Pemerintah didesak kaji ulang kerjasama dengan Australia
Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti (kiri) didampingi Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC) Arif Nur Alam (tengah) dan Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jerry Sumampow ketika memberikan keterangan Pers mengenai Menuntut Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran Penyelenggara Pemilu dan Tolak Pemborosan Bawaslu di Jakarta, Selasa (12/11). Koalisi pemantau pemilu menilai pengadaan logistik pemilu harus transparan, akuntabel dan bersih dari kepentingan politik dan korupsi serta mendorong BPK melakukan audit investigatif dalam penggunaan anggaran Pemilu oleh KPU dan Bawaslu. (ANTARA FOTO/Reno Esnir) ()
"Sudah benar, pemerintah menarik dubes RI, dan pemerintah harus mengkaji ulang kerja sama dan bantuan-bantuan yang diberikan oleh Australia," kata pengamat politik Direktur LIMA Ray Rangkuti di Jakarta, Rabu.
Pemerintah Indonesia akhirnya memutuskan untuk menarik Dubes RI untuk kembali ke Indonesia. Tindakan ini dilakukan sebagai bentuk protes atas tindakan pemerintah Australia yang melakukan penyadapan terhadap telepon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan beberapa pejabat negara lainnya.
Menurut Ray, kejadian ini menunjukkan adanya sinyal yang kuat bahwa hal itu dilakukan melalui proyek-proyek bantuan dari Australia. Karena itu pemerintah Indonesia harus melakukan evaluasi terhadap semua proyek bantuan dari Australia.
"Jadi stop bantuan-bantuan dari Australia khususnya yang terkait pelaksanaan pemilu," kata Ray.
Sebelumnya terungkap adanya aktivitas penyadapan telepon terhadap Presiden SBY dan pejabat Indonesia lainnya oleh badan intelijen Australia DSD (kini berubah menjadi Australian Signal Directorate).
Atas kejadian tersebut pemerintah Indonesia akhirnya menarik Dubes RI di Australia sebagai bentuk protes atas tindakan penyadapan negeri kangguru tersebut.
Diberitakan, intelijen negeri Kangguru mencoba menguping pembicaraan telepon yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan istrinya serta beberapa menteri senior.
Dokumen rahasia yang dibocorkan oleh Edward Snowden dan diterima media penyiaran Australia Broadcasting Corporation serta harian The Guardian itu menyebutkan presiden dan sembilan orang terdekatnya sebagai target pengintipan.
Pengungkapan tersebut muncul saat hubungan bilateral dua negara tengah meruncing terkait tudingan mata-mata sebelumnya dan isu mengenai penanganan manusia perahu yang melewati Indonesia menuju Australia.
Dokumen-dokumen tersebut menunjukkan bahwa badan intelijen elektronik Australia, Defence Signal Directorate, melacak aktivitas telepon seluler Yudhoyono selama 15 hari pada Agustus 2009 saat Kevin Rudd dari Partai Buruh menjabat sebagai perdana menteri.
Dalam daftar target pengintipan tersebut juga terdapat nama Wakil Presiden Boediono yang pekan lalu berada di Australia, mantan wapres Yusuf Kalla, juru bicara bidang luar negeri, menteri bidang keamanan serta menteri komunikasi dan informasi.
ABC mengatakan salah satu dokumen itu berjudul "3G impact and update" yang memetakan upaya intelijen Australia untuk mengimbangi pertumbuhan teknologi 3G di Indonesia dan seluruh kawasan Asia Tenggara.
Terdapat sejumlah pilihan pemintasan dan direkomendasikan untuk memilih salah satu diantaranya untuk diaplikasikan kepada target --dalam hal ini pemimpin Indonesia, demikian dilaporkan ABC.
Pengungkapan terakhir dokumen Snowden tersebut muncul hanya beberapa minggu setelah adanya laporan yang mengklaim bahwa pos-pos diplomatik Australia di luar negeri, termasuk Jakarta, terlibat dalam jaringan luas pengintaian yang dipimpin AS, yang memantik reaksi kemarahan dari Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa.
Laporan ini kemudian disusul dengan laporan lain dari The Guardian awal bulan ini, bahwa Australia dan Amerika Serikat menjalankan operasi pengintaian bersama terhadap Indonesia saat digelarnya pertemuan iklim PBB di Bali pada 2007. (J004/KWR)
Pewarta: Jaka Suryo
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013