Jakarta (ANTARA) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebut bahwa konservasi air menjadi konsentrasi utama yang menjadi dasar gerakan ekonomi Nusantara, yakni model ekonomi restoratif yang dikembangkan Walhi bersama Ford Foundation untuk memberdayakan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam.

"Semua ekonomi yang dibentuk di seluruh ekosistem yang menjadi konsentrasi kami dalam memberdayakan masyarakat itu berbasis konservasi air. Air adalah konsentrasi pertama mereka di lingkungan," kata Direktur Eksekutif Nasional Walhi Zenzi Suhadi dalam konferensi pers di Jakarta, Senin.

Ia menyebutkan bahwa Indonesia memiliki tujuh ekosistem unik yang bisa menjadi potensi ekonomi Nusantara yang berbasis konservasi lingkungan, yakni sabana (padang rumput), gambut, rawa, terestrial (daratan), pegunungan karst (kapur), pesisir, laut, dan danau atau sungai (perairan darat).

Baca juga: Indonesia siap bagikan pengalaman dalam konservasi air di WWF ke-10

"Rakyat di Indonesia sudah membentuk ekonomi dengan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Sabana membentuk ternak, karst membentuk ekosistem padi, dan seterusnya. Di Pulau Kalimantan dan Sumatera, juga ada gambut yang membentuk ekonomi perairan (ikan)," ujar dia.

Ia juga mengemukakan selain untuk meningkatkan nilai ekonomi dan ekspor, produksi rakyat yang berbasis konservasi air juga selama ini telah berhasil memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri, dalam hal ini kedaulatan pangan, yang juga menyokong ketahanan pangan Indonesia secara nasional.

"Seperti beras yang dihasilkan oleh ekosistem karst dan air di Sulawesi Selatan, itu menyuplai kebutuhan beras di sekitarnya. Satu sistem yang perlu kita lindungi untuk menjaga kedaulatan pangan kita," ucapnya.

Ia juga mencontohkan di Kampung Kalaodi, salah satu Kampung Ekologi di Kota Tidore Kepulauan, Provinsi Maluku Utara, yang dikelola Walhi bekerja sama dengan pemerintah, lembaga lain, dan masyarakat yang mengedepankan konservasi air.

Baca juga: KLHK bawa isu rehabilitasi hutan untuk dukung retensi air dalam WWF

"Kalaodi itu wilayahnya di lereng dan puncak gunung, di mana daya serap airnya sangat rendah, dan masyarakat di sana tidak ada yang punya sumur. Maka, mereka membuat sistem penampungan dalam rumah. Jadi, setiap rumah di sana memiliki bilik khusus untuk menampung air," paparnya.

"Maka, tata kelolanya itu membentuk satu ekosistem yang menghasilkan ekonomi sekaligus mengkonservasi air untuk orang hilir, sehingga sebutan Kalaodi itu Penjaga Air Tidore," imbuhnya.

Zenzi menekankan bahwa ada dua komponen yang selama ini diidentifikasi menjadi konsentrasi utama masyarakat.

"Mereka menyebutnya kecil menjadi sahabat, besar menjadi bencana, yakni air dan api. Belajar dari dua filosofi ini, Indonesia itu bisa membangun ekonomi tanpa menimbulkan bencana," tuturnya.

Sebagai Informasi, Indonesia akan menjadi tuan rumah dalam forum air global atau World Water Forum (WWF) ke-10, yang akan diselenggarakan di Bali pada 18-25 Mei 2024.

WWF ke-10 fokus membahas empat hal, yakni konservasi air (water conservation), air bersih dan sanitasi (clean water and sanitation), ketahanan pangan dan energi (food and energy security), serta mitigasi bencana alam (mitigation of natural disasters).

Baca juga: Jelang WWF, Wamen LHK sebut air berpotensi picu perang masa depan
Baca juga: Strategi Cinta Laura tingkatkan partisipasi warga dalam konservasi air