Pemerintah diminta koreksi total instrumen WTO
3 Desember 2013 22:35 WIB
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menyampaikan sambutan saat membuka konferensi tingkat menteri ke-9 Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di BNDCC, Nusa Dua, Bali, Selasa (3/12). Pertemuan ke-9 menteri negara-negara peserta WTO secara resmi dibuka dan akan berlangsung hingga 6 Desember 2013. (ANTARA FOTO/Ismar Patrizki)
Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah ormas yang tergabung dalam Cipayung Plus meminta pemerintah harus mengoreksi total instrumen Organisasi Pedagangan Dunia (WTO) untuk lebih melindungi sistem perdagangan nasional.
"Kebijakan-kebijakan WTO memicu disparitas yang kaya dan yang miskin, karena itu, negara harus berani melakukan koreksi total terhadap instrumen WTO," kata Ketua Umum Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Supriadi Narno dalam siaran pers, Selasa.
Menurut Supriadi, sistem perdagangan yang dijalankan kurang melindungi kepentingan nasional.
Karena itu, dia mengimbau kepada pemerintah melalui Menteri Perdagangan agar mempertimbangkan kesepakatan-kesepakatan WTO yang dinilai merugikan nelayan dan petani.
Pemerintah juga, lanjut dia, harus membangun kesiapan dalam negeri yang kompetitif.
"Dengan demikian, kita bisa berdiri sejajar dengan bangsa lain tanpa subordinasi, seperti WTO," katanya.
Sebelumnya, berbagai pendapat juga datang dari sejumlah LSM yang menyatakan perdagangan bebas yang digalakkan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) merugikan Indonesia karena mendorong dicabutnya subsidi bagi petani dan nelayan.
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) M Riza Damanik menilai WTO menguras sumber daya alam dan manusia di Tanah Air.
"Perdagangan bebas ala WTO dicirikan dengan pencabutan subsidi petani dan nelayan, eksploitasi sumber daya alam dan manusia," katanya.
Menurut dia, Paket Bali yang dibahas dalam pertemuan WTO di Nusa Dua saat ini justru memperparah krisis tersebut.
Dia meminta perundingan Paket Bali tidak perlu lagi dilanjutkan dan WTO harus segera diakhiri karena dinilai semakin merugikan rakyat, khususnya petani, nelayan, buruh, dan masyarakat ekonomi miskin.
Pada Selasa (3/12), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuka secara resmi Konferensi Tingkat Menteri ke - 9 Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) di Bali.
Pertemuan yang dilaksanakan selama empat hari 3 -- 8 Desember 2013 dan dihadiri oleh 159 negara anggota WTO, diharapkan mampu mendorong kembali kesepakatan perdagangan multilateral, setelah tersendatnya kesepakatan putaran Doha 12 tahun silam.
Presiden dalam sambutannya menyerukan agar para delegasi dari berbagai negara dapat untuk bekerja bersama menemukan jalan kesepakatan guna mendorong sistem perdagangan multilateral dapat berjalan dengan baik, adil dan juga inklusif.
"Saya sangat berharap kepada anda untuk membuat kemajuan yang signifikan dalam negosiasi anda di Bali," kata Presiden.
Presiden mengemukakan, saat ini merupakan waktu yang tepat untuk mendorong perdagangan multilateral guna mendukung perekonomian global yang kini masih berjuang dari resesi global.
Kepala Negara menyakini, perdagangan multilateral dapat mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengentasan kemiskinan di berbagai belahan dunia.
(J010/B008)
"Kebijakan-kebijakan WTO memicu disparitas yang kaya dan yang miskin, karena itu, negara harus berani melakukan koreksi total terhadap instrumen WTO," kata Ketua Umum Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Supriadi Narno dalam siaran pers, Selasa.
Menurut Supriadi, sistem perdagangan yang dijalankan kurang melindungi kepentingan nasional.
Karena itu, dia mengimbau kepada pemerintah melalui Menteri Perdagangan agar mempertimbangkan kesepakatan-kesepakatan WTO yang dinilai merugikan nelayan dan petani.
Pemerintah juga, lanjut dia, harus membangun kesiapan dalam negeri yang kompetitif.
"Dengan demikian, kita bisa berdiri sejajar dengan bangsa lain tanpa subordinasi, seperti WTO," katanya.
Sebelumnya, berbagai pendapat juga datang dari sejumlah LSM yang menyatakan perdagangan bebas yang digalakkan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) merugikan Indonesia karena mendorong dicabutnya subsidi bagi petani dan nelayan.
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) M Riza Damanik menilai WTO menguras sumber daya alam dan manusia di Tanah Air.
"Perdagangan bebas ala WTO dicirikan dengan pencabutan subsidi petani dan nelayan, eksploitasi sumber daya alam dan manusia," katanya.
Menurut dia, Paket Bali yang dibahas dalam pertemuan WTO di Nusa Dua saat ini justru memperparah krisis tersebut.
Dia meminta perundingan Paket Bali tidak perlu lagi dilanjutkan dan WTO harus segera diakhiri karena dinilai semakin merugikan rakyat, khususnya petani, nelayan, buruh, dan masyarakat ekonomi miskin.
Pada Selasa (3/12), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuka secara resmi Konferensi Tingkat Menteri ke - 9 Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) di Bali.
Pertemuan yang dilaksanakan selama empat hari 3 -- 8 Desember 2013 dan dihadiri oleh 159 negara anggota WTO, diharapkan mampu mendorong kembali kesepakatan perdagangan multilateral, setelah tersendatnya kesepakatan putaran Doha 12 tahun silam.
Presiden dalam sambutannya menyerukan agar para delegasi dari berbagai negara dapat untuk bekerja bersama menemukan jalan kesepakatan guna mendorong sistem perdagangan multilateral dapat berjalan dengan baik, adil dan juga inklusif.
"Saya sangat berharap kepada anda untuk membuat kemajuan yang signifikan dalam negosiasi anda di Bali," kata Presiden.
Presiden mengemukakan, saat ini merupakan waktu yang tepat untuk mendorong perdagangan multilateral guna mendukung perekonomian global yang kini masih berjuang dari resesi global.
Kepala Negara menyakini, perdagangan multilateral dapat mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengentasan kemiskinan di berbagai belahan dunia.
(J010/B008)
Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013
Tags: