Kolombo (ANTARA) - Setelah mengantre selama lebih dari 10 menit, Thilini Thilakarathne, seorang pengajar asal Sri Lanka dari Thurstan College, akhirnya menerima semangkuk teh minyak dari Daerah Otonom Etnis Zhuang Guangxi, China selatan.

Pada acara bertajuk "Tea for Harmony: Yaji Cultural Salon" yang baru-baru ini digelar di Kolombo, Sri Lanka, Thilakarathne mencicipi teh China untuk pertama kalinya.

"Teh minyak ini rasanya seperti makanan pokok. Aneh bagi saya, tetapi saya sangat menyukainya," ujar dia.

Teh minyak yang dicicipi oleh Thilakarathne berasal dari era Dinasti Tang, yang merupakan tradisi kuliner unik yang diciptakan oleh masyarakat kelompok etnis Yao di China. Belakangan ini, teh minyak menjadi ritual hidup yang penting dan etiket tertinggi bagi masyarakat Yao saat menyambut tamu terhormat.

Pada 2022, "Teknik Pengolahan Teh Tradisional dan Praktik Sosial Terkait di China", termasuk tradisi teh minyak Yao sebagai salah satu bagiannya, dimasukkan ke dalam Daftar Perwakilan Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan UNESCO.

Di sebelah stan teh minyak, para ekshibitor juga sibuk menyeduh dan mendistribusikan teh minyak sembari membimbing anak-anak yang penasaran tentang cara menumbuk daun teh, jahe, dan bawang putih menggunakan sebuah panci besi. Di sisi lainnya, di stan teh Liubao Guangxi, sekelompok "ahli China" asal Sri Lanka sedang menyeruput dan mencicipi teh.

"Teh Ceylon kami biasanya dipadukan dengan gula dan susu, namun, kita juga bisa meminum teh China langsung. Rasanya lebih lembut dan harum. Saya sangat menyukai teh China," ujar Dinesh Karunarathna, pemuda Sri Lanka yang belajar dan tinggal di China selama delapan tahun, dalam bahasa Mandarin yang fasih.
Orang-orang menonton pembuatan Youcha (teh minyak) dari kelompok etnis Yao saat acara "Tea for Harmony: Yaji Cultural Salon and Guangxi Cultural and Tourism Promotiion" di Kolombo, Sri Lanka, pada 21 Mei 2024. (ANTARA/Xinhua/Wu Yue)


Setelah kembali ke Sri Lanka dari China, Karunarathna biasanya menikmati secangkir teh China di rumah. Dalam acara ini, Karunarathna mencicipi lima jenis teh Liubao, antara lain teh melati dan jelaga pinus.

Teknik pembuatan teh Liubao juga merupakan subproyek warisan budaya takbenda UNESCO. Liubao, yang pernah laris terjual di negara-negara Asia Tenggara pada awal abad ke-20, kini mencatatkan ekspor yang bahkan lebih kuat di dunia dan telah menjadi simbol teh Guangxi China.

Dalam acara pameran warisan budaya takbenda, terdapat cangkir teh yang terbuat dari tembikar Nixing, teko berbentuk seperti drum perunggu, dan para ekshibitor dengan pakaian tradisional menyajikan teh. Setiap langkah dalam proses pembuatan teh mewakili etiket kuno China, yang terus mendapatkan pujian dari para pengunjung asal Sri Lanka.

"Teh telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari masyarakat China dan Sri Lanka. Menceritakan kisah yang bagus tentang teh akan semakin mempererat ikatan emosional antara kedua negara," ujar penyelenggara sekaligus kepala Pusat Kebudayaan China di Sri Lanka Ni Lisheng.