Bea Cukai buka suara soal tingginya sanksi administrasi barang impor
26 April 2024 18:11 WIB
Arsip Foto - Petugas melakukan pendataan paket barang kiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI) di gudang penimbunan sementara PT Trans Benua Logistik, di Kawasan Industri Candi, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (31/10/2023). ANTARA FOTO/Aji Styawan/hp/pri
Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani buka suara soal tingginya sanksi administrasi barang impor.
Dia menjelaskan besaran sanksi administrasi itu diatur untuk mencegah kesalahan informasi yang berpotensi merugikan negara.
“Denda sudah diatur sesuai ketentuan. Ini mencegah kesalahan informasi yang dilakukan oleh pelaku. Under invoicing itu terjadi dan itu bisa merugikan negara kalau nilai barang yang disampaikan tidak sesuai dengan harga barang yang sebenarnya,” kata Askolani saat konferensi pers APBN KiTa, di Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat.
Ketentuan yang dimaksud merujuk pada Pasal 28 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 96 Tahun 2023 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor dan Ekspor Barang Kiriman.
Adapun besaran sanksi yang dikenakan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2019 tentang perubahan atas PP Nomor 28 Tahun 2008 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi Berupa Denda di Bidang Kepabeanan.
Dalam Pasal 6 PP 39/2019 disebutkan bahwa nilai denda yang dikenakan terhadap kesalahan nilai CIF (cost, insurance, and freight atau biaya, asuransi, dan pengangkutan) ditetapkan secara berjenjang.
Untuk kesalahan pembayaran bea masuk atau keluar sampai dengan 50 persen, denda yang dikenakan sebesar 100 persen dari total kekurangan pembayaran yang terkena denda.
Untuk kekurangan pembayaran di rentang 50 persen hingga 100 persen, denda yang dikenakan sebesar 125 persen.
Kekurangan pembayaran di rentang 100 persen hingga 150 persen dikenakan denda 150 persen. Kekurangan di rentang 150 persen hingga 200 persen dikenakan denda 175 persen.
Kekurangan di rentang 200 persen hingga 250 persen dikenakan denda 200 persen. Kekurangan di rentang 250 persen hingga 300 persen dikenakan denda 225 persen.
Untuk kekurangan pembayaran di rentang 300 persen hingga 350 persen, denda yang dikenakan sebesar 250 persen. Kekurangan di rentang 350 persen hingga 400 persen dikenakan denda 300 persen.
Kemudian, kekurangan pembayaran di rentang 400 persen hingga 450 persen dikenakan denda 600 persen, dan kekurangan pembayaran di atas 450 persen dikenakan denda 1.000 persen dari total kekurangan pembayaran bea masuk atau bea keluar yang terkena denda.
“Kami punya akses untuk tahu harga barang secara global, jadi ada check and balance yang harus kami lakukan, yang kemudian nilai sanksinya sesuai dengan nilai yang tadi telah ditetapkan,” ujar Askolani.
Sebelumnya, seorang warganet mengaku menerima tagihan bea masuk senilai Rp31 juta untuk pembelian sepatu secara daring seharga Rp10 juta.
Bea Cukai merinci jasa kirim yang digunakan oleh warganet tersebut adalah DHL. DHL memberitahukan CIF atau nilai pabean senilai 35,37 dolar AS atau Rp562.736.
Sementara setelah dilakukan pemeriksaan, nilai CIF atas barang tersebut adalah 553,61 dolar AS atau Rp8,81 juta.
Untuk itu, Bea Cukai mengenakan sanksi administrasi. Adapun detail bea masuk yang perlu dibayar untuk pembelian barang impor tersebut terdiri dari bea masuk 30 persen senilai Rp2,64 juta, PPN 11 persen senilai Rp1,26 juta, PPh impor 20 persen senilai Rp2,29 juta, dan sanksi administrasi Rp24,73 juta, dengan total tagihan Rp30,92 juta.
Guna menghindari risiko terkena sanksi administrasi, Bea Cukai menyarankan masyarakat yang ingin belanja daring untuk barang impor agar menyampaikan dokumen pendukung secara rinci kepada jasa ekspedisi.
Dokumen mencakup jenis barang, harga barang, invoice, bukti transaksi, dan link website pembelian.
Dokumen itu kemudian disampaikan kepada Pos atau ekspedisi yang digunakan untuk menangani barang kiriman tersebut.
Baca juga: BP2MI pastikan tak berlaku lagi pembatasan barang milik pekerja migran
Baca juga: Kemendag: Distribusi barang impor lancar meski geopolitik memanas
Dia menjelaskan besaran sanksi administrasi itu diatur untuk mencegah kesalahan informasi yang berpotensi merugikan negara.
“Denda sudah diatur sesuai ketentuan. Ini mencegah kesalahan informasi yang dilakukan oleh pelaku. Under invoicing itu terjadi dan itu bisa merugikan negara kalau nilai barang yang disampaikan tidak sesuai dengan harga barang yang sebenarnya,” kata Askolani saat konferensi pers APBN KiTa, di Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat.
Ketentuan yang dimaksud merujuk pada Pasal 28 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 96 Tahun 2023 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor dan Ekspor Barang Kiriman.
Adapun besaran sanksi yang dikenakan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2019 tentang perubahan atas PP Nomor 28 Tahun 2008 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi Berupa Denda di Bidang Kepabeanan.
Dalam Pasal 6 PP 39/2019 disebutkan bahwa nilai denda yang dikenakan terhadap kesalahan nilai CIF (cost, insurance, and freight atau biaya, asuransi, dan pengangkutan) ditetapkan secara berjenjang.
Untuk kesalahan pembayaran bea masuk atau keluar sampai dengan 50 persen, denda yang dikenakan sebesar 100 persen dari total kekurangan pembayaran yang terkena denda.
Untuk kekurangan pembayaran di rentang 50 persen hingga 100 persen, denda yang dikenakan sebesar 125 persen.
Kekurangan pembayaran di rentang 100 persen hingga 150 persen dikenakan denda 150 persen. Kekurangan di rentang 150 persen hingga 200 persen dikenakan denda 175 persen.
Kekurangan di rentang 200 persen hingga 250 persen dikenakan denda 200 persen. Kekurangan di rentang 250 persen hingga 300 persen dikenakan denda 225 persen.
Untuk kekurangan pembayaran di rentang 300 persen hingga 350 persen, denda yang dikenakan sebesar 250 persen. Kekurangan di rentang 350 persen hingga 400 persen dikenakan denda 300 persen.
Kemudian, kekurangan pembayaran di rentang 400 persen hingga 450 persen dikenakan denda 600 persen, dan kekurangan pembayaran di atas 450 persen dikenakan denda 1.000 persen dari total kekurangan pembayaran bea masuk atau bea keluar yang terkena denda.
“Kami punya akses untuk tahu harga barang secara global, jadi ada check and balance yang harus kami lakukan, yang kemudian nilai sanksinya sesuai dengan nilai yang tadi telah ditetapkan,” ujar Askolani.
Sebelumnya, seorang warganet mengaku menerima tagihan bea masuk senilai Rp31 juta untuk pembelian sepatu secara daring seharga Rp10 juta.
Bea Cukai merinci jasa kirim yang digunakan oleh warganet tersebut adalah DHL. DHL memberitahukan CIF atau nilai pabean senilai 35,37 dolar AS atau Rp562.736.
Sementara setelah dilakukan pemeriksaan, nilai CIF atas barang tersebut adalah 553,61 dolar AS atau Rp8,81 juta.
Untuk itu, Bea Cukai mengenakan sanksi administrasi. Adapun detail bea masuk yang perlu dibayar untuk pembelian barang impor tersebut terdiri dari bea masuk 30 persen senilai Rp2,64 juta, PPN 11 persen senilai Rp1,26 juta, PPh impor 20 persen senilai Rp2,29 juta, dan sanksi administrasi Rp24,73 juta, dengan total tagihan Rp30,92 juta.
Guna menghindari risiko terkena sanksi administrasi, Bea Cukai menyarankan masyarakat yang ingin belanja daring untuk barang impor agar menyampaikan dokumen pendukung secara rinci kepada jasa ekspedisi.
Dokumen mencakup jenis barang, harga barang, invoice, bukti transaksi, dan link website pembelian.
Dokumen itu kemudian disampaikan kepada Pos atau ekspedisi yang digunakan untuk menangani barang kiriman tersebut.
Baca juga: BP2MI pastikan tak berlaku lagi pembatasan barang milik pekerja migran
Baca juga: Kemendag: Distribusi barang impor lancar meski geopolitik memanas
Pewarta: Imamatul Silfia
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2024
Tags: