Bangunan berbentuk huruf L di Jalan Lada Dalam, Taman Sari, Jakarta Barat, itu didominasi warna putih dan hanya sedikit sentuhan warna cokelat susu pada bagian sisi kiri dan kanannya atau sisi barat dan timurnya.
Di bagian atas gedung sisi barat bertuliskan Gedoeng BNI, sedangkan di sisi timur gedung, tepat di seberang jalan berdiri Masjid Baitussalam. Pada sisi barat yang bertuliskan Gedoeng BNI kerap menjadi objek foto para wisatawan di kawasan "Kota Tua" Jakarta
Gedoeng BNI dibangun sekitar tahun 1960 dan merupakan karya dari arsitek Friedrich Silaban, yang juga merancang beberapa bangunan terkenal lain di Jakarta seperti Masjid Istiqlal di Jakarta Pusat dan Monumen Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
Peneliti dari Program Studi Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan, Dewanti Ratnasarira dan Caecilia S. Wijayaputri, dalam jurnal Riset dan Arsitektur edisi Oktober 2017 menyebutkan bahwa salah satu ciri karya Silaban yakni tampilan fasad atau muka bangunan kaya bentuk persegi dan ini juga ditemukan pada Gedoeng BNI.
Gedoeng BNI, menurut Pusat Konservasi Cagar Budaya DKI Jakarta, memiliki ciri khas lainnya yakni atap yang datar, dan penggunaan brise soleil--pelindung dari sinar matahari pada muka bangunan--, sebagai salah satu unsur pada bangunan-bangunan tropis.
Hal lain yang menonjol yakni jendela gedung berukuran relatif besar berfungsi sebagai tempat masuk dan keluarnya udara serta masuknya cahaya.
Sementara itu, Eko Budihardjo dalam buku berjudul "Menuju Arsitektur Indonesia" menyatakan Silaban mengusung konsep arsitektur modern tropis yang memperhitungkan pengaruh iklim tropis terhadap bangunan.
Pegawai BNI yang mengabdi selama puluhan tahun dan telah pensiun bahkan masih ingat hawa sejuk yang dia rasakan saat siang hari kala berada di dalam gedung. Padahal, pada masa itu tak ada pendingin udara di sana.Gedoeng BNI nyaris tak ada yang diubah pada bagian luar bangunan. Bangunan empat lantai (tak termasuk lantai dasar atau ground) tersebut oleh pengelola hanya ditambahkan beberapa penyejuk udara di sejumlah titik, dan ini pun karena kebutuhan.
Gedoeng BNI kini difungsikan sebagai Kantor Wilayah 12 BNI, dengan semua ruangan dimanfaatkan. Lobi barat gedung difungsikan untuk pelayanan nasabah, sementara lobi timur sebagai akses masuk dan keluar para pegawai BNI.
Ketika memasuki area dalam bangunan, dapat terlihat bagian atap tanpa plafon, dipermanis dengan lis atau garis pada tepinya. Semula lis ini tak ada di bagian setiap atap.
Ciri khas rancangan sang arsitek di bagian dalam gedung yakni adanya koridor terbuka pada lantai dua, tiga dan empat. Lantai tiga dulu untuk para direksi.
Kemudian, melangkah semakin dalam, sejumlah bagian dalam gedung masih bertahan seperti awalnya. Pada area lobi barat bangunan misalnya, terdapat anak tangga darurat yang masih menggunakan lantai teraso.
Tangga darurat ini semula difungsikan sebagai jalan utama untuk keluar dan masuk karyawan. Lantai teraso juga masih bisa ditemukan di pintu utara gedung. Selain itu, ada juga pengeras suara yang masih difungsikan untuk menyebarkan informasi ke seluruh penjuru ruangan.
Lalu, pada lantai dua, terdapat koridor dengan ciri khas unsur warna oranye (dulunya cokelat susu) yang kini difungsikan sebagai ruang makan.
Museum BNI
Dari sederet foto, di antaranya ada foto gedung BNI pertama di Jalan Malaka No.3, Jakarta Barat, dan cabang-cabang BNI pertama di daerah seperti di Ciamis dan Tasikmalaya, Jawa Barat. Gedung BNI di Jalan Malaka kini difungsikan sebagai sekolah bisnis (Institut Teknologi dan Bisnis Swadharma).
Wajah para direktur BNI dari masa ke masa sejak RM Margono Djojohadikoesoemo, sosok di balik pendirian Bank Negara Indonesia (BNI) juga terpampang dalam foto yang dipasang di museum, termasuk logo BNI pada masa lalu yakni kapal pinisi.
Mesin potong Oeang Republik Indonesia (ORI) dan Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) tahun 1948 dari BNI Cabang Kutaraja-Banda Aceh termasuk yang bisa dilihat kala mengunjungi museum.
Selain itu, ada juga mesin hitung, mesin anjungan tunai mandiri (ATM) generasi pertama BNI. Mesin ATM pertama BNI tahun 1980-an kala itu hanya bisa menyediakan pecahan uang Rp10 ribu.
Menurut salah seorang pegawai, Museum BNI saat ini memang tak dibuka untuk umum. Namun ada kemungkinan bisa dinikmati masyarakat luas pada masa mendatang.