Jakarta (ANTARA) - Riset dari The Strategic Research and Consulting (TSRC) menemukan fenomena split-ticket voting (STV) pada Pemilihan umum (Pemilu) 2024.
"STV merupakan fenomena membagi suara antara pilihan di pemilihan legislatif dan pemilihan presiden," kata Direktur Eksekutif TSRC Yayan Hidayat dalam pemaparan daring di Jakarta, Jumat.
Dia menjelaskan riset itu mengambil dua studi kasus daerah pemilihan, yakni daerah pemilihan Jawa Timur V dan DKI Jakarta III. Lanjut dia, riset itu menemukan bahwa perolehan suara partai politik yang tergabung dalam koalisi, tidak selalu menunjukkan linieritas pada hasil suara pemilihan eksekutif.
"Perilaku pemilih cenderung melakukan pembagian suara pilihan dengan memilih partai politik atau calon legislatif tertentu, namun tidak memilih pasangan yang diusung oleh partai politik tersebut," jelasnya.
Kata dia, Pemilu 2024, muncul fenomena menguatnya STV. Dimana diikuti tiga pasang calon presiden dan wakil presiden. STV terlihat cukup tinggi dan dialami oleh koalisi pasangan Ganjar-Mahfud dengan persentase sebanyak 6,10 persen. Artinya, perilaku pemilih dalam koalisi tersebut lebih memilih pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang berbeda dari calon yang diusung oleh koalisinya sendiri.
Hal yang sama juga dialami oleh koalisi perubahan yang mengusung Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar. Sekitar 4,22 persen pemilih dalam koalisi tersebut cenderung memilih pasangan calon yang berbeda dari calon yang diusung oleh Koalisi Perubahan.
"Jika dibandingkan pada Pemilu 2019, tidak terjadi STV secara signifikan. Kecenderungan pemilih masing-masing koalisi kompak. Dimana hanya ada dua pasangan calon dari Koalisi Koalisi Indonesia Maju dan Koalisi Indonesia Adil Makmur," jelasnya.
Sementara itu, Peneliti TSRC Erry Ike Setiawan mengatakan empat faktor yang dapat menjelaskan terjadinya STV pada Pemilu 2024. Pertama, efek kontaminasi dimana kader partai tak sejalan dengan pilihan politik partai dalam kancah Pilpres dan Pileg. Kata dia, setiap calon Legislatif di setiap tingkatan pemilihan selalu mempertimbangkan aspek kontaminasi, jika mengampanyekan pasangan capres dan cawapres yang diusung oleh partai politik atau koalisinya.
"Jika capres dan cawapres tersebut unggul di daerah pemilihannya, maka caleg tersebut cenderung masif mengampanyekannya. Sebaliknya, jika capres dan cawapres tersebut tidak unggul atau kuat, maka caleg tersebut cenderung menghindari efek kontaminasi negatif," ungkapnya.
Faktor kedua, kata dia, aspek komposisi pasangan calon. Dimana pada Pemilu 2019, kekuatan politik hanya terkanalisasi pada dua poros saja, yakni Koalisi Indonesia Maju dan Koalisi Indonesia Adil-Makmur. Hal itu kemudian membuat pilihan politik pemilih menjadi homogen dan cenderung linier antara pilihan terhadap partai politik dan pilihan terhadap pasangan capres dan Cawapres yang diusung oleh partai politik yang tergabung dalam koalisi tersebut.
"Namun sebaliknya, pada Pemilu 2024 kontestasi justru berlangsung cukup sengit, yang mana terdapat tiga poros politik yang saling bersinggungan satu sama lain, sehingga membuat pilihan politik menjadi dinamis dan cair," katanya.
Faktor ketiga, kata dia, pengaruh kefiguran dan rendahnya Party ID. Dia menjelaskan menguatnya pengaruh kefiguran yang beriringan dengan rendahnya Party ID, membuat pemilih tidak lagi mengidentifikasi pilihan capres dan cawapres berdasarkan kedekatan dengan partai politik. Hal itu yang membuat preferensi terhadap partai politik tidak selalu sejalan dengan preferensi terhadap capres dan cawapres yang diusung oleh partai politik tersebut. Pemilih lebih mempertimbangkan aspek rasionalitas, seperti program yang ditawarkan, popularitas figur hingga aspek untung-rugi dalam memilih pasangan capres dan cawapres.
Kemudian, faktor keempat yakni aspek economic voting, yang ditandai dengan tingginya kepuasan terhadap pemerintahan Jokowi dan liniearitas dukungan pemilih Jokowi terhadap pasangan Prabowo–Gibran. Kata dia, para pemilih yang merasa bahwa tingkat ekonominya membaik pada era Presiden Jokowi cenderung mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diasosiasikan dengan Presiden Jokowi.
Baca juga: Pakar: Fenomena split vote Prabowo-Gibran dan PDIP di kandang banteng
Baca juga: TSRC: Lima besar bakal calon presiden aktif berkampanye di medsos
Baca juga: TSRC perkirakan ada tiga poros koalisi Pilpres 2024
Pemilu 2024
Riset TSRC temukan split-ticket voting di Pemilu 2024
17 Mei 2024 21:57 WIB
Tangkapan layar pemaparan TSRC terkait fenomena split-ticket voting (STV) pada Pemilu 2024 secara daring di Jakarta, Jumat (17/5/2024). (ANTARA/HO-Fauzi Lamboka)
Pewarta: Fauzi
Editor: Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024
Tags: