Purwokerto (ANTARA) - Momentum menjelang kenaikan kelas sering diibaratkan sebagai masa panen bagi pelaku kepariwisataan karena biasanya pada masa-masa tersebut, banyak sekolah yang menyelenggarakan widyawisata (study tour) dengan mengunjungi sejumlah destinasi yang menunjang pembelajaran.

Akan tetapi, setelah bus pengangkut rombongan murid dan guru SMK Lingga Kencana Kota Depok kecelakaan di Subang, Jawa Barat, pada 11 Maret 2024 sehingga mengakibatkan 11 orang meninggal dunia dan puluhan lainnya terluka, sejumlah daerah melarang penyelenggaraan widyawisata.

Larangan tersebut, saat ini memang belum serta merta berdampak terhadap penurunan kunjungan wisatawan khususnya dari kalangan pelajar karena widyawisata biasa digelar setelah sekolah melakukan penilaian akhir semester.

Hal itu diakui oleh Kepala Bidang Pariwisata Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (Dinporabudpar) Kabupaten Banyumas Wardoyo. Larangan widyawisata yang dikeluarkan sejumlah pemerintah daerah belum berdampak terhadap kunjungan wisatawan ke Banyumas.

Hal itu terlihat dari grafik kunjungan wisatawan khususnya di destinasi-destinasi milik Pemerintah Kabupaten Banyumas, yang masih relatif normal.

Dampak larangan widyawisata itu diperkirakan akan dirasakan pelaku kepariwisataan pada masa menjelang kenaikan kelas atau setelah siswa menjalani penilaian akhir semester.

Dinporabudpar Kabupaten Banyumas menyebut destinasi wisata di Banyumas selama ini banyak dikunjungi wisatawan maupun rombongan widyawisata dari berbagai kota di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Banten.

"Saya rasa larangan study tour (widyawisata) itu akan berdampak besar terhadap kunjungan wisata di Banyumas dalam beberapa pekan ke depan," katanya.

Berkah dari widyawisata tidak hanya dinikmati oleh para pelaku kepariwisataan di destinasi wisata, tapi juga pelaku usaha lainnya, seperti biro perjalanan wisata, hotel, restoran, dan UMKM.

Oleh karena itu, larangan kegiatan widyawisata dinilai sebagai kebijakan yang kontraproduktif mengingat Pemerintah sekarang ini terus mendorong sektor pariwisata yang mampu menggerakkan beragam lini usaha warga.

Jika larangan tersebut sampai diterapkan banyak daerah, hal itu memupuskan asa dan semangat para pelaku kepariwisataan yang tengah bangkit setelah terpuruk selama masa pandemi COVID-19.

Saat pandemi COVID-19 pada tahun 2020-2022, muncul kebijakan yang membatasi masyarakat melakukan aktivitas di luar rumah sebagai upaya untuk mengantisipasi penyebaran virus Corona.

Akibat adanya pembatasan tersebut, berbagai sekolah membatalkan rencana widyawisata. Bahkan, berbagai destinasi wisata terpaksa ditutup untuk sementara sehingga berdampak besar terhadap para pelaku kepariwisataan.

Kini, pandemi COVID-19 telah berlalu dan sektor pariwisata mulai bangkit dari keterpurukan. Memang, widyawisata bukan satu-satunya harapan para pelaku kepariwisataan untuk mendapatkan penghasilan karena kunjungan wisatawan tidak hanya ramai saat menjelang kenaikan kelas. Pada masa-masa liburan panjang, liburan akhir tahun, maupun saat Lebaran, objek wisata juga ramai.

Akan tetapi, berkah dari widyawisata itu dapat dirasakan oleh semua pihak yang terlibat dalam sektor pariwisata, seperti pengelola destinasi wisata, biro perjalanan wisata, usaha angkutan pariwisata, perhotelan, rumah makan, dan UMKM.

Terkait dengan hal itu, Ketua Perhimpunan Biro Perjalanan Eks Keresidenan Banyumas (Pebemas) M. Kardiyo mengharapkan kebijakan sejumlah daerah yang melarang widyawisata tersebut dapat mengevaluasi dan meninjau kembali agar para pelaku kepariwisataan tidak kembali mati suri.

"Kami kan pelaku kepariwisataan mencari uang di sektor wisata, mengapa harus dihadapkan dengan adanya larangan tersebut," katanya.

Pengusaha biro perjalanan wisata di Purwokerto itu menilai kecelakaan yang terjadi di Subang bukan kesalahan biro perjalanan wisatanya, melainkan kesalahan perusahaan bus pariwisata karena kir armada tersebut diketahui telah mati.

Di sisi lain, bus bermesin depan yang mengalami kecelakaan itu diketahui sudah berusia tua dan bodinya telah dimodifikasi sedemikian rupa agar terlihat seperti armada baru.

Kardiyo pun mengibaratkan bus yang tidak laik jalan tersebut sebagai kuda poni yang dipaksakan menjadi kuda pacu hingga akhirnya mengalami kecelakaan saat melintas di medan jalan yang ekstrem.

Ia mengingatkan berbagai pihak yang ingin berwisata secara rombongan, termasuk sekolah-sekolah yang akan menyelenggarakan widyawisata, hendaknya menggandeng biro-biro perjalanan wisata yang tergabung dalam asosiasi seperti Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Association of The Indonesian Tours and Travel Agencies/Asita) maupun Pebemas yang ada di wilayah eks Keresidenan Banyumas.

Dengan demikian, biro perjalanan wisata tersebut akan melayani konsumen dengan menggunakan bus yang bergaransi, serta faktor keamanan dan kenyamanan tetap diutamakan.

Perusahaan-perusahaan bus pariwisata di wilayah Keresidenan Banyumas, yang meliputi Kabupaten Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan Banjarnegara, konsisten menggunakan armada yang laik jalan karena secara rutin menjalani uji kir di Dinas Perhubungan setempat.

Dari sisi usia, bus-bus pariwisata di wilayah Keresidenan Banyumas masih relatif muda --armada tertua buatan tahun 2017-2018 -- dan hingga saat ini kondisinya masih prima karena banyak yang beristirahat cukup lama pada masa pandemi COVID-19.

"Jadi, kami minta larangan tersebut dievaluasi kembali karena saat ini kami sedang berupaya bangkit setelah mengalami keterpurukan saat pandemi COVID-19," kata Kardiyo.


Tidak melarang

Meskipun sejumlah daerah melarang kegiatan tur studi, hal itu tidak serta merta diikuti oleh Pemerintah Kabupaten Banyumas khususnya Dinas Pendidikan (Dindik) setempat.

Bagi Dindik Kabupaten Banyumas, kegiatan widyawisata tidak wajib diselenggarakan oleh sekolah, dan siswa pun tidak ada kewajiban untuk mengikutinya. Dengan kata lain, sekolah-sekolah di Banyumas boleh menyelenggarakan widyawisata, namun siswa tetap boleh tidak mengikuti kegiatan tersebut.

"Study tour itu pilihan, jadi tidak wajib," kata Kepala Dindik Kabupaten Banyumas Joko Wiyono.

Kendati demikian, dia mengingatkan kepada pihak sekolah dan orang tua siswa yang menghendaki penyelenggaraan widyawisata untuk memahami beberapa hal, antara lain memastikan bahwa biro perjalanan wisata yang menyelenggarakan rangkaian widyawisata tersebut berbadan hukum jelas.

Selain itu, harus memastikan bahwa kendaraan yang akan digunakan untuk mengangkut siswa dalam kondisi laik jalan yang dibuktikan dengan adanya surat kir dari dinas terkait yang menangani permasalahan tersebut dan memastikan pengemudinya berkualifikasi sesuai standar yang ditetapkan serta memiliki surat keterangan sehat.

Namun dari semua itu, yang paling penting adalah objek-objek yang dikunjungi dalam widyawisata tersebut berhubungan dengan edukasi. Adapun kunjungan wisata hanyalah bagian terkecil dari widyawisata karena yang paling pokok adalah studi untuk menguatkan materi pembelajaran.

Bahkan, bagi siswa yang tidak ikut tur studi pun tidak akan berdampak pada nilai akademik karena kegiatan tersebut hanyalah pilihan.

Kini, yang diharapkan pelaku kepariwisataan hanyalah evaluasi terhadap kebijakan sejumlah daerah yang melarang widyawisata karena kegiatan tersebut banyak menggerakkan ekonomi warga.

Editor: Achmad Zaenal M