“Inti dari literasi keagamaan lintas budaya ini adalah membangun perasaan percaya dan membangun kepercayaan sebagai modal sosial dalam masyarakat melalui cara-cara yang baik dan membangun kompetensi keterampilan,” kata Matius dalam acara Jumpa Agama-agama: Literasi Keagamaan Lintas Budaya yang digelar di Universitas Ciputra, Surabaya, Sabtu.
Ia menjelaskan, berdasarkan hasil laporan UNESCO pada tahun 2021, “gejala” sosial yang harus diwaspadai adalah kemungkinan dunia semakin terpecah belah dan semakin terpolarisasi, sehingga akan ada banyak konflik antaragama dan antarsuku.
Menurut dia, laporan UNESCO itu menjadi penting karena apabila masyarakat semakin terpecah, maka rasa saling percaya akan semakin turun dan itu akan menjadi hal yang berbahaya karena akan sering terjadi konflik yang menyebabkan suatu hal tidak bisa berjalan. Karena itu, dibutuhkan kerja sama antarpihak untuk membangun kepercayaan.
“Kerja sama itu memiliki makna cooperation breeds trust atau kerja sama akan menghasilkan rasa saling percaya,” kata dia.
Untuk menanamkan sikap tersebut, UNESCO menyarankan agar pedagogi pendidikan di Indonesia pada masa mendatang harus bisa memperkuat kerja sama dan solidaritas.
Ia juga mengungkapkan, komisioner untuk HAM dalam Sidang Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa mengingatkan perlunya keberadaan inclusive faith literacy atau literasi keagamaan untuk membangun masyarakat yang di mana kebencian itu tidak bisa diterima.
“Ternyata di PBB pun, di level dunia pun, mereka sudah bicara perlunya ada sebuah religious literacy yang tidak hanya bicara satu agama saja, tapi juga bisa menerima perbedaan agama yang lain,” kata dia.
Selain itu, lanjutnya, ia mengatakan perlu adanya kompetensi komparatif dengan mendapatkan ilmu agama yang berbeda dari sumber yang benar.
Kemudian, pendekatan sosial psikologi juga menjadi penting karena dalam literasi keagamaan lintas budaya, hal yang dibahas tidak hanya terkait agama, tetapi juga ilmu-ilmu sosial.
“Karena sebetulnya banyak orang yang saya temui yang pintar dalam ilmu agama, tetapi tetap rasis, anti terhadap hal yang berbeda karena masalah sebetulnya adalah masalah prejudice, masalah strata,” kata dia.
Institut Leimena telah menjalankan program Literasi Keagamaan Lintas Bangsa (LKLB) yang menyasar guru-guru untuk berbagai tingkat pendidikan dan berbagai mata pelajaran sejak tahun 2021.
Para guru diajarkan untuk memasukkan pandangan toleransi dan kebebasan beragama dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) mata pelajaran yang diampu, sehingga murid dapat memahami cara menghormati perbedaan antarsesama.
Baca juga: Indonesia angkat isu literasi keagamaan lintas budaya di sidang PBB
Baca juga: KSP tekankan pentingnya integrasi literasi keagamaan di sekolah