Industri kreatif minta dilibatkan dalam pengesahan RPP Kesehatan
17 Mei 2024 18:04 WIB
(kiri) Ketua Umum Paguyuban Asosiasi Vape Nasional (Pavenas), Garindra Kartasasmita, (tengah) Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, (kanan) Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO) Benny Wachjudi dalam acara Diskusi Publik yang dilaksanakan oleh INDEF di Jakarta, Rabu (20/12).ANTARA/Arif Prada
Jakarta (ANTARA) - Dewan Periklanan Indonesia (DPI) bersama asosiasi industri kreatif lainnya meminta pemerintah melibatkan mereka dalam pengesahan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan sebagai aturan pelaksana dari Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Ketua DPI M. Rafiq dalam keterangannya di Jakarta, Jumat, menjelaskan DPI bersama anggotanya telah berkumpul dan membahas konsekuensi yang akan dihadapi industri kreatif bila pasal tembakau diterapkan di RPP Kesehatan.
Menurut dia, anggotanya masih belum dilibatkan dalam perumusan aturan yang dianggap meresahkan dan mengancam berlangsungnya kehidupan industri kreatif.
"Keresahan inilah yang kita tuangkan (lewat surat) dan kirim ke Presiden. Tujuannya bukan menentang, tetapi kita minta untuk dilibatkan, ditanya masukkannya untuk menyampaikan potensi atau masalah dari perspektif kita karena semua bisa diatur dengan baik," ungkap Rafiq.
Oleh karena itu, DPI bersama asosiasi industri kreatif lainnya juga meminta pemerintah untuk menunda pengesahan RPP Kesehatan.
DPI menilai aturan yang tercantum dalam RPP Kesehatan, khususnya terkait pasal pengaturan produk turunan tembakau akan merugikan keberlangsungan pengusaha iklan lewat aturan yang bersifat restriktif atau membatasi keberlangsungan iklan, promosi dan sponsor rokok.
Baca juga: UI dan EVOS berkolaborasi tingkatkan ekonomi Industri Kreatif
Baru-baru ini, DPI mengklaim kembali mengirimkan surat pernyataan sikap dan rekomendasi terhadap RPP Kesehatan yang berisikan penjelasan pasal yang memberatkan kelangsungan industri kreatif seperti pengaturan terkait pengetatan iklan dan sponsor produk tembakau di berbagai media konvensional, media digital maupun pertunjukan seni musik dan budaya.
Rafiq mengatakan larangan itu menghambat keberlangsungan industri periklanan dan media kreatif. Padahal, produk tembakau merupakan komoditas legal yang berhak memasarkan produknya dengan target konsumen dewasa (18 tahun ke atas).
"Saya tidak kebayang kalau konser musik tidak boleh disponsori rokok sehingga tidak ada lagi konser musik ke depannya karena mayoritas kegiatan musik di Indonesia disponsori oleh produk tembakau. Lalu, apakah lantas mereka harus membubarkan diri?" ujarnya.
Untuk itu, selaku Ketua DPI, Rafiq mengharapkan pengesahan RPP Kesehatan sebaiknya ditunda terlebih dahulu dengan melibatkan DPI juga seluruh anggotanya dalam penyusunan aturannya sehingga industri kreatif dapat memberikan masukan yang komprehensif agar RPP Kesehatan dapat berjalan dengan baik tanpa mengancam keberlangsungan industri media dan kegiatan ekonomi kreatif di Indonesia.
"Karena selama ini iklan produk tembakau sudah diatur dan kita menerima aturan tersebut, tetapi begitu ada aturan baru, alangkah lebih baik kita dimintakan pendapatnya, ditanya concern-nya seperti apa sehingga RPP Kesehatan ini bisa disahkan tanpa mengorbankan media penyiaran, elektronik, luar ruang, dan teman-teman yang selama ini mencari nafkah di ekonomi kreatif," ucap Rafiq.
Surat dan rekomendasi sikap DPI terhadap pasal pengaturan produk turunan tembakau di RPP Kesehatan tersebut ditujukan langsung kepada Presiden Joko Widodo dan ditembuskan kepada sejumlah menteri terkait karena nihilnya partisipasi bermakna dan pelibatan sektor industri kreatif dalam penyusunannya.
DPI menilai berbagai pelarangan yang dituangkan pada pasal-pasal tembakau di RPP Kesehatan dikhawatirkan kontradiktif dengan pernyataan Presiden yang telah memprediksikan industri kreatif untuk berperan sebagai tulang punggung tulang punggung perekonomian di masa depan sekaligus mendorong semua pihak untuk terus memacu perkembangannya.
Adapun, surat tersebut turut ditandatangani oleh berbagai anggota DPI yang terdiri atas Asosiasi Media Luargriya Indonesia (AMLI), Asosiasi Perusahaan Pengiklan Indonesia (APPINA), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Anggota Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Ikatan Rumah Produksi Iklan Indonesia (IRPII), Indonesia Digital Association (IDA), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I), dan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI).
Baca juga: Menparekraf buka peluang industri kreatif kerja sama dengan pemerintah
Baca juga: Menparekraf ingin industri film tingkatkan ekonomi kreatif bangsa
Ketua DPI M. Rafiq dalam keterangannya di Jakarta, Jumat, menjelaskan DPI bersama anggotanya telah berkumpul dan membahas konsekuensi yang akan dihadapi industri kreatif bila pasal tembakau diterapkan di RPP Kesehatan.
Menurut dia, anggotanya masih belum dilibatkan dalam perumusan aturan yang dianggap meresahkan dan mengancam berlangsungnya kehidupan industri kreatif.
"Keresahan inilah yang kita tuangkan (lewat surat) dan kirim ke Presiden. Tujuannya bukan menentang, tetapi kita minta untuk dilibatkan, ditanya masukkannya untuk menyampaikan potensi atau masalah dari perspektif kita karena semua bisa diatur dengan baik," ungkap Rafiq.
Oleh karena itu, DPI bersama asosiasi industri kreatif lainnya juga meminta pemerintah untuk menunda pengesahan RPP Kesehatan.
DPI menilai aturan yang tercantum dalam RPP Kesehatan, khususnya terkait pasal pengaturan produk turunan tembakau akan merugikan keberlangsungan pengusaha iklan lewat aturan yang bersifat restriktif atau membatasi keberlangsungan iklan, promosi dan sponsor rokok.
Baca juga: UI dan EVOS berkolaborasi tingkatkan ekonomi Industri Kreatif
Baru-baru ini, DPI mengklaim kembali mengirimkan surat pernyataan sikap dan rekomendasi terhadap RPP Kesehatan yang berisikan penjelasan pasal yang memberatkan kelangsungan industri kreatif seperti pengaturan terkait pengetatan iklan dan sponsor produk tembakau di berbagai media konvensional, media digital maupun pertunjukan seni musik dan budaya.
Rafiq mengatakan larangan itu menghambat keberlangsungan industri periklanan dan media kreatif. Padahal, produk tembakau merupakan komoditas legal yang berhak memasarkan produknya dengan target konsumen dewasa (18 tahun ke atas).
"Saya tidak kebayang kalau konser musik tidak boleh disponsori rokok sehingga tidak ada lagi konser musik ke depannya karena mayoritas kegiatan musik di Indonesia disponsori oleh produk tembakau. Lalu, apakah lantas mereka harus membubarkan diri?" ujarnya.
Untuk itu, selaku Ketua DPI, Rafiq mengharapkan pengesahan RPP Kesehatan sebaiknya ditunda terlebih dahulu dengan melibatkan DPI juga seluruh anggotanya dalam penyusunan aturannya sehingga industri kreatif dapat memberikan masukan yang komprehensif agar RPP Kesehatan dapat berjalan dengan baik tanpa mengancam keberlangsungan industri media dan kegiatan ekonomi kreatif di Indonesia.
"Karena selama ini iklan produk tembakau sudah diatur dan kita menerima aturan tersebut, tetapi begitu ada aturan baru, alangkah lebih baik kita dimintakan pendapatnya, ditanya concern-nya seperti apa sehingga RPP Kesehatan ini bisa disahkan tanpa mengorbankan media penyiaran, elektronik, luar ruang, dan teman-teman yang selama ini mencari nafkah di ekonomi kreatif," ucap Rafiq.
Surat dan rekomendasi sikap DPI terhadap pasal pengaturan produk turunan tembakau di RPP Kesehatan tersebut ditujukan langsung kepada Presiden Joko Widodo dan ditembuskan kepada sejumlah menteri terkait karena nihilnya partisipasi bermakna dan pelibatan sektor industri kreatif dalam penyusunannya.
DPI menilai berbagai pelarangan yang dituangkan pada pasal-pasal tembakau di RPP Kesehatan dikhawatirkan kontradiktif dengan pernyataan Presiden yang telah memprediksikan industri kreatif untuk berperan sebagai tulang punggung tulang punggung perekonomian di masa depan sekaligus mendorong semua pihak untuk terus memacu perkembangannya.
Adapun, surat tersebut turut ditandatangani oleh berbagai anggota DPI yang terdiri atas Asosiasi Media Luargriya Indonesia (AMLI), Asosiasi Perusahaan Pengiklan Indonesia (APPINA), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Anggota Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Ikatan Rumah Produksi Iklan Indonesia (IRPII), Indonesia Digital Association (IDA), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I), dan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI).
Baca juga: Menparekraf buka peluang industri kreatif kerja sama dengan pemerintah
Baca juga: Menparekraf ingin industri film tingkatkan ekonomi kreatif bangsa
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2024
Tags: