Jakarta (ANTARA News) - Asosiasi Pertambangan Indonesia (IMA) meminta pemerintah untuk hati-hati dalam menerbitkan aturan pelarangan ekspor mineral mentah mulai Januari 2014 karena akan berdampak pada kehilangan pendapatan negara hingga miliaran dolar AS.

"Pada dasarnya akan sulit untuk menghentikan ekspor mulai 12 Januari 2014 karena belum ada pembangunan smelter yang selesai tahun depan," kata Direktur Eksekutif IMA, Syahrir Abubakar di Jakarta, Senin.

Dia mengingatkan bahwa dampak terbesar dari penghentian ekspor produk tambang mentah tersebut akan dirasakan oleh daerah. Dari data yang dimiliki IMA pemerintah akan kehilangan sekitar 45 persen pendapatan dalam bentuk pajak dan royalti yang selama ini disetor oleh perusahaan tambang seperti dari PT Newmont.

"Lebih dari 8,5 miliar dolar AS pendapatan pemerintah dari perusahaan tambang akan hilang 45 persennya atau sekitar 3,2 miliar dolar penerimaan negara hilang," katanya.

Dampaknya, antara lain, dikhawatirkan pemda tertentu akan kehilangan pendapatan karena sekitar 92 persen pendapatan daerahnya disumbang oleh perusahaan tambang. "Belum lagi ekses masalah ketenagakerjaan yang bisa muncul akibat pelarangan ekspor tersebut," ujarnya.

Padahal, selama ini sebenarnya di beberapa perusahaan tambang, tidak eksport mineral dalam bahan mentah (ore), tetapi eksport yang sudah diolah dalam bentuk konsentrat.

Sehingga, menurut dia, pada dasarnya perusahaan-perusahaan tambang telah mematuhi UU tersebut. Ini terbukti dari dengan ditandatanganinya CSPA antara Newmont dan Indosmelt. Hanya saja, perlu waktu untuk bisa melaksanakannya 100 persen.

"Ini menunjukkan keseriusan perusahaan-perusahaan tambang untuk mendukung pemerintah dalam melaksanakan kebijakan yang sesuai dengan UU Mineral dan Batubara," kata dia.

Seperti diberitakan sebelumnya, sesuai dengan UU Mineral dan Batubara (Minerba) No 4/2009, pemerintah mulai Januari 2014 melarang ekspor mineral atau tambang dalam bentuk mentah (raw material). Seluruh mineral mentah tersebut harus diolah terlebih dahulu sebelum boleh diekspor.

Sementara itu, Wakil Direktur Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengusulkan pemerintah menjadi pembeli penolong (stand by buyer) bijih mineral mentah yang diproduksi oleh perusahaan tambang sebelum tempat pemurnian dan pengolahan mineral mentah (smelter) perusahaan tersebut beroperasi.(*)