Teks lontar Kalpabuddha refleksi ajaran Buddha hapus kekotoran batin
22 Mei 2024 20:23 WIB
Tangkapan layar-Dosen Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri (STABN) Raden Wijaya Wonogiri Jawa Tengah, Manggala Wiriya Tantra dalam diskusi daring bersama Perpusnas bertema "Mengupas teks lontar Kalpabuddha dan manifestasinya dalam kehidupan" yang diikuti di Jakarta, Rabu (22/5/2024). (ANTARA/Lintang Budiyanti Prameswari)
Jakarta (ANTARA) - Dosen Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri (STABN) Raden Wijaya Wonogiri Jawa Tengah, Manggala Wiriya Tantra menyampaikan bahwa teks lontar Kalpabuddha, salah satu teks kuno Nusantara merupakan refleksi ajaran Buddha untuk menghapus atau melenyapkan kilesa (kekotoran batin).
“Dalam Kalpabuddha, pencapaian tertinggi yang diadopsi adalah Nirwana, dan secara implisit, Nirwana dapat dicapai melalui pikiran terpusat, teguh, hening, dan tidak tergoyahkan. Cara ini dapat menekan dan melenyapkan kilesa atau kekotoran batin hingga manifestasi hawa nafsu padam seutuhnya,” kata Manggala dalam diskusi yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.
Diskusi bertema “Mengupas teks lontar Kalpabuddha dan manifestasinya dalam kehidupan” diselenggarakan secara daring oleh Perpustakaan Nasional berkolaborasi dengan komunitas, dosen, dan filolog untuk memperingati Hari Raya Waisak yang jatuh pada Kamis (23/5).
Baca juga: Jelajah Literasi Nusantara kenalkan naskah kuno pada pemustaka anak
Manggala menjelaskan, dalam teks lontar Kalpabuddha, untuk mencapai kebebasan sejati, harus dilalui dengan cara melepaskan kemelekatan terhadap harta, sesuatu yang disayangi, tidak melekat kepada keluarga, dan bebas dari sifat buruk yang menjadi penyebab penderitaan.
“Dalam kehidupan sehari-hari, ketika kita kehilangan anggota keluarga, suatu benda yang kita sayangi, sesuatu yang kita anggap berharga, tentu kita merasa bahwa kita kehilangan dan membuat diri kita menderita sendiri. Dalam Kalpabuddha ini, saya menangkapnya secara implisit, justru inilah yang harus dilepaskan,” ujar dia.
Ia mengemukakan, yang membuat manusia menderita adalah kemelekatan pada hal-hal yang berada di luar entitas dirinya.
Baca juga: Wali Kota: Semarang memiliki sejarah panjang penyebaran agama Buddha
“Padahal benda dengan kita, biasanya benda berharga, sebut saja ponsel, itu di luar dari entitas diri kita, tetapi ketika ada attachment atau kemelekatan, lalu dia rusak atau jatuh dan hilang, kita menjadi menderita,” ucapnya.
Ia menekankan bahwa inti ajaran Buddha yakni membersihkan hati dan pikiran, yang sangat representatif dalam teks Buddha Vairocana sebagai sumber utama untuk mengatasi semua gangguan.
“Gangguan tersebut berupa salah pengertian dan kegelapan batin, sehingga melalui ajaran Buddha Vairocana yang berpusat di hati untuk mencapai pencerahan, manusia dapat mencapai kebijaksanaan tertinggi yang sering disebutkan dalam teks Kalpabuddha,” tuturnya.
Baca juga: Puluhan biksu melakukan pengambilan air berkah Waisak di Umbul Jumprit
Ia juga menyampaikan bahwa melalui refleksi dalam teks lontar Kalpabuddha, seseorang bisa menjadi tergugah, tersadarkan, dan tercerahkan.
“Dharma (ajaran Buddha) telah menjadi senjata yang ampuh dalam melenyapkan kekotoran batin untuk menembus pencapaian tertinggi,” kata dia.
“Dalam Kalpabuddha, pencapaian tertinggi yang diadopsi adalah Nirwana, dan secara implisit, Nirwana dapat dicapai melalui pikiran terpusat, teguh, hening, dan tidak tergoyahkan. Cara ini dapat menekan dan melenyapkan kilesa atau kekotoran batin hingga manifestasi hawa nafsu padam seutuhnya,” kata Manggala dalam diskusi yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.
Diskusi bertema “Mengupas teks lontar Kalpabuddha dan manifestasinya dalam kehidupan” diselenggarakan secara daring oleh Perpustakaan Nasional berkolaborasi dengan komunitas, dosen, dan filolog untuk memperingati Hari Raya Waisak yang jatuh pada Kamis (23/5).
Baca juga: Jelajah Literasi Nusantara kenalkan naskah kuno pada pemustaka anak
Manggala menjelaskan, dalam teks lontar Kalpabuddha, untuk mencapai kebebasan sejati, harus dilalui dengan cara melepaskan kemelekatan terhadap harta, sesuatu yang disayangi, tidak melekat kepada keluarga, dan bebas dari sifat buruk yang menjadi penyebab penderitaan.
“Dalam kehidupan sehari-hari, ketika kita kehilangan anggota keluarga, suatu benda yang kita sayangi, sesuatu yang kita anggap berharga, tentu kita merasa bahwa kita kehilangan dan membuat diri kita menderita sendiri. Dalam Kalpabuddha ini, saya menangkapnya secara implisit, justru inilah yang harus dilepaskan,” ujar dia.
Ia mengemukakan, yang membuat manusia menderita adalah kemelekatan pada hal-hal yang berada di luar entitas dirinya.
Baca juga: Wali Kota: Semarang memiliki sejarah panjang penyebaran agama Buddha
“Padahal benda dengan kita, biasanya benda berharga, sebut saja ponsel, itu di luar dari entitas diri kita, tetapi ketika ada attachment atau kemelekatan, lalu dia rusak atau jatuh dan hilang, kita menjadi menderita,” ucapnya.
Ia menekankan bahwa inti ajaran Buddha yakni membersihkan hati dan pikiran, yang sangat representatif dalam teks Buddha Vairocana sebagai sumber utama untuk mengatasi semua gangguan.
“Gangguan tersebut berupa salah pengertian dan kegelapan batin, sehingga melalui ajaran Buddha Vairocana yang berpusat di hati untuk mencapai pencerahan, manusia dapat mencapai kebijaksanaan tertinggi yang sering disebutkan dalam teks Kalpabuddha,” tuturnya.
Baca juga: Puluhan biksu melakukan pengambilan air berkah Waisak di Umbul Jumprit
Ia juga menyampaikan bahwa melalui refleksi dalam teks lontar Kalpabuddha, seseorang bisa menjadi tergugah, tersadarkan, dan tercerahkan.
“Dharma (ajaran Buddha) telah menjadi senjata yang ampuh dalam melenyapkan kekotoran batin untuk menembus pencapaian tertinggi,” kata dia.
Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2024
Tags: