Wamendag: banyak kerugian jika Paket Bali gagal
6 Desember 2013 17:09 WIB
Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi memberikan keterangan kepada wartawan di sela-sela berlangsungnya konferensi tingkat menteri (KTM) ke-9 Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di BNDCC, Nusa Dua, Bali, Jumat (6/12). (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)
Nusa Dua, Bali, (ANTARA News) - Wakil Menteri Pergadangan Bayu Krisnamurthi mengatakan bahwa jika Paket Bali gagal disepakati dalam Konferensi Tingkat Menteri World Trade Organization (KTM WTO) ke-9, maka akan banyak kerugian yang harus diterima negara-negara anggota termasuk Indonesia.
"Kerugian terbesar bagi Indonesia adalah, kepercayaan perdagangan multilateral akan menurun, yang akan berimbas ke banyak hal, termasuk dispute settlement dan sistem multifikasi kebijakan yang dianut anggota WTO," kata Bayu, kepada para wartawan di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, Jumat.
Selain itu, lanjut Bayu, kerugian yang harus ditanggung apabila Paket Bali tersebut tidak disepakati, adalah keberlangsungan perundingan Doha Development Agenda (DDA) akan semakin tidak jelas, meskipun dalam perundingan itu banyak terkait dengan kepentingan negara berkembang termasuk Indonesia.
"Jika tidak berhasil, maka harapan untuk memperbesar skala perdagangan global kita semakin sulit, niat Indonesia untuk mendiversifikasi pasar baru juga semakin sulit lagi," ucap Bayu.
Hingga Kamis (5/12), sikap India belum melunak, bahkan negeri Bollywood tersebut bersikeras bahwa apa yang diperjuangkannya tersebut merupakan hal yang sangat fundamental.
Selama ini, pengaturan besaran harga acuan pokok produk pertanian diambil dari mekanisme "Agreement on Agriculture" (AoA) tahun 1994 di Uruguay tentang mekanisme pemberian subsidi pertanian bagi negara maju dan berkembang.
Sikap India menuntut adanya perubahan harga acuan pokok pertanian yang hingga saat ini masih menggunakan acuan Putaran Uruguay tahun 1986-1988, karena dinilai sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini yang telah memasuki abad 21.
Dalam penentuan apakah Paket Bali bisa dibuahkan atau tidak, WTO menganut klausul "Single Undertaking" yang berbunyi Nothing is agreed, until everything is agreed atau tidak ada sesuatu yang bisa disepakati sampai semua menyetujuinya.
"Saya hanya bisa mengatakan, kita sudah semakin dekat dengan garis finis, akan tetapi masih belum sampai," ujar Bayu.
Bayu menjelaskan, saat ini, pertemuan-pertemuan juga masih terus dilakukan dan sudah semakin mengkristal dan mengkerucut pembahasannya.
Paket Bali hanya memiliki tiga isu runding yang menekankan pada Trade Facilitation (TF), Agriculture, dan Least Developed Countries (LDCs), dan berbeda dengan DDA yang memiliki ambisi untuk menyelesaikan sebanyak 19 poin isu runding.
"Kerugian terbesar bagi Indonesia adalah, kepercayaan perdagangan multilateral akan menurun, yang akan berimbas ke banyak hal, termasuk dispute settlement dan sistem multifikasi kebijakan yang dianut anggota WTO," kata Bayu, kepada para wartawan di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, Jumat.
Selain itu, lanjut Bayu, kerugian yang harus ditanggung apabila Paket Bali tersebut tidak disepakati, adalah keberlangsungan perundingan Doha Development Agenda (DDA) akan semakin tidak jelas, meskipun dalam perundingan itu banyak terkait dengan kepentingan negara berkembang termasuk Indonesia.
"Jika tidak berhasil, maka harapan untuk memperbesar skala perdagangan global kita semakin sulit, niat Indonesia untuk mendiversifikasi pasar baru juga semakin sulit lagi," ucap Bayu.
Hingga Kamis (5/12), sikap India belum melunak, bahkan negeri Bollywood tersebut bersikeras bahwa apa yang diperjuangkannya tersebut merupakan hal yang sangat fundamental.
Selama ini, pengaturan besaran harga acuan pokok produk pertanian diambil dari mekanisme "Agreement on Agriculture" (AoA) tahun 1994 di Uruguay tentang mekanisme pemberian subsidi pertanian bagi negara maju dan berkembang.
Sikap India menuntut adanya perubahan harga acuan pokok pertanian yang hingga saat ini masih menggunakan acuan Putaran Uruguay tahun 1986-1988, karena dinilai sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini yang telah memasuki abad 21.
Dalam penentuan apakah Paket Bali bisa dibuahkan atau tidak, WTO menganut klausul "Single Undertaking" yang berbunyi Nothing is agreed, until everything is agreed atau tidak ada sesuatu yang bisa disepakati sampai semua menyetujuinya.
"Saya hanya bisa mengatakan, kita sudah semakin dekat dengan garis finis, akan tetapi masih belum sampai," ujar Bayu.
Bayu menjelaskan, saat ini, pertemuan-pertemuan juga masih terus dilakukan dan sudah semakin mengkristal dan mengkerucut pembahasannya.
Paket Bali hanya memiliki tiga isu runding yang menekankan pada Trade Facilitation (TF), Agriculture, dan Least Developed Countries (LDCs), dan berbeda dengan DDA yang memiliki ambisi untuk menyelesaikan sebanyak 19 poin isu runding.
Pewarta: Vicki Febrianto
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2013
Tags: