Jakarta (ANTARA News) - Setelah citra Mahkamah Konstitusi (MK) anjlok hingga ke titik terbawah akibat ulah hakim konsitusi Akil Mochtar maka kini sejumlah orang berusaha mengobrak-abrik kantor yang saat ini dipimpin Hamdan Zoelva gara-gara perebutan kursi gubernur-wakil gubernur di Provinsi Maluku.

Pada hari Kamis (14/11) puluhan orang merusak ruang perkantoran MK di Jakarta, padahal saat itu sedang berlangsung sidang yang membahas Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Maluku yang diikuti lima pasang calon gubernur- calon wakil gubernur.

Pada hari Kamis siang sekitar pukul 12.00 WIB itu, tiba-tiba puluhan orang mengamuk di ruang sidang utama MK. Dengan tindakan anarkis itu, mereka menjungkirbalikkan kursi-kursi, dan kemudian memecahkan kaca serta merusak beberapa mikrofon. Bahkan tanpa ragu-ragu para pelaku tindak kekerasan itu berusaha menyerang hakim, yang saat itu dipimpin Hamdan Zoelva yang merupakan Ketua MK.

Akibat tindakan anarkis itu, maka sidang terpaksa ditunda sekitar 1,5 jam dan baru kemudian para hakim konstitusi itu melanjutkan kembali sidang mereka. Para polisi dari Polda Metro Jaya memperkirakan para penyerang itu sekitar 25 orang yang terekam kamera cctv.

Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Rikwanto mengungkapkan bahwa para pelaku kerusuhan itu merupakan pendukung pasangan yang menggugat hasil pilkada. Mereka berulah karena tidak puas dengan keputusan MK yang menolak gugatan mereka.

Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Maluku masa bakti 2013-2018 itu diikuti lima pasang calon. Mereka itu adalah Abdullah Tuasikal-Hendrik Lewerrisa (nomor urut satu), kemudian Jacobus Puttileihalat-Arifin Tapi Oyihoe (nomor urut dua), Abdullah Vanath-Marthin Jonas Maspaitella (nomor urut tiga) , Herman Adrian Koedoeboen- M Daud Sangaji ( nomor empat), dan Said Assagaf-Zeth Sahuburua ( nomor urut lima)

Karena tidak ada yang berhasil meraih suara mayoritas maka diputuskan yang bakal maju pada putaran kedua adalah Abdullah Vanath-Marthin Jonas Maspaitella (nomor urut tiga) serta Said Assagaf-Zeth Sahuburua ( nomor urut lima). Keputusan ini tidak memuaskan pasangan yang gugur sehingga kemudian para pendukungnya mengobrak-abrik kantor MK.

Tindakan kekerasan ini langsung mengundang kecaman, kritik dari berbagai pihak mulai dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Komisi III DPR yang membidangi masalah hukum hingga hakim konstitusi sendiri.

Staf Khusus Presiden bidang Politik Daniel Sparinga menyatakan bahwa SBY sangat mengecam tindak kekerasan dan amuk massa itu di lembaga negara tersebut.

"Ketertiban di dalam sidang pengadilan mana pun harus segera dipulihkan," kata Daniel ketika mengutip sikap Presiden yang kemudian menyatakan bahwa Kepala Negara memerintahkan jajaran Polri untuk menjaga setiap sidang pengadilan.

Sementara itu, Ketua Komisi III DPR Pieter Zulkifli menegaskan amuk massa di MK itu mencerminkan belum pulihnya kepercayaan masyarakat terhadap MK terutama setelah dipecatnya Akil Mochtar yang diduga menerima suap dalam kasus pilkada di Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabuapten Leba, Banten.

Bahkan tidak kurang dari Wakil Ketua MK Arief Hidayat yang menyatakan tindakan kekerasan di kantornya itu mencerminkan tindakan penghinaan terhadap peradilan atau contempt of court.

Setelah lahirnya berbagai kecaman, caci maki atau hujatan para pelaku tindak kekerasan itu dari berbagai kalangan, maka pertanyaan mendasarnya adalah cukupkah jika hanya pelaku kekerasan yang ditindak keras berdasarkan hukum oleh jajaran Polri? Mengapa semua provokatornya juga tidak ditindak tegas?



Calon gubernur-cawagub

Sejak lahirnya era reformasi tahun 1998, maka kini pemilihan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, wali kota-wakil wali kota dilakukan secara langsung oleh rakyat sehingga tidak lagi oleh DPRD I dan DPRD II. Namun Kementerian Dalam negeri mengungkapkan bahwa sekitar 90 persen hasil pilkada itu diselesaikan melewati MK dan sudah sekitar 70 orang harus kehilangan nyawanya secara sia-sia.

Penyerangan terhadap Mahkamah Konstitusi ini baru yang pertama kalinya terjadi. Beberapa tahun lalu, ketika terjadi pemilihan gubernur di Provinsi Maluku Utara terjadi tindakan kekerasan seperti membakar rumah sejumlah tokoh di Ternate. ibu kota Maluku Utara.

Dengan memperhatikan atau merenungkan kasus penyerbuan di MK ini, maka pertanyaan yang patut direnungkan apakah para penyerang itu merupakan orang-orang paling bersalah di mata hukum?

Mungkin ada benarnya pendapat atau pandangan bahwa puluhan orang yang datang ke kantor MK dan kemudian bertindak rusuh itulah yang paling bersalah di mata hukum. Namun pertanyaannya adalah apakah orang-orang yang mendatangkan mereka juga termasuk pihak-pihak yang patut dipersalahkan atau tidak?

Namun peranan para calon gubernur dan bakal calon gubernur juga patut dipertanyakan. Kenapa para calon pejabat itu sampai harus mendatangkan orang- orang yang bisa dikatakan terbiasa berbuat kasar dan semaunya itu?Apakah ada manfaat atau gunanya mendatangkan orang-orang brutal itu? Orang-orang ini pasti bisa diduga bukan baru pertama kalinya terbiasa berbuat semaunya sendiri apalagi di kantor sebuah lembaga negara.

Karena itu, Kepolisian Republik Indonesia harus melakukan penyelidikan yang amat cermat tapi juga cepat untuk mengetahui ada tidaknya peranan negatif para calon gubernur dan calon wakil gubernur itu. Kalau misalnya Polri menemukan adanya bukti- bukti tentang keterlibatan para calon gubernur dan wakil gubernur itu sehingga akhirnya kantor MK diobrak-abrik maka tidak ada alasan bagi Polri untuk tidak bersikap tegas.

Sejak adanya pemilihan langsung pada semua pilkada, maka selalu digembar-gemborkan adanya sikap" siap menang dan juga siap kalah". Akan tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak pasangan yang kalah tidak ikhlas menerima kekalahan mereka.

Kalau kekalahan itu coba ditebus dengan mengajukan kasus ini ke MK tentu tidak ada masalah. Tapi begitu ada provokasi bagi terjadinya tindak kekerasan terhadap lawan politiknya atau bahkan terhadap hakim-hakim konstitusi di MK maka tentu harus ditempuh tindakan hukum yang tegas dan bahkan jika perlu yang keras.

Yang amat diperlukan adalah kearifan lokal yakni siap menerima kekalahan apalagi jika tujuan utama mereka adalah menjadi pejabat negara yang identik sebagai abdi masyarakat. Kalau tujuan menjadi gubernur, bupati dan wali kota hanyalah untuk mencari uang atau bahkan korupsi dalam rangka "balik modal" setelah mengeluarkan uang miliaran rupiah bagi masa kampanye, maka orang-orang semacam ini tidak pantas menjadi pejabat negara.

Rakyat amat mendambakan pejabat atau calon pejabat yang ikhlas mengabdikan diri mereka kepada masyarakat secara total dan bukannya sekedar menjadi pekerja biasa.