Jakarta (ANTARA) - Bukan anak muda Jakarta namanya jika tak nongkrong ke Blok M, Jakarta Selatan. Seolah kawasan itu yang cepat terlintas untuk menjadi pilihan menghabiskan waktu kala hari libur.

Pada tahun 1940-an, sejarawan Asep Kambali menceritakan, Kota Jakarta, dulu, dibagi oleh Belanda menjadi beberapa blok. Blok M menjadi salah satunya yang populer lantaran ditujukan sebagai pusat bisnis dan perbelanjaan dalam kota.

Kepopuleran ini lantaran Blok M dulunya dibangun sebagai pusat perbelanjaan dengan dilalui jalan besar sehingga cocok menjadi tempat pertemuan daripada kawasan lainnya. Sejumlah kawasan hanya difokuskan menjadi pusat pemerintahan seperti di Jakarta Pusat.

“Zaman dulu, jalur Sudirman-Thamrin difokuskan untuk menjadi pusat pemerintahan, kantor, hingga perhotelan, sedangkan Sarinah cenderung sebagai tempat perbelanjaan daripada tempat sekadar nongkrong,” kata Asep kepada ANTARA.

Selain itu, kawasan Blok M semakin populer dengan adanya “Little Tokyo” yang mengangkat daya tarik budaya Jepang sejak tahun 90-an.

Pengaruh adanya unsur Jepang ini lantaran adanya peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari 1974 (Malari 1974). Saat itu muncul demonstrasi memprotes kekuatan Jepang yang masih mengontrol ekonomi Indonesia yang sudah merdeka.

“Massa mendemo (menolak) semua produk Jepang, mereka menyerbu Pasar Senen dan Blok M,” jelasnya.

Dari peristiwa itu meninggalkan aksen Jepang sehingga mengubah pemikiran masyarakat mengenai budaya maupun kuliner dari Negeri Matahari Terbit, sampai sekarang.
Taman Literasi Martha Christina Tiahahu, Jakarta Selatan usai direvitalisasi, Jakarta, Senin (19/9/2022) ANTARA/Luthfia Miranda Putri


Revitalisasi Blok M

Blok M kini semakin beragam menjadi kawasan terpadu, mulai dari adanya taman, kafe, pusat perbelanjaan, hingga adanya keterjangkauan transportasi.

Namun di sisi lain, berdasarkan pantauan di lokasi, ditemukan sejumlah kios yang tutup di bawah Terminal Blok M. Orang-orang hanya berlalu lalang menjadikannya jalan pintas menuju ke pusat perbelanjaan lainnya.

Tampak deretan pintu kios itu tertutup rapat dan bangunan tua itu terlihat kian tak terawat.

Bahkan, pada malam hari tempat itu menjadi gelap. Terasa menegangkan saat orang yang melintas menuju terminal dengan hanya menggunakan penerangan minim agar bisa sampai tujuan.

Kawasan itu perlu direvitalisasi dengan tujuan pemerataan pembangunan. Asep mengaku sepakat dengan rencana revitalisasi Blok M yang akan dijadikan kawasan berorientasi transit (transit oriented development/TOD).

“Ini mengatur persebaran penduduk, jadi itu bagus ... karena konsentrasi orang di beberapa tempat sudah terlalu penuh sehingga harus ada pemerataan penduduk,” ujarnya.

Terlebih, saat ini kawasan luar Jakarta seperti Bekasi maupun Depok sudah memiliki pusat perbelanjaan sehingga pengembangan Blok M seharusnya memang tak hanya sebagai sarana tongkrongan.

Namun, terlepas dari itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta maupun pengelola diminta bisa menciptakan memorabilia melalui foto, video, maupun benda yang mampu merepresentasikan Blok M dari zaman dulu hingga sekarang.

Nantinya dari kalangan tua maupun muda bisa sama-sama belajar sejarah dan semakin mencintai sejarah negaranya dengan cara yang menyenangkan.

Dia berharap struktur gedung lama Blok M tetap dipertahankan, bukan dihilangkan yang nantinya tidak memberikan nilai berkelanjutan. “Jadi ada harmonisasi antara masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang,” harapnya.

Karena, mempertahankan bangunan tua berarti pula merawat ingatan perjalanan bangsa.


Kawasan berorientasi transit

PT MRT Jakarta (Perseroda) mengembangkan konsep multifungsi (mixed use) di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, yang menjadi bagian dari rencana pengembangan berorientasi transit (TOD) di lokasi tersebut pada 2024.

Bangunan multifungsi ini kelak dirancang terdiri atas apartemen, retail (termasuk reklame), hotel, dan perkantoran di atas lahan seluas sekitar 2,4 hektare milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Rencananya dari Stasiun MRT Blok M, Taman Literasi Martha Christina Tiahahu, hingga ke Terminal Blok M akan terhubung sesuai konsep perencanaan induk tata ruang (masterplan).
Arsip foto - Foto udara jembatan layang (skybridge) penghubung Stasiun MRT Asean dan Halte Transjakarta CSW di Jakarta, Rabu (11/8/2021). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/aww/aa.


Bangunan di kawasan Terminal Blok M akan dipersempit, namun bentuknya tetap dipertahankan untuk menyambung simpul transportasi terintegrasi.

Kepala Satuan Pelayanan (Kasatpel) Terminal Bus Blok M, Joni Budhi, mengatakan pihaknya akan membuat halte sementara sebagai pemberhentian armada yang nantinya berada di kawasan lingkar luar Blok M, mulai dari Jalan Panglima Polim hingga Mabes Polri.

"Nanti rute Terminal Blok M masih bisa dilewati meski sekarang bukan tujuan akhir, lantaran semua transportasi sudah terintegrasi dan kebanyakan berakhir di Bundaran Senayan," katanya.

Rencana tersebut sudah tertuang dalam Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 55 Tahun 2020 mengenai Panduan Rancang Kota (PRK) Kawasan Pembangunan Berorientasi Transit Blok M dan Sisingamangaraja yang berlokasi di Kecamatan Kebayoran Baru, Kota Administrasi Jakarta Selatan.

Dalam revitalisasi tersebut, PT MRT Jakarta menangani pembangunan, sedangkan pengelola Terminal Blok M sebagai pelaksana teknis lapangan.

PT MRT Jakarta (Perseroda) menyatakan tahap awal pengembangan lahan Terminal Blok M untuk tempat tinggal (residensial) dari seluruh pengembangan kawasan yang berkonsep multifungsi.

"Tahap awal ini menyasar residensial," kata Direktur Pengembangan Bisnis PT MRT Jakarta (Perseroda) Farchad Mahfud dalam Forum Jurnalis MRT di Jakarta.

Pada 2024, PT MRT Jakarta menyebutkan Terminal Blok M mencapai tahap perizinan aset termasuk membahas aspek pemanfaatan lahan.

Editor: Achmad Zaenal M