terjadi di Kepulauan Marshall dan Mikronesia, dengan skor tercatat sebesar 35 untuk kejadian periode 7-12 Maret 2024.
Laporan itu juga menemukan bahwa selama periode 12 bulan, sebanyak 6,3 miliar orang atau sekitar 78 persen dari populasi global mengalami cuaca panas ekstrem setidaknya selama 31 hari, yang setidaknya dua kali lebih mungkin terjadi akibat perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia.
Baca juga: Imbauan persiapan suhu Indonesia akan sampai di 40 hingga 50 derajat Celsius, benarkah?
Selain itu selama 12 bulan terakhir di seluruh dunia perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia menambah rata-rata suhu panas ekstrem selama 26 hari lebih lama dibandingkan jika bumi tidak mengalami perubahan iklim.
Sebelumnya Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dalam pernyataan pada awal Mei 2024 menyebut fenomena udara panas yang terjadi di Indonesia selama beberapa hari terakhir bukan merupakan gelombang panas.
Deputi Meteorologi BMKG Guswanto dalam pernyataan pada 2 Mei 2024 mengatakan ditinjau secara karakteristik fenomena maupun indikator statistik pengamatan suhu Indonesia tidak termasuk ke dalam kategori heatwave, karena tidak memenuhi persyaratan sebagai gelombang panas.
Dia menyebut suhu panas terik harian yang terjadi di wilayah Indonesia pada periode awal Mei merupakan fenomena akibat dari adanya gerak semu matahari.
Baca juga: BMKG pastikan udara panas yang melanda Indonesia bukan “heatwave”
Baca juga: BRIN: Siang terik dan malam hujan indikasi akhir musim transisi
Dalam laporan yang dikeluarkan oleh Climate Central, World Weather Attribution (WWA), dan Red Cross Red Crescent Climate Centre, yang dikutip di Jakarta, Kamis, mengulas potensi terjadinya gelombang panas dan jumlah orang yang terpapar oleh cuaca ekstrem di seluruh belahan dunia, termasuk di Indonesia.
Berdasarkan laporan yang dirilis pada 28 Mei 2024 itu menemukan bahwa rasio probabilitas (probability ratio) dua kejadian gelombang panas di Indonesia tercatat menjadi yang tertinggi kedua dan ketiga di seluruh dunia.
Rasio probabilitas yang dimaksud menunjukkan peningkatan kemungkinan atau potensi terjadinya suatu peristiwa akibat dari perubahan iklim yang disebabkan manusia.
Temuan dari studi yang dilakukan ketiga lembaga itu memperlihatkan dua kejadian gelombang panas yang terjadi di Indonesia dan Filipina menempati rasio probabilitas tertinggi kedua dan ketiga di dunia atau memiliki potensi terjadi hal serupa.
Baca juga: Profesor UB: Gelombang panas terjadi akibat minimnya pertumbuhan awan
Kejadian pertama adalah gelombang panas yang terjadi di Indonesia dan Filipina pada 2-7 April 2024 dengan skor rasio probabilitas 29. Sementara posisi ketiga adalah gelombang panas yang terjadi 26-31 Oktober 2023 yang memiliki skor rasio probabilitas sebesar 25.
Indikasi dari rasio probabilitas itu adalah skor 25 berarti perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia membuat kejadian tersebut 25 kali lebih mungkin terjadi.
Wilayah dengan skor probabilitas tertinggi menurut laporan itu adalah gelombang panas yang terjadi di Kepulauan Marshall dan Mikronesia, dengan skor tercatat sebesar 35 untuk kejadian periode 7-12 Maret 2024.
Laporan itu juga menemukan bahwa selama periode 12 bulan, sebanyak 6,3 miliar orang atau sekitar 78 persen dari populasi global mengalami cuaca panas ekstrem setidaknya selama 31 hari, yang setidaknya dua kali lebih mungkin terjadi akibat perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia.
Baca juga: Imbauan persiapan suhu Indonesia akan sampai di 40 hingga 50 derajat Celsius, benarkah?
Selain itu selama 12 bulan terakhir di seluruh dunia perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia menambah rata-rata suhu panas ekstrem selama 26 hari lebih lama dibandingkan jika bumi tidak mengalami perubahan iklim.
Sebelumnya Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dalam pernyataan pada awal Mei 2024 menyebut fenomena udara panas yang terjadi di Indonesia selama beberapa hari terakhir bukan merupakan gelombang panas.
Deputi Meteorologi BMKG Guswanto dalam pernyataan pada 2 Mei 2024 mengatakan ditinjau secara karakteristik fenomena maupun indikator statistik pengamatan suhu Indonesia tidak termasuk ke dalam kategori heatwave, karena tidak memenuhi persyaratan sebagai gelombang panas.
Dia menyebut suhu panas terik harian yang terjadi di wilayah Indonesia pada periode awal Mei merupakan fenomena akibat dari adanya gerak semu matahari.
Baca juga: BMKG pastikan udara panas yang melanda Indonesia bukan “heatwave”
Baca juga: BRIN: Siang terik dan malam hujan indikasi akhir musim transisi
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2024
Tags: