Jakarta (ANTARA) - Peneliti Bisnis dan Hak Asasi Manusia (HAM) dari Yayasan Bina Swadaya Eri Trinurini Adhi mengatakan pemerintah perlu meningkatkan sosialisasi upaya perlindungan hak asasi manusia (HAM) pada sektor bisnis kepada seluruh perusahaan.

Upaya perlindungan HAM itu berdasarkan Perpres Nomor 60 tahun 2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan HAM.

"Tantangannya memang di dalam sosialisasi karena banyak perusahaan yang belum mengetahui soal ini," kata Eri dalam diskusi bertajuk "Lindungi Hak Pekerja" yang disiarkan secara daring, Senin.

Eri pun mencontohkan Jepang sebagai salah satu negara yang berhasil menerapkan perlindungan HAM pada sektor bisnis.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Eri, mayoritas perusahaan di Jepang memahami perlindungan HAM dalam perusahaan lantaran pemerintahnya melalukan sosialisasi dengan maksimal.

Padahal, kata dia, hal tersebut masih bersifat sukarela dan belum diwajibkan pemerintah Jepang.

Hal berbeda pun dia temui di Indonesia. Selama proses penelitian, Eri menemukan banyak perusahaan yang justru minta penjelasan kepadanya tentang Perpres yang melindungi HAM masyarakat di ranah bisnis itu.

"Tolong dikasih pengetahuan mereka ini. Saya nih sudah siap-siap nih mau merancang modul (untuk disosialisasikan ke perusahaan) supaya saya bisa bantu Kemenkumham," kata Eri.

Menurut dia, kurangnya sosialisasi yang menyebabkan banyak perusahaan tidak lolos dalam pendaftaran aplikasi Penilaian Risiko Bisnis dan HAM (Prisma).

Eri berharap pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dapat meningkatkan sosialisasi Perpres tersebut di lingkungan perusahaan.

Dengan sosialisasi yang maksimal, dia yakin semakin banyak perusahaan yang peduli dengan perlindungan HAM karyawannya dan masyarakat sekitar.

Di tempat dan waktu yang sama, Direktur Kerja Sama HAM Kemenkumham RI, Harniati, mengatakan banyak perusahaan yang tidak lolos dalam pendaftaran aplikasi Prisma.

"Banyak pelaku usaha yang tidak memenuhi persyaratan. Karena ada 140 pertanyaan soal perlindungan HAM," kata Harniati.

Harniati menjelaskan setiap perusahaan yang ingin mendaftar di aplikasi Prisma harus menjawab 12 pertanyaan indikator dan 140 pertanyaan sub indikator, namun banyak perusahaan tidak bisa memenuhi persyaratan yang ada di aplikasi Prisma terkait perlindungan HAM karyawan.

"Pertanyaan-pertanyaan tersebut, kata dia, berkaitan dengan upaya perusahaan dalam menerbitkan aturan yang melindungi HAM karyawan. Kemudian adakah perlindungan terhadap serikat kerja dan juga terhadap lingkungan kerja dan ada mekanisme pengaduan, CSR dan sebagainya," kata Harniati.

Jika perusahaan memiliki seluruh syarat yang ditanyakan dalam aplikasi, menurut dia, maka pihak perusahaan harus mengunggah bukti dokumentasi yang menunjukkan upaya perlindungan HAM di kantor sudah berjalan.

Dia menyebut sejauh ini tercatat hampir 300 perusahaan yang sudah mendaftar di aplikasi ini. Dari ratusan perusahaan tersebut, hanya 31 perusahaan yang sudah memenuhi syarat atau lampu hijau.

Harniati berharap seluruh lini bisnis di Indonesia dapat memperhatikan dengan serius perlindungan HAM karyawannya dan mulai mendaftar di aplikasi Prisma.

Baca juga: Serikat pekerja berharap dilibatkan dalam pengawasan HAM sektor bisnis
Baca juga: Pemerintah bentuk gugus tugas perlindungan HAM di lingkungan bisnis
Baca juga: Indonesia dorong perlindungan HAM di sektor bisnis