KKP memaksimalkan serapan ikan hasil tangkapan nelayan Aceh
7 Mei 2024 16:51 WIB
Seorang buruh pelabuhan membuang ikan hasil tangkapan nelayan ke dalam lubang sebelum di kubur di kawasan Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS), Lampulo, Banda Aceh, Aceh, Kamis (2/5/2024). ANTARA FOTO/Ampelsa
Banda Aceh (ANTARA) - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) terus berupaya memaksimalkan penyerapan ikan hasil tangkapan nelayan di PPS Kutaraja Lampulo, Banda Aceh saat ini sedang melimpah.
"Unit Pengolahan Ikan (UPI) di luar Aceh dan industri pengolahan tepung ikan sudah diminta aktif dalam menyerap hasil tangkapan nelayan," kata Dirjen PDSPKP, Budi Sulistiyo dalam keterangannya yang diterima di Banda Aceh, Selasa.
Sebelumnya, nelayan Aceh membuang sekitar tiga ton ikan hasil tangkapan yang sudah tak layak konsumsi di kawasan Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS), Lampulo, Banda Aceh.
Pembuangan ikan jenis dencis dan tongkol kecil itu terpaksa dilakukan, karena harga jual anjlok di Banda Aceh berkisar Rp1.000 hingga Rp3.000 per kilogram, sedangkan dalam kondisi normal harga ikan tersebut sampai Rp10 ribu hingga Rp15 ribu per kilogram.
Melihat kondisi tersebut, selain menggandeng UPI pembekuan dari luar Banda Aceh, Ditjen PDSPKP juga mendorong produsen tepung ikan ikut menyerap ikan yang tak layak konsumsi.
"Alhamdulillah salah satu UPI, yakni PT Triguna Lestari Sejahtera dari Jakarta telah melakukan pembelian awal sebanyak 500 ton pada Minggu, 5 Mei 2024," ujarnya.
Selain itu, Ditjen PDSPKP juga telah menjalin komunikasi dengan Unit Pengolahan Tepung Ikan di luar Kota Banda Aceh, seperti PT Toba Surimi Indonesia, PT Asahi, dan CV Horizon dari Sibolga.
"Ini kami kawal terus, karena kami percaya semua bagian ikan bisa diolah, termasuk ikan tak layak konsumsi, bisa jadi bahan tepung ikan atau pakan," katanya pula.
Budi menyampaikan, sebagian besar armada kapal tangkap di Banda Aceh berukuran 30-100 GT, dan belum memiliki penyimpanan dingin (frozen on board).
Minimnya sarana dan prasarana rantai dingin di kapal tersebut menjadi salah satu penyebab menurunnya mutu ikan, karena waktu melaut cukup lama dan nelayan hanya mengandalkan pasokan es untuk mengawetkan hasil tangkapan. "Sehingga ditemukan ikan tidak dapat dijual karena mutunya yang sudah turun," ujarnya pula.
Untuk itu, sebagai upaya peningkatan kapasitas penyimpanan dingin di kapal bagi yang melakukan penangkapan relatif lama menjadi penting, guna mempertahankan kualitas ikan sejak ditangkap.
"Kendala pendanaan yang mungkin dihadapi dalam melengkapi sarana dan prasarana tersebut perlu didukung melalui fasilitasi kemudahan pembiayaan syariah sesuai qanun," katanya.
Budi menambahkan, berdasarkan hasil pantauan tim lapangan Ditjen PDSPKP, terdapat tujuh unit gudang beku (cold storage) di Banda Aceh, dengan total kapasitas sebesar 1.630 ton, tingkat keterisiannya saat ini sudah hampir 100 persen.
Dalam kesempatan ini, Budi menegaskan jajarannya terus memantau perkembangan di Pelabuhan Lampulo Banda Aceh, sekaligus terus berkoordinasi dengan otoritas terkait.
"Berdasarkan informasi terkini, tidak lagi terpantau adanya penumpukan ikan atau ikan yang terbuang, karena syahbandar telah melakukan pengaturan penangkapan ikan, sehingga pendaratannya tidak bersamaan," demikian Budi Sulistiyo.
Baca juga: BKIPM lepas liarkan seratusan ribu baby lobster senilai Rp15 miliar
Baca juga: DKP catat hasil tangkap ikan nelayan Pidie Aceh tembus 10,7 ribu ton
"Unit Pengolahan Ikan (UPI) di luar Aceh dan industri pengolahan tepung ikan sudah diminta aktif dalam menyerap hasil tangkapan nelayan," kata Dirjen PDSPKP, Budi Sulistiyo dalam keterangannya yang diterima di Banda Aceh, Selasa.
Sebelumnya, nelayan Aceh membuang sekitar tiga ton ikan hasil tangkapan yang sudah tak layak konsumsi di kawasan Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS), Lampulo, Banda Aceh.
Pembuangan ikan jenis dencis dan tongkol kecil itu terpaksa dilakukan, karena harga jual anjlok di Banda Aceh berkisar Rp1.000 hingga Rp3.000 per kilogram, sedangkan dalam kondisi normal harga ikan tersebut sampai Rp10 ribu hingga Rp15 ribu per kilogram.
Melihat kondisi tersebut, selain menggandeng UPI pembekuan dari luar Banda Aceh, Ditjen PDSPKP juga mendorong produsen tepung ikan ikut menyerap ikan yang tak layak konsumsi.
"Alhamdulillah salah satu UPI, yakni PT Triguna Lestari Sejahtera dari Jakarta telah melakukan pembelian awal sebanyak 500 ton pada Minggu, 5 Mei 2024," ujarnya.
Selain itu, Ditjen PDSPKP juga telah menjalin komunikasi dengan Unit Pengolahan Tepung Ikan di luar Kota Banda Aceh, seperti PT Toba Surimi Indonesia, PT Asahi, dan CV Horizon dari Sibolga.
"Ini kami kawal terus, karena kami percaya semua bagian ikan bisa diolah, termasuk ikan tak layak konsumsi, bisa jadi bahan tepung ikan atau pakan," katanya pula.
Budi menyampaikan, sebagian besar armada kapal tangkap di Banda Aceh berukuran 30-100 GT, dan belum memiliki penyimpanan dingin (frozen on board).
Minimnya sarana dan prasarana rantai dingin di kapal tersebut menjadi salah satu penyebab menurunnya mutu ikan, karena waktu melaut cukup lama dan nelayan hanya mengandalkan pasokan es untuk mengawetkan hasil tangkapan. "Sehingga ditemukan ikan tidak dapat dijual karena mutunya yang sudah turun," ujarnya pula.
Untuk itu, sebagai upaya peningkatan kapasitas penyimpanan dingin di kapal bagi yang melakukan penangkapan relatif lama menjadi penting, guna mempertahankan kualitas ikan sejak ditangkap.
"Kendala pendanaan yang mungkin dihadapi dalam melengkapi sarana dan prasarana tersebut perlu didukung melalui fasilitasi kemudahan pembiayaan syariah sesuai qanun," katanya.
Budi menambahkan, berdasarkan hasil pantauan tim lapangan Ditjen PDSPKP, terdapat tujuh unit gudang beku (cold storage) di Banda Aceh, dengan total kapasitas sebesar 1.630 ton, tingkat keterisiannya saat ini sudah hampir 100 persen.
Dalam kesempatan ini, Budi menegaskan jajarannya terus memantau perkembangan di Pelabuhan Lampulo Banda Aceh, sekaligus terus berkoordinasi dengan otoritas terkait.
"Berdasarkan informasi terkini, tidak lagi terpantau adanya penumpukan ikan atau ikan yang terbuang, karena syahbandar telah melakukan pengaturan penangkapan ikan, sehingga pendaratannya tidak bersamaan," demikian Budi Sulistiyo.
Baca juga: BKIPM lepas liarkan seratusan ribu baby lobster senilai Rp15 miliar
Baca juga: DKP catat hasil tangkap ikan nelayan Pidie Aceh tembus 10,7 ribu ton
Pewarta: Rahmat Fajri
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2024
Tags: