Pakar: Konektivitas laut dan atmosfer berperan pada perubahan iklim
18 April 2024 23:51 WIB
Ilustrasi - Perahu nelayan melintas ketika awan hitam menyelimuti kawasan Teluk Kendari, Sulawesi Tenggara. ANTARA FOTO/Ekho Ardiyanto/nz/aa. (ANTARAFOTO/EKHO ARDIYANTO)
Jakarta (ANTARA) - Administrator Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional Amerika Serikat Dr Richard Spinrad mengemukakan bahwa konektivitas laut dan atmosfer berperan pada perubahan iklim yang terjadi di dunia.
Spinrad dalam diskusi digelar di Jakarta, Kamis, mengatakan bahwa satu sistem Bumi, konektifitas membuat lautan yang menggerakkan atmosfer, dan atmosfer juga menggerakkan lautan global.
Terkait iklim, jika melihat kelebihan panas yang pada dasarnya tersimpan akibat pembakaran bahan bakar fosil dan karbon dioksida di atmosfer, 90 persen panas tersebut berada di lautan. Sayangnya, 10 tahun lalu hal tersebut masih belum diketahui.
Baca juga: BMKG sebut tinggi muka laut di RI naik hingga 1,2 cm per tahun
"Jadi bayangkan semua energi itu ada di lautan. Itu akan mendorong segalanya. Yang kita lihat adalah siklon yang lebih dahsyat, badai yang lebih dahsyat, dan badai yang lebih dahsyat. Kita melihatnya dari pengaruh El Nino, La Nina, dan Dipol Samudera Hindia terhadap cuaca dan iklim," kata Spinrad.
Spinrad, yang juga Wakil Menteri Perdagangan untuk Kelautan dan Atmosfer AS, mengatakan hal tersebut juga menjadi kekhawatiran di negaranya, Afrika mengkhawatirkan hal tersebut, dan masyarakat di Eropa.
Baca juga: Indonesia dan Jerman kerja sama kurangi degradasi darat dan laut
Menurut dia dari konsep telekoneksi, apa yang terjadi di Samudera Hindia, dan apa yang terjadi di Samudera Pasifik, akan mempengaruhi pola cuaca global. "Jadi semuanya merupakan satu sistem, lautan mempengaruhi lautan, mempengaruhi atmosfer, atmosfer mempengaruhi lautan, dan iklim sebagai dampaknya," lanjutnya.
Sementara peneliti Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) BRIN Dr Intan Suci Nurhati menuturkan bahwa dari segi dampak selain suhu hangat laut, juga ada masalah besar mengenai pengasaman laut.
"Jadi yang terjadi adalah ketika karbon dioksida di atmosfer tidak hanya menghangatkan planet kita, karena hal ini seperti membuat selimut planet kita lebih tebal, tapi juga diserap oleh lautan, dan daratan," kata Intan.
Intan mengatakan, laut berperan dalam menyerap karbon dioksida dan menjadi asam sehingga menurutnya ketika berbicara tentang etika, adalah hal yang sangat etis dalam melindungi lautan.
Baca juga: BRIN sebut masa depan Indonesia ada di laut
Baca juga: Laut menghangat, waspadai potensi cuaca ekstrem dan badai
Spinrad dalam diskusi digelar di Jakarta, Kamis, mengatakan bahwa satu sistem Bumi, konektifitas membuat lautan yang menggerakkan atmosfer, dan atmosfer juga menggerakkan lautan global.
Terkait iklim, jika melihat kelebihan panas yang pada dasarnya tersimpan akibat pembakaran bahan bakar fosil dan karbon dioksida di atmosfer, 90 persen panas tersebut berada di lautan. Sayangnya, 10 tahun lalu hal tersebut masih belum diketahui.
Baca juga: BMKG sebut tinggi muka laut di RI naik hingga 1,2 cm per tahun
"Jadi bayangkan semua energi itu ada di lautan. Itu akan mendorong segalanya. Yang kita lihat adalah siklon yang lebih dahsyat, badai yang lebih dahsyat, dan badai yang lebih dahsyat. Kita melihatnya dari pengaruh El Nino, La Nina, dan Dipol Samudera Hindia terhadap cuaca dan iklim," kata Spinrad.
Spinrad, yang juga Wakil Menteri Perdagangan untuk Kelautan dan Atmosfer AS, mengatakan hal tersebut juga menjadi kekhawatiran di negaranya, Afrika mengkhawatirkan hal tersebut, dan masyarakat di Eropa.
Baca juga: Indonesia dan Jerman kerja sama kurangi degradasi darat dan laut
Menurut dia dari konsep telekoneksi, apa yang terjadi di Samudera Hindia, dan apa yang terjadi di Samudera Pasifik, akan mempengaruhi pola cuaca global. "Jadi semuanya merupakan satu sistem, lautan mempengaruhi lautan, mempengaruhi atmosfer, atmosfer mempengaruhi lautan, dan iklim sebagai dampaknya," lanjutnya.
Sementara peneliti Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) BRIN Dr Intan Suci Nurhati menuturkan bahwa dari segi dampak selain suhu hangat laut, juga ada masalah besar mengenai pengasaman laut.
"Jadi yang terjadi adalah ketika karbon dioksida di atmosfer tidak hanya menghangatkan planet kita, karena hal ini seperti membuat selimut planet kita lebih tebal, tapi juga diserap oleh lautan, dan daratan," kata Intan.
Intan mengatakan, laut berperan dalam menyerap karbon dioksida dan menjadi asam sehingga menurutnya ketika berbicara tentang etika, adalah hal yang sangat etis dalam melindungi lautan.
Baca juga: BRIN sebut masa depan Indonesia ada di laut
Baca juga: Laut menghangat, waspadai potensi cuaca ekstrem dan badai
Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2024
Tags: