Figur-figur Kartini masa kini pun kembali ditulis di media-media massa, mengingatkan bahwa meski sosok beliau sudah tiada, daya juang yang tertulis dalam surat-suratnya tetap melekat menjadi semangat dalam diri perempuan yang setiap hari bertaruh untuk kemajuan bangsa.
Sejarah singkat surat-surat Kartini
Putri dari pasangan bangsawan bernama Raden Mas (R.M.) Sosroningrat dan Mas Ajeng Ngasirah yang lahir di Kota Jepara, Jawa Tengah pada 21 April 1879 ini tercatat mulai menulis surat pertamanya pada tahun 1899.
Baca juga: Perjuangan Kartini bahan refleksi perempuan ikut dalam pembangunan RI
Ia juga mengeluhkan betapa komunikasi dengan saudara-saudaranya pun terbatas oleh aturan-aturan yang cukup mengekang, misalnya, adik-adiknya yang tak boleh sama sekali menyentuh kepalanya meski hanya untuk bercanda, karena dianggap tidak sopan dalam adat Jawa.
Sejak tahun 1889 hingga 1904, Kartini pun mulai aktif menulis. Surat-surat balasan dari teman-temannya yang telah merasakan indahnya menjadi perempuan di dunia modern, di saat Indonesia masih berperang melawan penjajahan, menyalakan api dalam dirinya untuk terus memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan Indonesia kala itu.
Baca juga: MPR: Hari Kartini momentum memperjuangkan hak-hak perempuan
Kartini juga sempat menulis surat kepada dua pasangan suami-istri yang merupakan sahabat penanya, Jacques Henrij (J.H) Abendanon dan Rosa Manuela Abendanon. Pada tahun 1900 hingga 1905, J.H. Abendanon menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda (Indonesia).
J.H Abendanon memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan Kartini. Ia adalah orang yang memberikan beasiswa kepada Kartini untuk bersekolah di Belanda, tetapi ditolak mengingat saat itu Kartini terpaksa harus menikah.
Salah satu suratnya kepada J.H Abendanon berbunyi, "Tahukah Anda apa yang ada di pikiran perempuan Jawa? Mereka hidup hanya untuk menikah. Tidak peduli menjadi istri ke berapa."
J.H Abendanon-lah yang kemudian mengumpulkan surat-surat Kartini yang sarat akan nilai-nilai emansipasi, perjuangan, dan perlawanan terhadap penjajahan dalam sebuah buku yang judulnya diterjemahkan dalam Bahasa Melayu, "Habis Gelap Terbitlah Terang."
Buku tersebut diterbitkan tujuh tahun setelah Kartini meninggal di usia 25 tahun pada 17 September 1904, usai melahirkan anak pertamanya, Soesalit Djojohadhiningrat.
Hari Kartini ditetapkan sebagai hari penting dalam sejarah Indonesia pada masa Presiden Soekarno, yang kala itu mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964.
Baca juga: Radio Taiwan Internasional gelar "Kartini Taiwan Music Festival"
Baca juga: YouTube merilis seri dokumenter tentang perempuan kreator konten