Saham Asia menguat awal pekan jelang Natal
23 Desember 2013 08:55 WIB
Ilustrasi: Seorang karyawan berkomunikasi menggunakan ponselnya di depan layar pergerakan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta. (ANTARA/Dhoni Setiawan)
Sydney (ANTARA News) - Pasar Asia beringsut menguat pada awal perdagangan Senin didorong rekor penguatan Wall Street akhir pekan kemarin, meskipun kecemasan atas tekanan kredit di China membebani saham di sana yang juga menambah tekanan terhadap mata uang emerging market.
Volume perdagangan minim bersamaan dengan libur di Tokyo menjelang perayaan Natal. Indeks utama Australia, AXJO, menguat 0,3 persen sementara S&P 500 berjangka naik 0,25 persen.
Indeks MSCI dari saham Asia Pasifik di luar Jepang, MIAP JooooPUS, dalam fraksi lebih tegas.
Sentimen didukung oleh data optimistis pertumbuhan ekonomi AS dan ketahanan saham terhadap keputusan Federal Reserve untuk memulai menyekalakan kembali stimulus pembelian-obligasinya.
Di Wall Street, Dow Jones pada Jumat ditutup naik 0,26 persen, sedangkan indeks S&P 500 terangkat 0,48 persen. Indeks Eropa FTSEurofirst 300 membaik 0,45 persen, menurut laporan Reuters.
Dolar lambat pada 104,03 yen pada hari ini setelah mencetak level tertinggi dalam lima tahun pada 104,64 pekan lalu.
Euro stabil pada level 1,3674 dolar, namun jauh dari puncak minggu lalu 1,3811 dolar. Mata uang tunggal itu hanya sebentar terganggu pada Jumat ketika Standard & Poor memangkas peringkat jangka panjang Uni Eropa menjadi AA-plus dari AAA, menyusul meningkatnya ketegangan dalam negoisasi anggaran.
Imbal hasil pada Obligasi berjangka 10 tahun berada pada 2,89 persen, hanya naik 2 basis poin pekan lalu meskipun Fed sudah mengumumkan kebijakan tapering.
Di Asia, semua mata tertuju ke China setelah bank sentral negara itu berusaha meredakan kekhawatiran krisis uang tunai pada Jumat lalu, dengan mengatakan bahwa mereka telah menambahkan 50 miliar dolar dalam tiga hari ke pasar uang antarbank.
Pertumbuhan kredit yang pesat di ekonomi terbesar-kedua dunia itu telah mengkhawatirkan China, yang takut menaikkan utang yang memicu bubbles aset.
Bank Rakyat China (PBOC) menyuntikkan lebih dari 300 miliar yuan ke pasar uang antarbank sebagai respon naiknya suku bunga, tetapi mengisyaratkan bahwa perbankan punya pekerjaan berat jika mereka ingin terhindar dari krisis uang tunai.
Kekhawatiran tentang sistem perbankan memberikan kontribusi terhadap penurunan 2 persen saham Shanghai pada Jumat lalu.
Kombinasi kebijakan tapering Fed dan ketatnya suku bunga China dapat membebani mata uang di negara yang sedang tumbuh seperti yang terjadi pada Juni lalu.
Mata uang Indonesia, Malaysia, dan Thailand semua dalam tekanan pekan lalu dan bahkan won Korea sedikit kehilangan kekuatannya.
Namun, analis dari Deutsche menurut Reuters, berpendapat bahwa pasar sedang tumbuh Asia bisa bertahan dalam iklim arus modal keluar apa pun.
Di pasar komoditas, harga emas melemah dari hari ke hari karena jalan berliku stimulus AS dan berkurangnya tekanan inflasi global.
Harga logam itu berada pada 1.204,81 pada hari ini setelah mengukir posisi terendah enam bulan pada 1.187,80 dolar pekan lalu.
Jika bertahan pada level itu berarti harga emas merosot 28 persen tahun ini, kerugian terbesar dalam 32 tahun terakhir.
Sebaliknya, harga emas telah mendapat dukungan dari perkiraan positif mengenai permintaan di Amerika Serikat dan menurunnya pasokan Lybia.
Minyak mentah brent memang melemah 5 sen pada hari ini pada 111,72 dolar per barel, tapi itu setelah kenaikan hampir 3 persen pada pekan lalu.
Minyak berjangka turun 13 persen pada 99,19 dolar, demikian Reuters melaporkan.
Volume perdagangan minim bersamaan dengan libur di Tokyo menjelang perayaan Natal. Indeks utama Australia, AXJO, menguat 0,3 persen sementara S&P 500 berjangka naik 0,25 persen.
Indeks MSCI dari saham Asia Pasifik di luar Jepang, MIAP JooooPUS, dalam fraksi lebih tegas.
Sentimen didukung oleh data optimistis pertumbuhan ekonomi AS dan ketahanan saham terhadap keputusan Federal Reserve untuk memulai menyekalakan kembali stimulus pembelian-obligasinya.
Di Wall Street, Dow Jones pada Jumat ditutup naik 0,26 persen, sedangkan indeks S&P 500 terangkat 0,48 persen. Indeks Eropa FTSEurofirst 300 membaik 0,45 persen, menurut laporan Reuters.
Dolar lambat pada 104,03 yen pada hari ini setelah mencetak level tertinggi dalam lima tahun pada 104,64 pekan lalu.
Euro stabil pada level 1,3674 dolar, namun jauh dari puncak minggu lalu 1,3811 dolar. Mata uang tunggal itu hanya sebentar terganggu pada Jumat ketika Standard & Poor memangkas peringkat jangka panjang Uni Eropa menjadi AA-plus dari AAA, menyusul meningkatnya ketegangan dalam negoisasi anggaran.
Imbal hasil pada Obligasi berjangka 10 tahun berada pada 2,89 persen, hanya naik 2 basis poin pekan lalu meskipun Fed sudah mengumumkan kebijakan tapering.
Di Asia, semua mata tertuju ke China setelah bank sentral negara itu berusaha meredakan kekhawatiran krisis uang tunai pada Jumat lalu, dengan mengatakan bahwa mereka telah menambahkan 50 miliar dolar dalam tiga hari ke pasar uang antarbank.
Pertumbuhan kredit yang pesat di ekonomi terbesar-kedua dunia itu telah mengkhawatirkan China, yang takut menaikkan utang yang memicu bubbles aset.
Bank Rakyat China (PBOC) menyuntikkan lebih dari 300 miliar yuan ke pasar uang antarbank sebagai respon naiknya suku bunga, tetapi mengisyaratkan bahwa perbankan punya pekerjaan berat jika mereka ingin terhindar dari krisis uang tunai.
Kekhawatiran tentang sistem perbankan memberikan kontribusi terhadap penurunan 2 persen saham Shanghai pada Jumat lalu.
Kombinasi kebijakan tapering Fed dan ketatnya suku bunga China dapat membebani mata uang di negara yang sedang tumbuh seperti yang terjadi pada Juni lalu.
Mata uang Indonesia, Malaysia, dan Thailand semua dalam tekanan pekan lalu dan bahkan won Korea sedikit kehilangan kekuatannya.
Namun, analis dari Deutsche menurut Reuters, berpendapat bahwa pasar sedang tumbuh Asia bisa bertahan dalam iklim arus modal keluar apa pun.
Di pasar komoditas, harga emas melemah dari hari ke hari karena jalan berliku stimulus AS dan berkurangnya tekanan inflasi global.
Harga logam itu berada pada 1.204,81 pada hari ini setelah mengukir posisi terendah enam bulan pada 1.187,80 dolar pekan lalu.
Jika bertahan pada level itu berarti harga emas merosot 28 persen tahun ini, kerugian terbesar dalam 32 tahun terakhir.
Sebaliknya, harga emas telah mendapat dukungan dari perkiraan positif mengenai permintaan di Amerika Serikat dan menurunnya pasokan Lybia.
Minyak mentah brent memang melemah 5 sen pada hari ini pada 111,72 dolar per barel, tapi itu setelah kenaikan hampir 3 persen pada pekan lalu.
Minyak berjangka turun 13 persen pada 99,19 dolar, demikian Reuters melaporkan.
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2013
Tags: