Ignasius mengungkapkan penyediaan akses air melalui perusahaan daerah air minum atau PDAM hanya masif di kawasan perkotaan saja, sedangkan daerah-daerah pinggiran yang tidak mendapatkan layanan PDAM mengharuskan masyarakat mencari air secara mandiri.
Masyarakat mencari sumber air ke sungai-sungai atau danau-danau, serta air tanah untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Sumber-sumber air tersebut kadang tercemar limbah dan bakteri yang dapat mengganggu kesehatan.
Baca juga: BRIN: Indonesia butuh terobosan inovasi pemenuhan air minum-sanitasi
Baca juga: World Water Forum respons krisis air melalui peradaban Batanghari
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024, pemerintah telah menetapkan 100 persen akses air minum dan sanitasi layak dengan 30 persen perpipaan termasuk 15 persen air minum aman.
Pada 2022, angka capaian akses air minum perpipaan baru mencapai sekitar 19,47 persen (15,9 juta sambungan langsung) dan akses sanitasi sebesar 10,16 persen (7 juta kepala keluarga) dari target 15 persen pada akhir tahun 2024.
Adapun standar pelayanan yang disediakan oleh perusahaan air minum masih banyak yang belum memenuhi persyaratan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas sebagaimana ditetapkan pemerintah.
Ignasius menuturkan Indonesia membutuhkan terobosan-terobosan melalui inovasi dan teknologi agar dapat mempercepat penyediaan air minum dan sanitasi layak kepada masyarakat.
"Berbagai terobosan sangat diperlukan terkhusus penyediaan akses air minum dan sanitasi di wilayah-wilayah yang sulit aksesibilitas," pungkasnya.