Bank Dunia: Kondisi ekonomi Indonesia cukup bagus
1 Mei 2024 15:59 WIB
Ketua Umum Kadin Jatim Adik Dwi Putranto (ketiga kiri) saat mengikuti FGD Bank Dunia di Surabaya, beberapa waktu yang lalu. ANTARA/HO-Kadin Jatim
Surabaya (ANTARA) - Lead Economist The World Bank (Bank Dunia) Habib Rab menyatakan kondisi ekonomi Indonesia terbilang cukup bagus, karena pendapatan per kapita masyarakat telah bergeser ke menegah atas dibanding India, Nigeria, Filipina, dan Mesir yang masih menengah.
Kondisi tersebut diketahuinya setelah melakukan validasi data ekonomi melalui pertemuan bersama pelaku usaha di Jawa Timur.
"Beberapa poin yang telah kami kemukakan ternyata memang terjadi di lapangan. Intinya, analisa kami sudah ada pada arah yang tepat," ucapnya.
Baca juga: Standard Chartered: Ekonomi RI masih berada dalam siklus ekspansi
Habib Rab menjelaskan, Bank Dunia sedang melakukan studi komprehensif tentang pertumbuhan ekonomi jangka panjang di Indonesia, termasuk di sektor swasta, di antaranya sektor manufaktur, jasa, hingga perpajakan.
"Untuk mendorong pertukaran ide yang produktif dan mendapatkan wawasan berharga dari sektor swasta, maka masukan dari Kadin terkait studi ini apakah sesuai dengan kenyataan atau ada hal yang bisa didapatkan sebagai umpan balik untuk mempertajam analisa dan data," katanya.
Menurut Rab, penting untuk tetap melakukan konsultasi terhadap sektor swasta agar analisa yang dilakukan lebih tajam sehingga data tidak hanya bercerita tetapi juga berbicara tentang realita yang ada di lapangan.
"Tidak sekadar angka saja tetapi kami bisa tahu apa yang ada dibalik itu," tuturnya.
Baca juga: Eskalasi ketidakpastian global, BI: Ekonomi RI masih berdaya tahan
Sementara itu, Senior Economist The World Bank Alexandre Hugo Laure menilai meskipun sudah cukup bagus, namun pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tahunan Indonesia terus mengalami perlambatan.
"Pertumbuhan sektor manufaktur yang menjadi penyumbang utama ekonomi Indonesia misalnya, ketika dibandingkan dengan berbagai negara, maka pertumbuhannya terbilang cukup lambat, kalah dengan China, Meksiko, Mesir, Nigeria, bahkan dengan India," ujar Hugo Laure.
Hugo menjelaskan, hal tersebut salah satunya disebabkan minim penelitian dan pengembangan serta rendahnya adaptasi teknologi dan inovasi yang dilakukan oleh industri besar di Indonesia.
"Pengeluaran penelitian dan pengembangan terbilang rendah dibandingkan negara-negara sejenis," ucapnya.
Pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan yang dilakukan industri di Indonesia, lanjutnya, hanya sekitar sembilan persen, jauh tertinggal dibandingkan kompetitor.
"Hanya sekitar lima persen perusahaan yang memperkenalkan inovasi, baik inovasi produk atau proses. Mengadopsi teknologi dan efisiensi energi juga sangat kecil di Indonesia dan hanya sedikit perusahaan yang mengadopsi praktik manajemen ramah lingkungan," katanya.
Baca juga: Menkeu rekomendasikan Bank Dunia & IMF pertahankan momentum reformasi
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Kadin Jatim Adik Dwi Putranto mengatakan bahwa pihaknya memiliki komitmen untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dalam negeri melalui percepatan pelaksanaan revitalisasi pendidikan dan pelatihan vokasi.
Melalui Kadin Institute, kata dia, sejumlah upaya telah dilakukan, mulai dari menyiapkan pelatih tempat kerja, harmonisasi kurikulum hingga sertifikasi tenaga kerja untuk mencetak tenaga kerja yang berkualitas dan berdaya saing.
"Peningkatan kinerja juga bisa dilakukan dengan menguasai pasar dalam negeri karena saat ini pasar di luar negeri tengah melambat," kata Adik.
Namun, Indonesia masih memiliki tantangan melalui platform e-commerce, menurutnya, transaksi yang terjadi antara dua negara tidak lagi Business to Business (B to B) tetapi polanya sudah menjadi Business to Consumer (B to C). "Dengan B to C, maka seakan-akan impor Indonesia kecil tetapi ketika jika disadari, ternyata volumenya sangat besar sehingga menghambat produk dalam negeri. Oleh karena itu harus ada kebijakan yang benar-benar pro terhadap industri domestik kita dalam rangka merebut kembali pasar lokal," ujarnya.
Kondisi tersebut diketahuinya setelah melakukan validasi data ekonomi melalui pertemuan bersama pelaku usaha di Jawa Timur.
"Beberapa poin yang telah kami kemukakan ternyata memang terjadi di lapangan. Intinya, analisa kami sudah ada pada arah yang tepat," ucapnya.
Baca juga: Standard Chartered: Ekonomi RI masih berada dalam siklus ekspansi
Habib Rab menjelaskan, Bank Dunia sedang melakukan studi komprehensif tentang pertumbuhan ekonomi jangka panjang di Indonesia, termasuk di sektor swasta, di antaranya sektor manufaktur, jasa, hingga perpajakan.
"Untuk mendorong pertukaran ide yang produktif dan mendapatkan wawasan berharga dari sektor swasta, maka masukan dari Kadin terkait studi ini apakah sesuai dengan kenyataan atau ada hal yang bisa didapatkan sebagai umpan balik untuk mempertajam analisa dan data," katanya.
Menurut Rab, penting untuk tetap melakukan konsultasi terhadap sektor swasta agar analisa yang dilakukan lebih tajam sehingga data tidak hanya bercerita tetapi juga berbicara tentang realita yang ada di lapangan.
"Tidak sekadar angka saja tetapi kami bisa tahu apa yang ada dibalik itu," tuturnya.
Baca juga: Eskalasi ketidakpastian global, BI: Ekonomi RI masih berdaya tahan
Sementara itu, Senior Economist The World Bank Alexandre Hugo Laure menilai meskipun sudah cukup bagus, namun pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tahunan Indonesia terus mengalami perlambatan.
"Pertumbuhan sektor manufaktur yang menjadi penyumbang utama ekonomi Indonesia misalnya, ketika dibandingkan dengan berbagai negara, maka pertumbuhannya terbilang cukup lambat, kalah dengan China, Meksiko, Mesir, Nigeria, bahkan dengan India," ujar Hugo Laure.
Hugo menjelaskan, hal tersebut salah satunya disebabkan minim penelitian dan pengembangan serta rendahnya adaptasi teknologi dan inovasi yang dilakukan oleh industri besar di Indonesia.
"Pengeluaran penelitian dan pengembangan terbilang rendah dibandingkan negara-negara sejenis," ucapnya.
Pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan yang dilakukan industri di Indonesia, lanjutnya, hanya sekitar sembilan persen, jauh tertinggal dibandingkan kompetitor.
"Hanya sekitar lima persen perusahaan yang memperkenalkan inovasi, baik inovasi produk atau proses. Mengadopsi teknologi dan efisiensi energi juga sangat kecil di Indonesia dan hanya sedikit perusahaan yang mengadopsi praktik manajemen ramah lingkungan," katanya.
Baca juga: Menkeu rekomendasikan Bank Dunia & IMF pertahankan momentum reformasi
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Kadin Jatim Adik Dwi Putranto mengatakan bahwa pihaknya memiliki komitmen untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dalam negeri melalui percepatan pelaksanaan revitalisasi pendidikan dan pelatihan vokasi.
Melalui Kadin Institute, kata dia, sejumlah upaya telah dilakukan, mulai dari menyiapkan pelatih tempat kerja, harmonisasi kurikulum hingga sertifikasi tenaga kerja untuk mencetak tenaga kerja yang berkualitas dan berdaya saing.
"Peningkatan kinerja juga bisa dilakukan dengan menguasai pasar dalam negeri karena saat ini pasar di luar negeri tengah melambat," kata Adik.
Namun, Indonesia masih memiliki tantangan melalui platform e-commerce, menurutnya, transaksi yang terjadi antara dua negara tidak lagi Business to Business (B to B) tetapi polanya sudah menjadi Business to Consumer (B to C). "Dengan B to C, maka seakan-akan impor Indonesia kecil tetapi ketika jika disadari, ternyata volumenya sangat besar sehingga menghambat produk dalam negeri. Oleh karena itu harus ada kebijakan yang benar-benar pro terhadap industri domestik kita dalam rangka merebut kembali pasar lokal," ujarnya.
Pewarta: Indra Setiawan/Naufal
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2024
Tags: