Pasalnya, anggota BPJS Watch Timboel Siregar menilai penggabungan pengelolaan program JHT dan Jaminan Pensiun (JP) milik BPJS Ketenagakerjaan dengan dana pensiun milik Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) dan Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK), sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) rentan merugikan pekerja sebagai pemberi iuran.
“Dari rekam jejak yang dahulu, DPPK-DPLK itu gagal menginvestasikan sehingga dananya lost. Nah, kalau kita bilang DPPK, DPLK itu kan lembaga swasta. Apakah kalau rugi akan dijamin oleh APBN? Ya pasti enggak,” tegas Timboel pada seminar bertajuk “UU No. 4 Tahun 2023 tentang P2SK dan Penguatan Tabungan Pekerja pada Jaminan Sosial Ketenagakerjaan” di Jakarta pada Kamis.
Selain itu, ia juga menilai penggabungan pengelolaan dana JHT dan JP BPJS Ketenagakerjaan dengan dana pensiun milik DPLK dan DPPK kurang tepat, dikarenakan kedua lembaga tersebut terhitung sebagai asuransi yang bersifat komersial dan tidak mengikuti sembilan prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), tidak seperti BPJS Ketenagakerjaan.
Pengawasan tata kelola JHT, JP maupun dana pensiun, sambung dia, menjadi penting tidak hanya bagi pekerja sebagai pemberi iuran, namun juga pemerintah guna memastikan Indonesia mendapatkan bonus demografi yang kedua lewat pemanfaatan ekonomi perak (silver economy) dari kelompok lansia.
Baca juga: Akademisi: Penguatan dana pensiun upayakan bonus demografi lansia
Baca juga: OJK: Peta jalan penguatan dana pensiun dukung harmonisasi sistem