Indef minta pemerintah cermati urgensi skema power wheeling
10 April 2024 14:43 WIB
Kepala Center of Food, Energy and Sustainable Development di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov menyampaikan paparan di dalam diskusi publik bertajuk Mengurai Gagasan Cawapres mengenai Isu Keberlanjutan di Jakarta, Kamis (18/1/2024). ANTARA/Martha Herlinawati Simanjuntak.
Jakarta (ANTARA) - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov mengatakan pemerintah dan DPR perlu mencermati urgensi skema power wheeling dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) karena tidak jelas dan berisiko merugikan negara.
"Urgensi skema power wheeling yang masuk dalam pembahasan RUU EBET ini harus dijelaskan dan dicermati betul karena sangat berisiko berdampak buruk bagi negara,” katanya di Jakarta, Rabu.
Menurut Kepala Center of Food Energy and Sustainable Development Indef itu sampai saat ini, baik pemerintah maupun DPR sama sekali belum mengungkap secara gamblang alasan terkait dengan skema power wheeling.
"Pasal power wheeling ini seperti siluman, kadang muncul, kadang tenggelam. Pun tidak jelas rupa dan tujuannya. Untuk itu, kami akan mengawal kebijakan ini," kata Abra melalui keterangan tertulis.
Baca juga: SP PLN: "Power wheeling" bentuk liberalisasi pengelolaan listrik
Dikatakannya, power wheeling merupakan sistem yang sangat liberal dan berisiko mengancam kedaulatan ketenagalistrikan yang sudah diamanatkan dalam UUD 1945 harus dikuasai oleh negara.
Mahkamah Konstitusi (MK), tambahnya, sudah melegitimasi itu dengan membatalkan skema unbundling dalam UU Ketenagalistrikan.
Menurut dia, skema power wheeling merupakan mekanisme liberal yang dapat memudahkan transfer energi listrik dari pembangkit swasta ke fasilitas operasi milik negara secara langsung sehingga berisiko teknis dalam implementasinya karena EBET memiliki sifat intermiten yang berisiko mengganggu keandalan listrik negara.
Menurutnya, desakan untuk memasukkan power wheeling sebagai insentif ini juga tidak beralasan karena sesungguhnya pemerintah sudah menunjukkan arah kebijakan energi baru dan energi terbarukan secara jelas dalam RUPTL 2021-2030.
Dalam RUPTL, yang seringkali diklaim sebagai green RUPTL itu, sebetulnya sudah ada peningkatan porsi EBET yang signifikan, lanjutnya, bahkan ada tambahan EBET itu 20,9 gigawatt, di mana 56,3 persen nya itu adalah porsi swasta.
Baca juga: Penerapan "power wheeling" untuk EBT perlu skema bisnis yang adil
Dengan sudah ada porsi swasta pada roadmap tersebut, paparnya, sebetulnya sudah cukup menjadi keyakinan investor bahwa memang negara punya arah yang cukup jelas untuk mendorong bauran suplai listrik dari EBET.
Pada sisi suplai, tambahnya, sepertinya negara sudah membuka ruang yang cukup lebar terhadap peran swasta. Saat ini yang bermasalah justru sisi demand atau permintaan yang masih sangat kecil.
"Konsumsi listrik di Indonesia masih jauh jika dibandingkan dengan negara lain dalam ASEAN, bahkan belum mencapai separuh dari Vietnam yang mencapai sekitar 2.500 KwH per kapita. Sisi demand ini yang seharusnya penting untuk dibahas, bukan suplainya," kata Abra Talattov.
"Urgensi skema power wheeling yang masuk dalam pembahasan RUU EBET ini harus dijelaskan dan dicermati betul karena sangat berisiko berdampak buruk bagi negara,” katanya di Jakarta, Rabu.
Menurut Kepala Center of Food Energy and Sustainable Development Indef itu sampai saat ini, baik pemerintah maupun DPR sama sekali belum mengungkap secara gamblang alasan terkait dengan skema power wheeling.
"Pasal power wheeling ini seperti siluman, kadang muncul, kadang tenggelam. Pun tidak jelas rupa dan tujuannya. Untuk itu, kami akan mengawal kebijakan ini," kata Abra melalui keterangan tertulis.
Baca juga: SP PLN: "Power wheeling" bentuk liberalisasi pengelolaan listrik
Dikatakannya, power wheeling merupakan sistem yang sangat liberal dan berisiko mengancam kedaulatan ketenagalistrikan yang sudah diamanatkan dalam UUD 1945 harus dikuasai oleh negara.
Mahkamah Konstitusi (MK), tambahnya, sudah melegitimasi itu dengan membatalkan skema unbundling dalam UU Ketenagalistrikan.
Menurut dia, skema power wheeling merupakan mekanisme liberal yang dapat memudahkan transfer energi listrik dari pembangkit swasta ke fasilitas operasi milik negara secara langsung sehingga berisiko teknis dalam implementasinya karena EBET memiliki sifat intermiten yang berisiko mengganggu keandalan listrik negara.
Menurutnya, desakan untuk memasukkan power wheeling sebagai insentif ini juga tidak beralasan karena sesungguhnya pemerintah sudah menunjukkan arah kebijakan energi baru dan energi terbarukan secara jelas dalam RUPTL 2021-2030.
Dalam RUPTL, yang seringkali diklaim sebagai green RUPTL itu, sebetulnya sudah ada peningkatan porsi EBET yang signifikan, lanjutnya, bahkan ada tambahan EBET itu 20,9 gigawatt, di mana 56,3 persen nya itu adalah porsi swasta.
Baca juga: Penerapan "power wheeling" untuk EBT perlu skema bisnis yang adil
Dengan sudah ada porsi swasta pada roadmap tersebut, paparnya, sebetulnya sudah cukup menjadi keyakinan investor bahwa memang negara punya arah yang cukup jelas untuk mendorong bauran suplai listrik dari EBET.
Pada sisi suplai, tambahnya, sepertinya negara sudah membuka ruang yang cukup lebar terhadap peran swasta. Saat ini yang bermasalah justru sisi demand atau permintaan yang masih sangat kecil.
"Konsumsi listrik di Indonesia masih jauh jika dibandingkan dengan negara lain dalam ASEAN, bahkan belum mencapai separuh dari Vietnam yang mencapai sekitar 2.500 KwH per kapita. Sisi demand ini yang seharusnya penting untuk dibahas, bukan suplainya," kata Abra Talattov.
Pewarta: Subagyo
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2024
Tags: