Jakarta (ANTARA News) - Setelah setahun melakukan larangan, Pemerintah Korea Selatan (Korsel) akhirnya kembali mengizinkan pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI), tetapi harus melalui Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) guna menghindari kasus penyalahgunaan visa. Proses pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) itu dilakukan di bawah kerja sama antar-pemerintah (Government to Government/G-to-G), sehingga Depnakertrans menjadi satu-satunya pihak yang berwenang mengirimkan TKI, kata Konselor Kedutaan Besar Republik Korea (Korsel) di Jakarta, Yoon Moon-Han, Kamis. "Hanya Depnakertrans RI pihak yang berwenang mengirim tenaga kerja ke Korea. Agen swasta harus dijauhkan dari bisnis pengiriman tenaga kerja ini. Dan, hanya TKI yang memegang visa E-9 dari Kedubes Republik Korea di Jakarta yang diizinkan bekerja," ujarnya dalam konferensi pers yang turut dihadiri Atase Imigrasi Kedubes Republik Korea, Park Sang-Hoon. Di bawah kerja sama antar-pemerintah itu, menurut dia, proses sistem pengiriman TKI harus melalui Depnakertrans RI yang mengirimkan daftar TKI ke Departemen Tenaga Kerja Korea. Visa panggilan (calling visa) bagi para TKI akan dikeluarkan Biro Imigrasi Kementerian Hukum Korsel berdasarkan hasil konsulasi dengan Depnaker Korsel. Setelah (calling visa) itu keluar, maka Depnaker Korsel akan mengirimkan nomor visa para calon TKI ke Depnakertrans RI, katanya. Kendati Depnakertrans merupakan satu-satunya pihak yang berwenang dalam pengiriman TKI yang telah menerima (calling visa), Kedubes Korsel juga telah mendengar rumor di kalangan TKI bahwa mereka memperoleh visa untuk masuk ke Korsel tanpa berhubungan dengan Depnakertrans RI, katanya. "Artinya, mereka dapat mengontak para calo atau agen swasta untuk mendapatkan visa. Para tenaga kerja Indonesia yang menjadi korban ulah calo ini datang ke kedutaan kami untuk memverifikasi masalah mereka. Setiap hari rata-rata kami menerima dua pengaduan penipuan hingga senilai Rp50 juta rupiah," katanya. Beberapa pihak yang tak bertanggungjawab memanfaatkan para calon TKI itu untuk menipu mereka melalui pembuatan surat palsu Depnakertrans, pemakaian sertifikat kontrak kerja palsu, pembuatan visa palsu, seperti C2/C3 Visa ( visa kunjungan dengan maksimal lama tinggal 90 hari), bersekongkol dengan Lembaga Bahasa Korea tertentu untuk mendapatkan sertifikat kemampuan berbahasa Korea guna memperoleh (calling visa), katanya. Selain harus berhati-hati dengan ulah para calo itu, ia mengingatkan, proses perizinan kerja yang berlaku di Korsel pun mutlak dipahami dan diikuti secara benar oleh para tenaga kerja asing, termasuk TKI. Ada sembilan proses yang harus dilalui mereka, yakni setiap calon harus mendapatkan sertifikasi kemampuan bahasa Korea untuk izin bekerja (EPS-KLT) dan tes kesehatan, mengajukan surat lamaran kerja ke Depnakertrans sebagai satu-satunya pihak yang berwenang. Selain itu, pihak perusahaan Korsel melakukan seleksi tenaga kerja yang mereka membutuhkan, penandatanganan kontrak kerja, tenaga kerja mengikuti pendidikan awal, pengajuan aplikasi visa melalui Kedubes Korsel di Jakarta, berangkat ke Korea, mengikuti pelatihan selama tiga hari dua malam sebelum ditempatkan di perusahaan yang merekrut, kata Yoon. Menurut dia, dibandingkan dengan pekerja asing dari Thailand, Vietnam, Mengolia, Pakistan, Sri Lanka, dan Filipina, maka para TKI merupakan pekerja asing yang paling disukai oleh pengusaha di negaranya. Mengutip hasil survei Institut Ketenagakerjaan Korea peride 2001-2005 tentang pekerja asing asal negara mana yang paling disukai pengusaha Korsel, menurut diam TKI selalu berada di urutan teratas lantaran dinilai rajin, mampu menjalin hubungan kekerabatan yang baik dengan pekerja Korea dan majikan, selalu bangun pagi, dan tidak mengonsumsi minuman beralkohol. "Hanya pada hasil survei 2005, pekerja Vietnam berada di posisi teratas dan disusul TKI di urutan kedua. Jadi, sebenarnya tidak ada masalah dengan TKI di mata pengusaha Korea. Masalahnya hanyalah dalam proses pengiriman saja," tambahnya. (*)