Bank Dunia: target pengurangan kemiskinan tidak tercapai
16 Desember 2013 22:30 WIB
Laporan Triwulan Perekonomian Indonesia. Lead Economist and Economic Adviser World Bank for Indonesia Ndiame Diop (kiri), Managing Director Paramadina Public Policy Institute Wijayanto Sarimin (kedua kiri) menjadi pembicara dengan moderator Country Director World Bank for Indonesia Rodrigo A. Chaves (kanan) pada peluncuran laporan triwulanan perekonomian Indonesia Bank Dunia-BKPM di Kantor BKPM Jakarta, Senin (16/12). Menurut Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan akan tetap di bawah 6 persen. (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A) ()
Jakarta (ANTARA News) - Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia Ndiame Diop memperkirakan target pengurangan angka kemiskinan pada 2014 sebesar 8-10 persen tidak akan tercapai karena adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi.
"Menuju 2014, lebih tingginya harga-harga dan lambatnya pertumbuhan ekonomi akan menambah tantangan pengentasan masyarakat dari kemiskinan," katanya dalam pemaparan di Jakarta, Senin.
Ndiame menjelaskan model kemiskinan Bank Dunia memproyeksikan bahwa tingkat kemiskinan pada bulan Maret 2014 hanya mencapai 11-11,1 persen yang mengindikasikan perlambatan laju pengentasan masyarakat dari kemiskinan sedang berlangsung.
"Situasi ini menunjukkan bahwa sasaran tingkat kemiskinan Pemerintah pada tahun 2014 tampaknya tidak akan tercapai," katanya.
Untuk itu, Ndiame mengingatkan pentingnya upaya kemajuan dalam pengurangan angka kemiskinan, yaitu dengan melakukan realokasi belanja subsidi untuk mendukung penguatan program perlindungan sosial Indonesia.
"Perluasan program bantuan sosial jangka panjang pada triwulan ketiga 2013 mendapat sambutan baik. Namun, belanja bantuan sosial hanya 0,5 persen dari PDB, atau tetap rendah berdasarkan standar global," katanya.
Saat ini, kata dia, dibutuhkan komitmen dari Pemerintah terhadap peningkatan bantuan sosial dan efektivitas pelaksanaan program untuk membantu mempercepat angka kemiskinan yang hingga Maret 2013 tercatat 11,4 persen.
Ndiame mengemukakan bahwa realokasi belanja subsidi, terutama untuk BBM, menjadi penting karena menjadi sumber utama risiko fiskal dan mengurangi kemampuan kurs tukar valuta asing yang fleksibel dalam meredam gejolak.
"Pemerintah dapat mulai mengalihkan belanja dari penggunaan yang lebih efisien untuk peningkatan investasi publik yang sangat dibutuhkan. Namun, kenaikan harga BBM bukan merupakan pilihan yang dapat diterima menjelang pemilihan umum," katanya.
Ia mengharapkan Pemerintah segera melakukan reformasi dalam pemakaian BBM dan belanja subsidi agar memiliki dana memadai untuk memperbaiki jaring pengaman sosial bagi kelompok miskin dan rentan miskin.
"Reformasi tersebut, termasuk yang tidak berdampak pada harga, dengan melakukan pendekatan berdasarkan aturan dalam menentukan harga BBM bersubsidi agar secara bertahap dapat membatasi eksposur fiskal terhadap harga BBM dalam rupiah," kata Ndiame. (S034/D007)
"Menuju 2014, lebih tingginya harga-harga dan lambatnya pertumbuhan ekonomi akan menambah tantangan pengentasan masyarakat dari kemiskinan," katanya dalam pemaparan di Jakarta, Senin.
Ndiame menjelaskan model kemiskinan Bank Dunia memproyeksikan bahwa tingkat kemiskinan pada bulan Maret 2014 hanya mencapai 11-11,1 persen yang mengindikasikan perlambatan laju pengentasan masyarakat dari kemiskinan sedang berlangsung.
"Situasi ini menunjukkan bahwa sasaran tingkat kemiskinan Pemerintah pada tahun 2014 tampaknya tidak akan tercapai," katanya.
Untuk itu, Ndiame mengingatkan pentingnya upaya kemajuan dalam pengurangan angka kemiskinan, yaitu dengan melakukan realokasi belanja subsidi untuk mendukung penguatan program perlindungan sosial Indonesia.
"Perluasan program bantuan sosial jangka panjang pada triwulan ketiga 2013 mendapat sambutan baik. Namun, belanja bantuan sosial hanya 0,5 persen dari PDB, atau tetap rendah berdasarkan standar global," katanya.
Saat ini, kata dia, dibutuhkan komitmen dari Pemerintah terhadap peningkatan bantuan sosial dan efektivitas pelaksanaan program untuk membantu mempercepat angka kemiskinan yang hingga Maret 2013 tercatat 11,4 persen.
Ndiame mengemukakan bahwa realokasi belanja subsidi, terutama untuk BBM, menjadi penting karena menjadi sumber utama risiko fiskal dan mengurangi kemampuan kurs tukar valuta asing yang fleksibel dalam meredam gejolak.
"Pemerintah dapat mulai mengalihkan belanja dari penggunaan yang lebih efisien untuk peningkatan investasi publik yang sangat dibutuhkan. Namun, kenaikan harga BBM bukan merupakan pilihan yang dapat diterima menjelang pemilihan umum," katanya.
Ia mengharapkan Pemerintah segera melakukan reformasi dalam pemakaian BBM dan belanja subsidi agar memiliki dana memadai untuk memperbaiki jaring pengaman sosial bagi kelompok miskin dan rentan miskin.
"Reformasi tersebut, termasuk yang tidak berdampak pada harga, dengan melakukan pendekatan berdasarkan aturan dalam menentukan harga BBM bersubsidi agar secara bertahap dapat membatasi eksposur fiskal terhadap harga BBM dalam rupiah," kata Ndiame. (S034/D007)
Pewarta: Satyagraha
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013
Tags: