Artikel
Era kebangkitan Indonesia di tengah turbulensi ekonomi global
Oleh D.Dj. Kliwantoro
28 Mei 2024 07:52 WIB
Narasumber pada diskusi bertopik "Kebangkitan Nasional, Kebangkitan Ekonomi?" yang diselenggarakan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) dan Universitas Paramadina di Jakarta, Senin (27/5/2024). ANTARA/HO-Universitas Paramadina.
Semarang (ANTARA) - Kesadaran sejarah dari suatu bangsa sangat penting. Sejarah Indonesia yang tercatat lahir pada bulan Mei terdapat kelompok-kelompok pemuda pada tahun 1908 men-declare membentuk satu kesatuan bangsa pada lebih 1 abad lalu.
Harus disadari, kesadaran sejarah dari bangsa Indonesia sudah demikian panjang. Oleh karena itu, amat disayangkan jika saja ada pihak-pihak tertentu yang ingin pecah belah bangsa dan demokrasi.
Hal itu berarti, menurut Rektor Universitas Paramadina Prof. Dr. Didik J. Rachbini, ingin menghancurkan sejarah panjang perjalanan bangsa.
Perkumpulan Boedi Utomo adalah awal munculnya kesadaran dari kelompok elite bangsa, kemudian terus bermunculan organisasi kebangsaan sampai 1945. Pada kala itu menggunakan demokrasi perwakilan lewat Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Untuk diketahui, pada tahun 1945 golongan terdidik bangsa hanya 5 persen dari total jiwa penduduk Indonesia. Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, demokrasi perwakilan itu masih digunakan dengan sistem noken di Papua.
Konteks amat pentingnya bangun kesadaran sejarah ditekankan pula oleh Prof. Didik dalam diskusi bertopik Kebangkitan Nasional, Kebangkitan Ekonomi? yang diselenggarakan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) dan Universitas Paramadina di Jakarta, Senin (27/5).
Membangun kesadaran sejarah amat penting karena kelak pada ujungnya adalah kembali pada UUD NRI Tahun 1945 yang dalam ekonomi politik masuk wilayah ekonomi konstitusi.
Kondisi pada masa itu tentu berbeda dengan keadaan masa kini. Namun, spirit kebangsaan tetap harus terjaga manakala anak bangsa ini selalu bertekad membangun kesadaran sejarah.
Setidaknya benang merah jangan sampai terputus ketika anak bangsa akan membangkitkan ekonomi bangsa ini di tengah ekonomi global yang sedang tidak baik-baik saja. Bahkan, perlambatan ekonomi dan stagnasi global masih berlanjut pada tahun 2024.
Stagnasi global tersebut mencatat produk domestik bruto (PDB) global hanya akan tumbuh di angka 3,2 persen (yoy) global tahunan 2023, 2024, dan 2025.
Meski negara-negara ekonomi maju mengalami sedikit penguatan ekonomi (1,7 persen), kata Eisha Maghfiruha R. Ph.D., Kepala Center of Digital Economy and SMEs INDEF, di negara-negara berkembang terjadi sedikit perlambatan hanya tumbuh 4,2 persen pada tahun 2024.
Ambil contoh ekonomi Amerika Serikat. Negara Paman Sam ini diprediksi alami penguatan secara domestik, diperkirakan 2,7 persen pada tahun 2024 atau naik dari 2,5 persen pada tahun 2023 (yoy).
Pertumbuhan pasar tenaga kerja cukup kuat, konsumsi masyarakatnya terjaga, dan tabungan masyarakat dari subsidi pemerintah pada masa pandemi COVID-19 menjadi bantalan ekonomi yang amat menolong sisi konsumsi dan daya beli.
Begitu pula, arah kebijakan ekonomi Amerika Serikat juga berusaha untuk menurunkan inflasi. Suku bunga AS diproyeksi akan turun pada pertengahan tahun ini.
Perubahan cepat dalam dinamika ekonomi global, kata Eisha, dipengaruhi eskalasi perang di Timur Tengah dan konflik Rusia dan Ukraina. Eskalasi global tersebut tentunya mempunyai risiko ekonomi pada Indonesia.
Situasi politik global yang tidak stabil, berpotensi mengurangi probabilitas masuknya investasi asing. Di samping itu, adanya kebijakan moneter AS yang cenderung menjaga suku bunga tinggi, dan menyebabkan arus modal keluar dari negara berkembang ke AS.
Berikutnya, menurut Eisha, terjadi pelemahan nilai tukar mata uang di negara-negara berkembang akibat penguatan dolar AS. Ini berisiko potensial, termasuk penundaan dalam pemangkasan suku bunga AS, US treasury yield (imbal hasil obligasi pemerintah AS) tinggi, dan eskalasi geopolitik global perlu terus dicermati.
Ekonomi domestik rupanya tumbuh 5,1 persen yoy pada kuartal pertama (Q-1) 2024. Sebuah capaian tertinggi untuk triwulan pertama dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Namun, pertumbuhan tersebut, terutama didorong oleh Ramadhan dan konsumsi pemerintah, yang paling utama belanja pemerintah untuk bantuan sosial dan pemilu. Berikut konsumsi rumah tangga selama puasa dan Idul Fitri 1445 Hijriah.
Dengan demikian, Eisha menyayangkan ekonomi domestik belum bisa terdorong oleh kegiatan sisi produksi yang maksimal. Oleh karena itu, program pemerintah baru oleh elected president (presiden terpilih) menjadi fokus penting dari serangkaian program yang dicanangkan oleh pemenang Pilpres 2024.
Hal senada juga disampaikan ekonom Universitas Paramadina Dr. Wijayanto Samirin. Kondisi global saat ini, menurut dia, jelas tidak bersahabat bagi Indonesia.
Praktis terdapat beban yang luar biasa berat bagi tumbuh kembangnya ke depan perekonomian nasional. Untuk itu, perlu kemauan kuat dan rencana tepat dari pemerintahan baru. Namun, disadari "kaki-kaki yang dimiliki demikian lemah" dengan gambaran fundamental ekonomi yang agak memprihatinkan.
Pada kesempatan itu ekonom Wijayanto Samirin memberi solusi untuk memperkuat kaki-kaki, antara lain, dengan memperkokoh kolaborasi, memperbaiki konsistensi kebijakan, memperkuat penegakan hukum, dan reindustrialisasi.
Perang Rusia versus Ukraina, eskalasi di Timur Tengah, perang dagang AS vs Tiongkok yang berkepanjangan ditingkahi pelemahan ekonomi AS dengan tren dedolarisasi dan disrupsi suku bunga global. Terakhir, tercatat pula harga komoditas yang berfluktuasi dan menunjukkan tren menurun yang akan berdampak pada harga komoditas nasional.
Sorotan yang sama juga disampaikan Dr. Handi Risza. Diungkapkan oleh ekonom Universitas Paramadina bahwa dewasa ini dunia sedang dihantui dengan tiga permasalahan utama (triple horror), yakni inflasi tinggi, tingkat suku bunga tinggi, dan pertumbuhan ekonomi yang melambat.
Diperkirakan kondisi tersebut akan berlangsung lama, bahkan akan berdampak pada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Perekonomian nasional diprediksi juga mengalami perlambatan.
Amerika Serikat dan Eropa, misalnya, tingkat inflasi masih tinggi. Hal ini memicu Bank Sentral AS (The Fed) dan Eropa menerapkan kebijakan moneter yang ketat, dengan menaikkan tingkat suku bunga.
Sementara itu, The Fed dan bank sentral negara Eropa sudah menaikkan tingkat suku bunga beberapa kali dan tertinggi dalam beberapa dekade terakhir, imbasnya adalah terjadi capital flight (pelarian modal) dari negara emerging market (pasar negara berkembang) ke AS dan Eropa.
Dengan kondisi global seperti sekarang ini, semua komponen bangsa harus bangkit mengatasi turbulensi ekonomi global, kemudian menyatupadukan gerak dan langkah menuju Indonesia maju serta turut serta menyejahterakan dan memakmurkan rakyat Indonesia tanpa kecuali.
Harus disadari, kesadaran sejarah dari bangsa Indonesia sudah demikian panjang. Oleh karena itu, amat disayangkan jika saja ada pihak-pihak tertentu yang ingin pecah belah bangsa dan demokrasi.
Hal itu berarti, menurut Rektor Universitas Paramadina Prof. Dr. Didik J. Rachbini, ingin menghancurkan sejarah panjang perjalanan bangsa.
Perkumpulan Boedi Utomo adalah awal munculnya kesadaran dari kelompok elite bangsa, kemudian terus bermunculan organisasi kebangsaan sampai 1945. Pada kala itu menggunakan demokrasi perwakilan lewat Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Untuk diketahui, pada tahun 1945 golongan terdidik bangsa hanya 5 persen dari total jiwa penduduk Indonesia. Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, demokrasi perwakilan itu masih digunakan dengan sistem noken di Papua.
Konteks amat pentingnya bangun kesadaran sejarah ditekankan pula oleh Prof. Didik dalam diskusi bertopik Kebangkitan Nasional, Kebangkitan Ekonomi? yang diselenggarakan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) dan Universitas Paramadina di Jakarta, Senin (27/5).
Membangun kesadaran sejarah amat penting karena kelak pada ujungnya adalah kembali pada UUD NRI Tahun 1945 yang dalam ekonomi politik masuk wilayah ekonomi konstitusi.
Kondisi pada masa itu tentu berbeda dengan keadaan masa kini. Namun, spirit kebangsaan tetap harus terjaga manakala anak bangsa ini selalu bertekad membangun kesadaran sejarah.
Setidaknya benang merah jangan sampai terputus ketika anak bangsa akan membangkitkan ekonomi bangsa ini di tengah ekonomi global yang sedang tidak baik-baik saja. Bahkan, perlambatan ekonomi dan stagnasi global masih berlanjut pada tahun 2024.
Stagnasi global tersebut mencatat produk domestik bruto (PDB) global hanya akan tumbuh di angka 3,2 persen (yoy) global tahunan 2023, 2024, dan 2025.
Meski negara-negara ekonomi maju mengalami sedikit penguatan ekonomi (1,7 persen), kata Eisha Maghfiruha R. Ph.D., Kepala Center of Digital Economy and SMEs INDEF, di negara-negara berkembang terjadi sedikit perlambatan hanya tumbuh 4,2 persen pada tahun 2024.
Ambil contoh ekonomi Amerika Serikat. Negara Paman Sam ini diprediksi alami penguatan secara domestik, diperkirakan 2,7 persen pada tahun 2024 atau naik dari 2,5 persen pada tahun 2023 (yoy).
Pertumbuhan pasar tenaga kerja cukup kuat, konsumsi masyarakatnya terjaga, dan tabungan masyarakat dari subsidi pemerintah pada masa pandemi COVID-19 menjadi bantalan ekonomi yang amat menolong sisi konsumsi dan daya beli.
Begitu pula, arah kebijakan ekonomi Amerika Serikat juga berusaha untuk menurunkan inflasi. Suku bunga AS diproyeksi akan turun pada pertengahan tahun ini.
Perubahan cepat dalam dinamika ekonomi global, kata Eisha, dipengaruhi eskalasi perang di Timur Tengah dan konflik Rusia dan Ukraina. Eskalasi global tersebut tentunya mempunyai risiko ekonomi pada Indonesia.
Situasi politik global yang tidak stabil, berpotensi mengurangi probabilitas masuknya investasi asing. Di samping itu, adanya kebijakan moneter AS yang cenderung menjaga suku bunga tinggi, dan menyebabkan arus modal keluar dari negara berkembang ke AS.
Berikutnya, menurut Eisha, terjadi pelemahan nilai tukar mata uang di negara-negara berkembang akibat penguatan dolar AS. Ini berisiko potensial, termasuk penundaan dalam pemangkasan suku bunga AS, US treasury yield (imbal hasil obligasi pemerintah AS) tinggi, dan eskalasi geopolitik global perlu terus dicermati.
Ekonomi domestik rupanya tumbuh 5,1 persen yoy pada kuartal pertama (Q-1) 2024. Sebuah capaian tertinggi untuk triwulan pertama dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Namun, pertumbuhan tersebut, terutama didorong oleh Ramadhan dan konsumsi pemerintah, yang paling utama belanja pemerintah untuk bantuan sosial dan pemilu. Berikut konsumsi rumah tangga selama puasa dan Idul Fitri 1445 Hijriah.
Dengan demikian, Eisha menyayangkan ekonomi domestik belum bisa terdorong oleh kegiatan sisi produksi yang maksimal. Oleh karena itu, program pemerintah baru oleh elected president (presiden terpilih) menjadi fokus penting dari serangkaian program yang dicanangkan oleh pemenang Pilpres 2024.
Hal senada juga disampaikan ekonom Universitas Paramadina Dr. Wijayanto Samirin. Kondisi global saat ini, menurut dia, jelas tidak bersahabat bagi Indonesia.
Praktis terdapat beban yang luar biasa berat bagi tumbuh kembangnya ke depan perekonomian nasional. Untuk itu, perlu kemauan kuat dan rencana tepat dari pemerintahan baru. Namun, disadari "kaki-kaki yang dimiliki demikian lemah" dengan gambaran fundamental ekonomi yang agak memprihatinkan.
Pada kesempatan itu ekonom Wijayanto Samirin memberi solusi untuk memperkuat kaki-kaki, antara lain, dengan memperkokoh kolaborasi, memperbaiki konsistensi kebijakan, memperkuat penegakan hukum, dan reindustrialisasi.
Perang Rusia versus Ukraina, eskalasi di Timur Tengah, perang dagang AS vs Tiongkok yang berkepanjangan ditingkahi pelemahan ekonomi AS dengan tren dedolarisasi dan disrupsi suku bunga global. Terakhir, tercatat pula harga komoditas yang berfluktuasi dan menunjukkan tren menurun yang akan berdampak pada harga komoditas nasional.
Sorotan yang sama juga disampaikan Dr. Handi Risza. Diungkapkan oleh ekonom Universitas Paramadina bahwa dewasa ini dunia sedang dihantui dengan tiga permasalahan utama (triple horror), yakni inflasi tinggi, tingkat suku bunga tinggi, dan pertumbuhan ekonomi yang melambat.
Diperkirakan kondisi tersebut akan berlangsung lama, bahkan akan berdampak pada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Perekonomian nasional diprediksi juga mengalami perlambatan.
Amerika Serikat dan Eropa, misalnya, tingkat inflasi masih tinggi. Hal ini memicu Bank Sentral AS (The Fed) dan Eropa menerapkan kebijakan moneter yang ketat, dengan menaikkan tingkat suku bunga.
Sementara itu, The Fed dan bank sentral negara Eropa sudah menaikkan tingkat suku bunga beberapa kali dan tertinggi dalam beberapa dekade terakhir, imbasnya adalah terjadi capital flight (pelarian modal) dari negara emerging market (pasar negara berkembang) ke AS dan Eropa.
Dengan kondisi global seperti sekarang ini, semua komponen bangsa harus bangkit mengatasi turbulensi ekonomi global, kemudian menyatupadukan gerak dan langkah menuju Indonesia maju serta turut serta menyejahterakan dan memakmurkan rakyat Indonesia tanpa kecuali.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024
Tags: