Jakarta (ANTARA) - Pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai perlu ada perubahan keputusan politik negara untuk mengatasi gerakan separatis OPM di Papua.
Dia menjelaskan tanpa perubahan keputusan politik negara, keputusan Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto mengubah penyebutan kelompok separatis dari kelompok separatis teroris (KST) menjadi OPM pun tak berarti apa-apa.
“Sepanjang tidak ada perubahan kebijakan dan keputusan negara, maka OMSP (operasi militer selain perang) TNI di Papua masih akan sama seperti sebelumnya, yaitu OMSP perbantuan pada Polri dalam rangka pemeliharaan keamanan dan ketertiban,” kata Fahmi menjawab pertanyaan ANTARA saat dihubungi di Jakarta, Selasa.
Baca juga: Panglima TNI bentuk Koops Habema untuk satukan pola operasi di Papua
Dia melanjutkan, tanpa ada perubahan keputusan politik negara, TNI belum dapat menggelar OMSP untuk mengatasi gerakan separatis maupun pemberontakan bersenjata di Papua.
Fahmi meyakini keputusan Panglima mengubah nomenklatur KST menjadi OPM dapat menjadi momen untuk melihat kembali peluang mengubah kebijakan dan keputusan politik negara terhadap organisasi separatis di Papua.
Baca juga: Panglima: TNI kedepankan operasi teritorial hadapi KKB di Papua
Dia juga menilai perubahan nama itu menunjukkan harapan adanya peran lebih dari TNI untuk menindak kelompok separatis di Papua, mengingat saat ini posisi TNI membantu Polri, misalnya dalam Satgas Damai Cartenz.
“Bagaimana pun sejauh ini kita sudah bisa melihat dengan gamblang bahwa aksi-aksi kelompok bersenjata di Papua ini ditujukan bukan sekadar untuk mengganggu keamanan, melainkan dengan tujuan memisahkan diri dari Indonesia, dan mereka juga melakukan aksi-aksi teror untuk menurunkan moril prajurit dan menakuti warga masyarakat,” kata Khairul Fahmi, yang juga co-founder ISESS.
Baca juga: TNI-Polri manfaatkan teknologi dalam operasi keamanan di Papua
Oleh karena itu, Fahmi berpendapat aksi OPM di Papua jelas gerakan separatis bersenjata.
“Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, TNI mestinya bisa diperintahkan mengatasinya melalui skema operasi militer selain perang dalam rangka mengatasi gerakan separatis bersenjata dan pemberontakan, sebagaimana diatur Pasal 7 ayat 2 huruf b angka 1,” kata dia.
Baca juga: Satgas Damai Cartenz perkuat pengamanan di sembilan daerah operasi
Fahmi mengakui ada momok pelanggaran HAM yang kerap disangkutkan ke TNI jika TNI diperintahkan menggelar OMSP untuk menindak gerakan separatis OPM di Papua. Namun, Fahmi meyakini itu dapat diantisipasi manakala ada protokol, prosedur, dan aturan yang jelas.
“Jika (OMSP) itu dilakukan, maka tindakan TNI harus sepenuhnya mengacu pada protokol dan konvensi internasional yang mengatur bagaimana tindakan militer dilakukan terhadap aksi separatisme bersenjata, termasuk juga bagaimana perlakuan terhadap milisi yang tertangkap, non-kombatan, dan warga sipil. Dengan begitu, momok pelanggaran HAM bisa dihindari sepanjang tindakan mereka sepenuhnya berada dalam ruang lingkup protokol dan konvensi,” kata Fahmi.
Baca juga: TNI-Polri mantapkan pengamanan Pemilu Serentak 2024 di dua provinsi
Terlepas dari itu, dia kembali menegaskan persoalan separatisme di Papua membutuhkan itikad pemerintah dan DPR untuk merumuskan kembali kebijakan dan keputusan politik negara terhadap OPM.
“Ini sepenuhnya kembali pada itikad pemerintah dan DPR apakah akan tetap memelihara keraguan serta membiarkan kondisi tumpang tindih dan carut-marut ini berlanjut, atau bersedia mengambil langkah berani dengan merumuskan rencana aksi yang mencerminkan perubahan kebijakan atau keputusan politik dan dapat dijalankan secara simultan dan komprehensif,” kata Khairul Fahmi.
ISESS nilai perlu ada perubahan keputusan politik negara atasi OPM
16 April 2024 20:55 WIB
Direktur Eksekutif ISSES Khairul Fahmi. (Antara/HO-Ist).
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2024
Tags: