Medan (ANTARA) - "Riak-riak" timbul terkait dengan kebijakan PSSI yang gencar melakukan naturalisasi pemain sejak pria asal Korea Selatan Shin Tae-yong dinobatkan sebagai juru taktik skuad "Garuda" pada tahun 2019.

Beberapa pihak sempat menyamakan Timnas Indonesia dengan Timnas Hindia Belanda, yang bertanding di Piala Dunia 1938, karena sebanyak 10 dari 11 pemain yang dinaturalisasi pada masa Shin Tae-yong sebelumnya mengantongi paspor Belanda.

Ingatan pun terbang ke tahun 2018, saat FIFA menyatakan bahwa Timnas Indonesia serupa dengan Timnas The Dutch East Indies atau Hindia Belanda yang berstatus negara Asia pertama yang berjibaku di Piala Dunia dengan penampilannya di Piala Dunia 1938.

Lantas, apakah memang Timnas Indonesia sama atau setidak-tidaknya sempat menjadi bagian dari Timnas Hindia Belanda?

Sebelum lebih jauh, penting untuk menggenggam pernyataan bahwa yang disebut Timnas Indonesia adalah kesebelasan sepak bola yang diakui dan dipercaya oleh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) untuk mewakili negara.

Dalam sejarahnya, PSSI tidak pernah memiliki skuad nasional bernama The Dutch East Indies atau Hindia Belanda.

​​​​​​Mari kita menilik lagi ke belakang tepatnya mulai dari pendirian sebuah organisasi sepak bola bersemangat nasional Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (PSSI) pada hari Sabtu, 19 April 1930 di Yogyakarta. Adapun PSSI baru disebut Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia mulai tahun 1950.

Setelah dibentuk, kobaran nasionalisme PSSI begitu menyala, salah satunya akibat sikap federasi sepak bola Hindia Belanda atau Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB) yang mengharamkan tim anggotanya berlaga menghadapi kesebelasan "inlander" (pribumi).

Baca juga: Shin Tae-yong sebut program naturalisasi PSSI perkuat skuad timnas
Baca juga: Kiper MLS Maarten Paes resmi jadi WNI



Halaman berikut: Bagaimana Soeratin Sosrosoegondo membangun PSSI

Diketuai Soeratin Sosrosoegondo, seorang terpelajar yang mengemban pendidikan di Jerman, PSSI kemudian melakukan banyak gebrakan yang meresahkan NIVB mulai dari membuat kompetisi sendiri, melatih wasit hingga mengusahakan pembinaan pemain muda.

Dalam buku "Soeratin Sosrosoegondo - Menentang Penjajahan Belanda Dengan Sepak Bola Kebangsaan" (2014), Eddi Elison menyebut bahwa Soeratin berhasrat besar untuk membentuk satu tim nasional dengan konsep "Sepak Bola Kebangsaan".

Menurut Eddi, keberadaan Stadion Sriwedari di Solo memperlihatkan motivasi tersebut. Stadion Sriwedari, yang diresmikan pada Oktober 1933, dibangun atas perintah pemimpin tertinggi Kesunanan Surakarta Susuhunan Pakubuwono X lantaran melihat PSSI membutuhkan sokongan infrastruktur untuk mewujudkan mimpi.

Dalam acara pembukaan stadion itu, Eddi menyebut Soeratin Sosrosoegondo memberikan kata sambutan dan bendera Merah Putih pun dikibarkan.

Seusai sukses menggelar tiga kompetisi perserikatan sampai tahun 1933, PSSI akhirnya mendapatkan tawaran kemitraan dari NIVB, yang sebelumnya menolak bekerja sama.

Eddi mengisahkan, pada tahun itu, seorang pengurus NIVB yakni CJC Mastenbroek menyampaikan keinginan organisasinya untuk bermitra dengan PSSI demi membangun sebuah tim nasional untuk berpartisipasi di Piala Dunia 1938 di Prancis.

PSSI sangat serius merespons tawaran tersebut dengan membentuk sebuah tim khusus yang disebut Eddi dipimpin Pamoedji dari Surabaya. Tahun 1934, PSSI menugaskan lagi Komisi Penghubung yang berisikan tiga orang yakni Ng Soebroto (ketua), Koentjono Poerpranoto (anggota) dan R Sawarno (anggota) yang bertugas berkorespondensi dengan NIVB.


Baca juga: Erick beri sinyal positif namun tak memaksa naturalisasi Emil Audero
Baca juga: Negara yang mencibir Indonesia ternyata juga ingin naturalisasi



Halaman berikut: NIVB gonjang ganjing

Ternyata, dalam prosesnya, beberapa pengurus NIVB tidak sepakat dengan Langkah Mastenbroek yang membuat organisasi itu gonjang-ganjing sehingga berganti nama ke NIVU (Nederlandsch Indische Voetbal Unie) tahun 1935.

NIVU bersikap lebih lunak daripada NIVB lantaran diketuai oleh Mastenbroek yang pernah menjadi pengajar di Algemeene Middelbare School (AMS) atau sekolah menengah umum di Yogyakarta.

R N Bayu Aji, dalam buku "Politik Nasionalisme Sepak Bola Indonesia Era Soekarno 1950-1965" (2022), menyatakan bahwa cairnya hubungan antara PSSI dan NIVU melahirkan perjanjian atau "gentlemen's agreement" pada tahun 1937.

Situasi itu, bagi Bayu, memiliki arti lebih besar dari sekadar koneksi bagus kedua organisasi.

"Perjanjian tersebut membuktikan bahwa secara de facto dan de jure, hak dan derajat keduanya sama," tulis dia.

"Gentlemen's Agreement' yang ditandatangani Soeratin dan Mastenbroek pada 5 Januari 1937 di Yogyakarta terdiri atas tiga pasal dan tiga subpasal.

Inti dari perjanjian itu adalah pertama, PSSI dan NIVU berstatus sebagai puncak organisasi sepak bola di Indonesia. Kedua, PSSI dan NIVU saling menghormati AD/ART masing-masing dan, ketiga, baik PSSI maupun NIVU harus memfokuskan gerakannya ke pengembangan persepakbolaan secara umum.

Di dalam persetujuan itu juga disebutkan bahwa PSSI dan NIVU mengakui adanya kesebelasan masing-masing, dipersilakannya pertandingan tim PSSI dan NIVU serta PSSI juga NIVU wajib mengikutsertakan pemain timnas satu sama lain ketika berhadapan dengan tim luar negeri.

Sesuai dengan itu, maka PSSI dan NIVU bersiap mengirimkan timnas dengan gabungan pemain dari keduanya ke Piala Dunia 1938 di Prancis.

Kemudian, Soeratin mengutarakan keinginan supaya timnas gabungan PSSI-NIVU yang berlaga di Piala Dunia itu membawa bendera netral atau Merah Putih, bukan Merah Putih Biru atau bendera Belanda.

Masukan Soeratin dibahas mendalam oleh NIVU. Hasilnya, pertandingan uji coba antara timnas PSSI dan NIVU yang sejatinya akan digelar untuk memilih pemain Piala Dunia 1938 tidak jadi terlaksana.

NIVU khawatir pula skuadnya tidak bisa mengimbangi kesebelasan PSSI yang tengah "panas-panas"-nya dan itu berpotensi membuat tim yang berkompetisi di Piala Dunia 1938 didominasi pesepak bola PSSI.

"NIVU lalu memilih sendiri pemain-pemainnya (untuk ke Piala Dunia 1938-red), ditambah dengan pemain dari 'bond' warga Tionghoa Hua Nan Voetbal Bond. Pemain yang berangkat ke Paris yakni Bing Moheng (kiper), Herman Zomers, Isaac Pattiwael, Pede Hukom, Hans Taihattu, Pan Hong Djien, Samuels, Soedarmadji, Anwar Soetan, Frans Meeng dan dr Narwir yang bertindak sebagai kapten. Mereka bermain dengan membawa bendera Belanda, bukan Merah Putih atau bendera netral seperti yang diinginkan Soeratin," tulis Muhammad Ajib Al'alawi dalam "Sejarah Persepakbolaan di Surakarta: Dari Perkembangan sampai Pembangunan Stadion Sriwedari 1920-1928", dimuat dalam Jurnal Prodi Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta Vol 3 No 4 tahun 2018.


Baca juga: Football Institute nilai Erick sukses jalankan program naturalisasi
Baca juga: Rully Nere puji PSSI untuk program naturalisasi pemain keturunan



Halaman berikut: Sikap NIVU membuat PSSI murka.

Sikap NIVU tersebut terang saja membuat PSSI murka. Bagi Soeratin Sosrosoegondo, sikap NIVU mencederai "gentlemen's agreement" dan ia langsung bersikap tegas untuk membatalkan perjanjian itu secara sepihak saat Kongres PSSI tahun 1938 di Solo.

Kebijakan keras PSSI atas kesewenang-wenangan NIVU dapat disimpulkan menjadi satu hal yaitu Timnas Hindia Belanda yang berjibaku di Piala Dunia 1938 bukanlah Timnas PSSI atau Timnas Indonesia.

Dengan menarik diri dari "gentlemen's agreement", PSSI menggarisbawahi bahwa mereka tidak pernah mengirimkan timnas ke Piala Dunia 1938.

Oleh sebab itu, pernyataan bahwa Indonesia adalah negara Asia pertama yang tampil di Piala Dunia seperti versi FIFA sangat terbuka untuk dipertanyakan.

Timnas Hindia Belanda berlaga di Piala Dunia 1938 tanpa pemain PSSI, tanpa bendera Merah Putih dan tanpa membawa nama Indonesia.


Menatap ke depan

Rasanya, tidak ada masalah andai kita menelan kenyataan bahwa Indonesia belum pernah sama sekali menjejakkan kaki di Piala Dunia.

Justru, sebaliknya, fakta tersebut mestinya dapat memacu PSSI untuk terus berbenah demi meningkatkan kualitas Tim Nasional Indonesia dan membuatnya setidak-tidaknya mampu disegani di Asia.


Baca juga: Ragnar Oratmangoen tidak sabar debut bersama timnas saat lawan Vietnam
Baca juga: Nathan sebut faktor pendukung membuatnya tak sabar debut di timnas



Halaman berikut: Tim "Garuda" besutan Shin Tae-yong berada di jalur yang tepat.

Tim "Garuda" besutan Shin Tae-yong kini berada di jalur yang tepat. Program-program yang disusun dan diterapkan Shin sudah menunjukkan hasil positif meski belum maksimal.

Lolos ke perempat final Piala Asia 2023, semifinal Piala Asia U-23 2024 dan membawa Indonesia ke peringkat 138 FIFA dari sebelumnya 175 jadi pencapaian Shin yang layak dibingkai emas.

Namun, tidak ada prestasi tanpa proses. "Laut yang tenang tidak akan pernah menghasilkan pelaut andal," kata Presiden ke-32 Amerika Serikat Franklin Delano Roosevelt.

Timnas yang tangguh pun demikian, pasti akan ditelurkan dari guncangan keras yang berbalut masalah-masalah.

Meski begitu, PSSI idealnya mampu menyediakan "kapal" kokoh supaya Timnas Indonesia dapat mengarungi laut dengan ombak dan badai yang menjilat-jilat.

"Kapal" itu menjadi representasi dari keseriusan organisasi PSSI untuk pengembangan sepak bola Indonesia mulai dari penggemblengan pesepak bola belia, pelatihan wasit, penajaman kualitas kompetisi dan lain-lain.

Soal naturalisasi, tidak ada yang keliru soal itu. Naturalisasi layaknya layar, membantu ketika kapal limbung akibat "mesin utama"-nya yakni pengembangan ekosistem sepak bola dalam negeri belum maksimal.

Sekali lagi, naturalisasi tidak lantas membuat Timnas Indonesia sama dengan Timnas Hindia Belanda. Timnas Indonesia tetap Timnas Indonesia, kesebelasan resmi PSSI dan mewakili negara Republik Indonesia yang selalu mempersatukan dan dicintai rakyat apapun yang terjadi.


Baca juga: Kiper Persebaya sambut positif hadirnya pemain diaspora
Baca juga: PSSI: Calvin Verdonk dan Jens Raven dalam proses naturalisasi