Artikel
Pergulatan batin seorang profesor ketika anaknya mogok sekolah
Oleh Masuki M. Astro
13 Mei 2024 20:02 WIB
ABdul Bahaudin alias Addin (berbaju biru dongker bersama dengan orang tua, Prof Ridho Bayuaji, ST, MT, PhD dan Ari Destari saat ditemui di Surabaya, Rabu (8/5/2024). ANTARA/Masuki M. Astro.
Surabaya (ANTARA) - Gelar profesor yang menjadi dambaan puncak semua dosen, menorehkan dua cerita sekaligus bagi Ridho Bayuaji, Guru Besar Teknik Infrastruktur Sipil di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, yang sejak 2021 mendapat amanah sebagai Kaprodi Program Profesi Insinyur Sekolah Interdisiplin Manajemen dan Teknologi (SIMT) ITS
Bagi Ridho, turunnya surat keputusan (SK) sebagai guru besar itu merupakan kabar membahagiakan, sekaligus menggundahkan jiwanya. Saat SK itu turun, Abdul Bahaudin atau Addin, anak pertamanya, memutuskan berhenti (mogok) sekolah saat si anak baru 3 bulan mengenyam pendidikan di satu sekolah menengah pertama (SMP) di Surabaya.
"Luar biasa gungcangnya perasaan saya, saat itu. Bapaknya menjadi guru besar, sedangkan anaknya tidak mau sekolah. Cemas sekali," kata Prof. Ridho Bayuaji, saat berbincang dengan ANTARA di suatu siang di Surabaya.
Karena itu, Ridho dan istri sengaja tidak mengabadikan momen pengukuhan guru besar pada 25 November 2020 itu, baik dalam bentuk foto maupun video.
Saat menyampaikan orasi ilmiah pengukuhan guru besar dengan judul "Potensi Beton Geopolimer: Beton Ramah Lingkungan dan Peluang Kontribusinya pada Infrastruktur Maritim di Indonesia" itu, Ridho tampil dengan membawa beban jiwa mengenai masa depan Addin dipastikan tidak akan memiliki ijazah pendidikan yang tinggi.
Beruntung sekali, Ridho dan istrinya, Ari Destari, saat itu sudah intensif belajar Ilmu Kesadaran sehingga pergolakan batinnya lambat laun bisa terlampaui, khususnya setelah melakukan konsultasi privat dengan Bang Aswar, pengampu Ilmu Kesadaran di Indonesia.
Ari Destari menambahkan bahwa saat sesi privat itu, Addin diberi kesempatan untuk menumpahkan segala isi hatinya. Ari dan Ridho merasa disambar petir ketika Addin, sambil menangis dan dengan mata nanar, menatap dirinya.
Dia berpikir, selama ini sudah memberikan yang terbaik kepada anak sulungnya itu, namun ternyata di mata Addin justru banyak yang salah. Ada penyesalan mendalam di jiwa Ari dan Ridho mendapati kenyataan jiwa anaknya itu terluka.
Hal yang lebih mengejutkan adalah ketika dia bertanya kepada Addin, apakah kesalahan orang tua bisa dimaafkan. Addin dengan tegas dan penuh rasa menjawab bahwa semua itu "tidak pantas" untuk dimaafkan.
Hati Ari dan Ridho serasa hancur, namun saat bersamaan, sang mentor menyodorkan jalan tengah dengan kesepakatan membayar semacam "badal" (pengganti) sebagai simbol perdamaian. Dengan badal itu, jiwa si anak terselamatkan dari dendam dan marah pada orang tuanya. Demikian juga jiwa orang tuanya dapat terselamatkan dari rasa bersalah berlebihan. Jiwa kedua belah pihak sama-sama terselamatkan.
Kala itu, Bang Aswar menyilakan Addin menyebutkan angka rupiah yang paling pantas yang harus diberikan oleh orang tua Addin.
Addin menyebut angka, masing-masing Rp10 juta dari Prof. Ridho dan Ari. Hanya saja, dalam beberapa menit, Addin meralat dengan menyebut Rp10 juta untuk ayah dan ibunya. Artinya, cahaya jiwa Addin kala itu masih menyala sehingga masih ikut berempati pada beban jiwa orang tuanya.
Sepakatlah mereka dengan badal sebesar itu.
Apa makna dari badal, yang secara norma sosial, Addin akan dianggap sebagai anak durhaka? Semuanya merupakan ikhtiar untuk saling memerdekakan jiwa bersama-sama antara anak dan orang tua.
Di luar dugaan, proses perdamaian yang tidak umum secara sosial maupun secara prinsip pengasuhan itu , kedua pihak merasa plong karena sama-sama terlepas dari beban yang selama ini menggelayut.
"Mungkin orang yang tidak paham dengan pola penyelamatan jiwa versi Ilmu Kesadaran ini akan bilang bahwa itu akan menambah beban orang tua, tapi saya dengan Pak Ridho, kala itu tidak demikian. Kami merasa lega, apalagi melihat perubahan jiwa Addin. Kami bersyukur menemukan jalan ke luar sekaligus jalan ke dalam seperti ini, lebih-lebih dengan perubahan jiwa Addin, saat ini," kata Ari.
Dari apa yang dialami oleh Prof. Ridho dan keluarga, pelajaran besar yang bisa kita petik adalah bahwa pikiran dan logika, yang sekaligus menjadi pembeda istimewa antara manusia dengan makhluk lainnya, tidak memiliki kekuatan apa-apa di hadapan Allah, Tuhan pemilik dan pemelihara alam semesta beserta seluruh isinya.
Pengalaman menghadapi keadaan Addin, membuat Ridho dan istri diberi kemudahan untuk berserah dan tersungkur secara utuh di hadapan Allah. Jika tidak ada peristiwa yang dipicu oleh sikap dan keadaan Addin, sangat mungkin Ridho dan keluarga akan terus memegang teguh pendasaran diri kepada pikiran.
Dengan pendasaran diri yang kuat pada pikiran, sangat wajar kalau Ridho dan istri memiliki impian bahwa anak-anaknya kelak, tidak boleh memiliki tingkat pendidikan formal lebih rendah dari dirinya. Jika tidak meraih profesor--jabatan fungsional tertinggi dosen-- paling tidak, anak-anak mereka menyandang gelar akademik doktor atau Ph.D.
Itulah pikiran manusia yang selama ini digerakkan oleh ego. Kalau ditelisik secara jernih, keinginan orang tua untuk mengantarkan anak-anaknya meraih gelar akademik tinggi atau memiliki posisi sosial yang tinggi, bukan murni untuk membantu jalan hidup anak-anak. Ambisi itu lebih banyak digerakkan oleh konsepsi sosial agar si orang tua terlihat sebagai orang yang sukses mendidik anak-anaknya.
Pada titik kesadaran itulah, Ridho "menyerah" kepada Allah, sekaligus memohon ampun. Ia kapok selama ini telah ber-illah kepada pikirannya.
Prof. Ridho dan Ari sadar bahwa di dalam diri setiap orang atau anak, termasuk Addin, ada keilahian (ruh Allah) yang harus dihormati dengan sepenuh jiwa, bukan sebaliknya, menjadi sarana pemenuh hasrat ego sehingga setiap keinginan orang tua harus dipenuhi oleh anak, tidak peduli hancurnya jiwa si anak.
"Setiap orang dihadirkan ke semesta ini merupakan pribadi unik yang diberikan oleh Allah kepada masing-masing diri. Pada pemahaman ini, kami yang awalnya berat menghadapi masalah terkait Addin, sekarang dengan penuh kesadaran, kami ucapkan alhamdulilah," kata Ari, perempuan yang dalam beberapa kesempatan, diundang menjadi pembicara mengenai masalah pengasuhan anak oleh sejumlah lembaga pendidikan maupun kelompok sosial ini.
Secara khusus, Prof. Ridho dan Ari kini mengasuh "Komunitas Reboan" yang isinya belajar mengatasi berbagai persoalan kehidupan dari perspektif Ilmu Kesadaran. Komunitas itu keliling ke berbagai daerah di Jatim, bahkan rencana juga akan berbagi ilmu di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi.
Bagi Ridho, turunnya surat keputusan (SK) sebagai guru besar itu merupakan kabar membahagiakan, sekaligus menggundahkan jiwanya. Saat SK itu turun, Abdul Bahaudin atau Addin, anak pertamanya, memutuskan berhenti (mogok) sekolah saat si anak baru 3 bulan mengenyam pendidikan di satu sekolah menengah pertama (SMP) di Surabaya.
"Luar biasa gungcangnya perasaan saya, saat itu. Bapaknya menjadi guru besar, sedangkan anaknya tidak mau sekolah. Cemas sekali," kata Prof. Ridho Bayuaji, saat berbincang dengan ANTARA di suatu siang di Surabaya.
Karena itu, Ridho dan istri sengaja tidak mengabadikan momen pengukuhan guru besar pada 25 November 2020 itu, baik dalam bentuk foto maupun video.
Saat menyampaikan orasi ilmiah pengukuhan guru besar dengan judul "Potensi Beton Geopolimer: Beton Ramah Lingkungan dan Peluang Kontribusinya pada Infrastruktur Maritim di Indonesia" itu, Ridho tampil dengan membawa beban jiwa mengenai masa depan Addin dipastikan tidak akan memiliki ijazah pendidikan yang tinggi.
Beruntung sekali, Ridho dan istrinya, Ari Destari, saat itu sudah intensif belajar Ilmu Kesadaran sehingga pergolakan batinnya lambat laun bisa terlampaui, khususnya setelah melakukan konsultasi privat dengan Bang Aswar, pengampu Ilmu Kesadaran di Indonesia.
Ari Destari menambahkan bahwa saat sesi privat itu, Addin diberi kesempatan untuk menumpahkan segala isi hatinya. Ari dan Ridho merasa disambar petir ketika Addin, sambil menangis dan dengan mata nanar, menatap dirinya.
Dia berpikir, selama ini sudah memberikan yang terbaik kepada anak sulungnya itu, namun ternyata di mata Addin justru banyak yang salah. Ada penyesalan mendalam di jiwa Ari dan Ridho mendapati kenyataan jiwa anaknya itu terluka.
Hal yang lebih mengejutkan adalah ketika dia bertanya kepada Addin, apakah kesalahan orang tua bisa dimaafkan. Addin dengan tegas dan penuh rasa menjawab bahwa semua itu "tidak pantas" untuk dimaafkan.
Hati Ari dan Ridho serasa hancur, namun saat bersamaan, sang mentor menyodorkan jalan tengah dengan kesepakatan membayar semacam "badal" (pengganti) sebagai simbol perdamaian. Dengan badal itu, jiwa si anak terselamatkan dari dendam dan marah pada orang tuanya. Demikian juga jiwa orang tuanya dapat terselamatkan dari rasa bersalah berlebihan. Jiwa kedua belah pihak sama-sama terselamatkan.
Kala itu, Bang Aswar menyilakan Addin menyebutkan angka rupiah yang paling pantas yang harus diberikan oleh orang tua Addin.
Addin menyebut angka, masing-masing Rp10 juta dari Prof. Ridho dan Ari. Hanya saja, dalam beberapa menit, Addin meralat dengan menyebut Rp10 juta untuk ayah dan ibunya. Artinya, cahaya jiwa Addin kala itu masih menyala sehingga masih ikut berempati pada beban jiwa orang tuanya.
Sepakatlah mereka dengan badal sebesar itu.
Apa makna dari badal, yang secara norma sosial, Addin akan dianggap sebagai anak durhaka? Semuanya merupakan ikhtiar untuk saling memerdekakan jiwa bersama-sama antara anak dan orang tua.
Di luar dugaan, proses perdamaian yang tidak umum secara sosial maupun secara prinsip pengasuhan itu , kedua pihak merasa plong karena sama-sama terlepas dari beban yang selama ini menggelayut.
"Mungkin orang yang tidak paham dengan pola penyelamatan jiwa versi Ilmu Kesadaran ini akan bilang bahwa itu akan menambah beban orang tua, tapi saya dengan Pak Ridho, kala itu tidak demikian. Kami merasa lega, apalagi melihat perubahan jiwa Addin. Kami bersyukur menemukan jalan ke luar sekaligus jalan ke dalam seperti ini, lebih-lebih dengan perubahan jiwa Addin, saat ini," kata Ari.
Dari apa yang dialami oleh Prof. Ridho dan keluarga, pelajaran besar yang bisa kita petik adalah bahwa pikiran dan logika, yang sekaligus menjadi pembeda istimewa antara manusia dengan makhluk lainnya, tidak memiliki kekuatan apa-apa di hadapan Allah, Tuhan pemilik dan pemelihara alam semesta beserta seluruh isinya.
Pengalaman menghadapi keadaan Addin, membuat Ridho dan istri diberi kemudahan untuk berserah dan tersungkur secara utuh di hadapan Allah. Jika tidak ada peristiwa yang dipicu oleh sikap dan keadaan Addin, sangat mungkin Ridho dan keluarga akan terus memegang teguh pendasaran diri kepada pikiran.
Dengan pendasaran diri yang kuat pada pikiran, sangat wajar kalau Ridho dan istri memiliki impian bahwa anak-anaknya kelak, tidak boleh memiliki tingkat pendidikan formal lebih rendah dari dirinya. Jika tidak meraih profesor--jabatan fungsional tertinggi dosen-- paling tidak, anak-anak mereka menyandang gelar akademik doktor atau Ph.D.
Itulah pikiran manusia yang selama ini digerakkan oleh ego. Kalau ditelisik secara jernih, keinginan orang tua untuk mengantarkan anak-anaknya meraih gelar akademik tinggi atau memiliki posisi sosial yang tinggi, bukan murni untuk membantu jalan hidup anak-anak. Ambisi itu lebih banyak digerakkan oleh konsepsi sosial agar si orang tua terlihat sebagai orang yang sukses mendidik anak-anaknya.
Pada titik kesadaran itulah, Ridho "menyerah" kepada Allah, sekaligus memohon ampun. Ia kapok selama ini telah ber-illah kepada pikirannya.
Prof. Ridho dan Ari sadar bahwa di dalam diri setiap orang atau anak, termasuk Addin, ada keilahian (ruh Allah) yang harus dihormati dengan sepenuh jiwa, bukan sebaliknya, menjadi sarana pemenuh hasrat ego sehingga setiap keinginan orang tua harus dipenuhi oleh anak, tidak peduli hancurnya jiwa si anak.
"Setiap orang dihadirkan ke semesta ini merupakan pribadi unik yang diberikan oleh Allah kepada masing-masing diri. Pada pemahaman ini, kami yang awalnya berat menghadapi masalah terkait Addin, sekarang dengan penuh kesadaran, kami ucapkan alhamdulilah," kata Ari, perempuan yang dalam beberapa kesempatan, diundang menjadi pembicara mengenai masalah pengasuhan anak oleh sejumlah lembaga pendidikan maupun kelompok sosial ini.
Secara khusus, Prof. Ridho dan Ari kini mengasuh "Komunitas Reboan" yang isinya belajar mengatasi berbagai persoalan kehidupan dari perspektif Ilmu Kesadaran. Komunitas itu keliling ke berbagai daerah di Jatim, bahkan rencana juga akan berbagi ilmu di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024
Tags: