Pakar sebut tingkatkan indeks pertanaman untuk naikkan produksi padi
25 April 2024 17:59 WIB
Pakar pertanian dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Prof Totok Agung Dwi Haryanto melakukan penelitian di Laboratorium Unsoed, Purwokerto. ANTARA/Dokumentasi Pribadi
Purwokerto (ANTARA) - Pakar pertanian dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Prof Totok Agung Dwi Haryanto mengharapkan pemerintah meningkatkan indeks pertanaman dalam rangka peningkatan produksi padi dan kesejahteraan petani.
"Sebenarnya kalau pemerintah serius ingin membangun kebijakan kedaulatan pangan, kita masih punya potensi di aspek peningkatan indeks pertanaman," kata Prof Totok Agung Dwi Haryanto, di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis sore.
Ia mengatakan jika usia tanaman padi rata-rata 3,5 bulan dan ditanam pada lahan sawah beririgasi di Indonesia yang luasnya mencapai 7,1 juta hektare, ada peluang membuat pertanaman padi sebanyak tiga kali tanam dalam setahun.
Saat ini, kata dia, rerata indeks pertanaman padi di Indonesia baru mencapai 1,55 yang berarti masih ada sisa waktu pada lahan sawah beririgasi sebanyak 1,45 kali penanaman.
"Dengan kata lain, 1,55 itu menggambarkan bahwa hanya separuh dari luas lahan sawah 7,1 juta hektare itu yang bisa ditanami padi dua kali dalam setahun, sisanya satu kali. Berarti ada lahan yang tersedia di sawah irigasi kita luas 3,5 juta hektare yang ditanami padi satu kali dalam setahun, padahal itu adalah sawah," kata Guru Besar Fakultas Pertanian Unsoed itu pula.
Akan tetapi yang menjadi persoalan, kata dia lagi, hingga saat ini belum ada data valid terkait di mana dan kapan lahan-lahan sawah itu hanya ditanami padi satu kali dalam setahun.
Ia mengatakan jika ada data valid mengenai hal tersebut, berarti harus serius dalam meningkatkan indeks pertanaman setiap jengkal lahan sawah, sehingga sisa lahan sawah yang belum ditanami padi itu bisa ditingkatkan indeks pertanamannya.
"Ini akan membutuhkan investasi yang jauh lebih rendah daripada mencetak sawah baru 1 juta hektare di Kalimantan," katanya.
Selain itu, kata dia lagi, peningkatan indeks pertanaman juga akan berhubungan langsung dengan kesejahteraan petani karena berdasarkan karakteristik, kepemilikan lahan petani di Indonesia sempit.
Dengan demikian, lanjut dia, intensifikasi melalui penanaman padi lebih dari satu kali dapat menjadi jalan keluar dalam peningkatan kesejahteraan petani yang lahannya sempit.
"Atau nanti bisa juga dengan strategi terintegrasi dengan komoditas lain selain padi, apakah itu sayuran, apakah itu tanaman kacang-kacangan, ataukah itu kemudian dengan ternak yang terintegrasi itu juga akan menjadi nilai tambah," katanya.
Menurut dia, peningkatan indeks pertanaman dengan memanfaatkan sawah yang ada lebih berpeluang meningkatkan produksi padi dibanding mengembangkan lahan padi 1 juta hektare di Kalimantan yang justru akan memunculkan persoalan-persoalan mendasar dengan masyarakat lokal.
Lebih lanjut, Prof Totok menilai kebijakan untuk mencetak sawah baru 1 juta hektare di Kalimantan untuk food estate dengan menggunakan investasi dari China saat ini sebetulnya belum menjadi prioritas.
"Disebabkan bahwa kita itu sebetulnya memiliki kemampuan dari segi SDM (sumber daya manusia), teknologi, maupun budaya yang mendukung untuk terpenuhinya kebutuhan pangan. Hanya persoalannya di tingkat kebijakan yang menurut hemat saya, belum berpihak kepada kesejahteraan petani dan kedaulatan pangan di Indonesia," katanya lagi.
Apabila kebijakan mencetak 1 juta hektare sawah baru di Kalimantan dengan menggunakan investasi dari luar negeri itu dilakukan, kata dia, setidaknya akan terjadi pengambilalihan hak kepemilikan lahan dari masyarakat lokal dan hal itu akan berpotensi menimbulkan persoalan atau konflik di masyarakat.
Selain itu, kata dia lagi, di Kalimantan akan ada masalah lagi terkait dengan kesuburan lahan maupun ketersediaan air untuk irigasi selama satu tahun, sehingga setidaknya ditanam di pulau tersebut hanya bisa dilakukan satu tahun.
"Atau kalau mau menjadi dua tahun, perlu investasi lebih banyak untuk penyediaan air," katanya pula.
Menurut dia, food estate di Kalimantan tidak terkait dengan kesejahteraan petani, karena ketika produksi padinya banyak akan semakin lemah harga tawar produk panen petani seperti halnya harga gabah jatuh saat panen raya.
Selain itu, kata dia, pengembangan padi 1 juta hektare dengan investasi dan tenaga asing itu menggambarkan seolah-olah pemerintah kurang percaya dengan kepakaran dan penguasaan teknologi oleh petani maupun ahli pertanian di Indonesia.
"Oleh karena itu, saran saya kalaupun mau mengembangkan sawah 1 juta hektare itu perlu kajian yang saksama dan detail, terkait dengan aspek politik, ekonomi, budaya, dan juga keberlanjutan daya dukung lahan," kata Prof Totok pula.
Baca juga: Presiden tinjau Bendungan Sindangheula tingkatkan indeks pertanaman
Baca juga: Pemprov Sumut kembangkan "semai culik" naikkan frekuensi panen padi
"Sebenarnya kalau pemerintah serius ingin membangun kebijakan kedaulatan pangan, kita masih punya potensi di aspek peningkatan indeks pertanaman," kata Prof Totok Agung Dwi Haryanto, di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis sore.
Ia mengatakan jika usia tanaman padi rata-rata 3,5 bulan dan ditanam pada lahan sawah beririgasi di Indonesia yang luasnya mencapai 7,1 juta hektare, ada peluang membuat pertanaman padi sebanyak tiga kali tanam dalam setahun.
Saat ini, kata dia, rerata indeks pertanaman padi di Indonesia baru mencapai 1,55 yang berarti masih ada sisa waktu pada lahan sawah beririgasi sebanyak 1,45 kali penanaman.
"Dengan kata lain, 1,55 itu menggambarkan bahwa hanya separuh dari luas lahan sawah 7,1 juta hektare itu yang bisa ditanami padi dua kali dalam setahun, sisanya satu kali. Berarti ada lahan yang tersedia di sawah irigasi kita luas 3,5 juta hektare yang ditanami padi satu kali dalam setahun, padahal itu adalah sawah," kata Guru Besar Fakultas Pertanian Unsoed itu pula.
Akan tetapi yang menjadi persoalan, kata dia lagi, hingga saat ini belum ada data valid terkait di mana dan kapan lahan-lahan sawah itu hanya ditanami padi satu kali dalam setahun.
Ia mengatakan jika ada data valid mengenai hal tersebut, berarti harus serius dalam meningkatkan indeks pertanaman setiap jengkal lahan sawah, sehingga sisa lahan sawah yang belum ditanami padi itu bisa ditingkatkan indeks pertanamannya.
"Ini akan membutuhkan investasi yang jauh lebih rendah daripada mencetak sawah baru 1 juta hektare di Kalimantan," katanya.
Selain itu, kata dia lagi, peningkatan indeks pertanaman juga akan berhubungan langsung dengan kesejahteraan petani karena berdasarkan karakteristik, kepemilikan lahan petani di Indonesia sempit.
Dengan demikian, lanjut dia, intensifikasi melalui penanaman padi lebih dari satu kali dapat menjadi jalan keluar dalam peningkatan kesejahteraan petani yang lahannya sempit.
"Atau nanti bisa juga dengan strategi terintegrasi dengan komoditas lain selain padi, apakah itu sayuran, apakah itu tanaman kacang-kacangan, ataukah itu kemudian dengan ternak yang terintegrasi itu juga akan menjadi nilai tambah," katanya.
Menurut dia, peningkatan indeks pertanaman dengan memanfaatkan sawah yang ada lebih berpeluang meningkatkan produksi padi dibanding mengembangkan lahan padi 1 juta hektare di Kalimantan yang justru akan memunculkan persoalan-persoalan mendasar dengan masyarakat lokal.
Lebih lanjut, Prof Totok menilai kebijakan untuk mencetak sawah baru 1 juta hektare di Kalimantan untuk food estate dengan menggunakan investasi dari China saat ini sebetulnya belum menjadi prioritas.
"Disebabkan bahwa kita itu sebetulnya memiliki kemampuan dari segi SDM (sumber daya manusia), teknologi, maupun budaya yang mendukung untuk terpenuhinya kebutuhan pangan. Hanya persoalannya di tingkat kebijakan yang menurut hemat saya, belum berpihak kepada kesejahteraan petani dan kedaulatan pangan di Indonesia," katanya lagi.
Apabila kebijakan mencetak 1 juta hektare sawah baru di Kalimantan dengan menggunakan investasi dari luar negeri itu dilakukan, kata dia, setidaknya akan terjadi pengambilalihan hak kepemilikan lahan dari masyarakat lokal dan hal itu akan berpotensi menimbulkan persoalan atau konflik di masyarakat.
Selain itu, kata dia lagi, di Kalimantan akan ada masalah lagi terkait dengan kesuburan lahan maupun ketersediaan air untuk irigasi selama satu tahun, sehingga setidaknya ditanam di pulau tersebut hanya bisa dilakukan satu tahun.
"Atau kalau mau menjadi dua tahun, perlu investasi lebih banyak untuk penyediaan air," katanya pula.
Menurut dia, food estate di Kalimantan tidak terkait dengan kesejahteraan petani, karena ketika produksi padinya banyak akan semakin lemah harga tawar produk panen petani seperti halnya harga gabah jatuh saat panen raya.
Selain itu, kata dia, pengembangan padi 1 juta hektare dengan investasi dan tenaga asing itu menggambarkan seolah-olah pemerintah kurang percaya dengan kepakaran dan penguasaan teknologi oleh petani maupun ahli pertanian di Indonesia.
"Oleh karena itu, saran saya kalaupun mau mengembangkan sawah 1 juta hektare itu perlu kajian yang saksama dan detail, terkait dengan aspek politik, ekonomi, budaya, dan juga keberlanjutan daya dukung lahan," kata Prof Totok pula.
Baca juga: Presiden tinjau Bendungan Sindangheula tingkatkan indeks pertanaman
Baca juga: Pemprov Sumut kembangkan "semai culik" naikkan frekuensi panen padi
Pewarta: Sumarwoto
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2024
Tags: