Ambon (ANTARA) - Mudik atau pulang kampung telah menjadi ritual budaya tahunan bagi masyarakat Indonesia menjelang hari besar keagamaan, seperti Hari Raya Idul Fitri 2024/1445 Hijriah.

Mudik dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti pulang ke kampung halaman. Tapi, mudik ada yang menyebut dari akronim bahasa Jawa "mulih dhisik", artinya pulang sebentar dulu, atau "mulih dhilik" yang artinya pulang sebentar.

Mudik dilakukan masyarakat Indonesia sebagai wujud penghargaan kepada orang tua dan keluarga besar di kampung halaman. Mudik juga sebagai bentuk syukur atas anugerah kesehatan, keselamatan dan limpahan rezeki.

Oleh karena itu, untuk bisa mudik masyarakat menempuh perjalanan menggunakan berbagai macam moda transportasi agar bisa sampai ke kampung halaman, tergantung jarak, kondisi dan efisiensi waktu tempuh.

Sarana transportasi itu dapat berupa mobil, sepeda motor, pesawat terbang, kereta api hingga kapal laut. Masing-masing sarana transportasi tentu memberikan pengalaman yang berbeda-beda.

Mudik menggunakan moda transportasi kapal laut misalnya, memberikan pengalaman yang sangat berkesan dan suit untuk dilupakan.

Moda transportasi kapal laut sangat diminati oleh masyarakat dari dan ke wilayah Indonesia timur. Bagi masyarakat Indonesia timur mudik dengan kapal laut seolah menjadi pilihan terakhir, mengingat harga tiket pesawat terbang pada momen seperti ini cukup mahal.

Apalagi, wilayah Indonesia yang tersambung rapi oleh lautan luas membuat mudik dengan kapal laut selalu menjadi pilihan bagi sebagian besar masyarakat, tak terkecuali para pemudik dari Kota Ambon, Provinsi Maluku


Asupan makan cukup

Pada 4 April 2024 tepat pukul 21.00 WIT, tiga kali stomp KM Nggapulu milik PT Pelni berbunyi menandakan jangkar telah ditarik. Kapal siap memulai perjalanan membelah lautan Indonesia timur mengantar penumpang yang akan mudik.

KM Nggapulu mengangkut lebih dari 2.000 penumpang dari Pelabuhan Yos Sudarso Kota Ambon membelah lautan menuju Bau-bau, Makassar, Surabaya, dan Jakarta.

KM Nggapulu terlihat sesak dipenuhi ribuan penumpang berikut barang bawaanya. PT Pelni bersama pihak terkait memberikan kuota tiket nonseat atau tanpa tempat duduk bagi yang tetap ingin berlayar.

“Hal itu merupakan kebijakan dari Kementerian Perhubungan dan disesuaikan dengan kapasitas dan alat keselamatan kapal yang tersedia,” kata Kepala Operasi PT Pelni Cabang Ambon, Budiharto.

Apalagi, Dinas Perhubungan Provinsi Maluku mencatat terjadi peningkatan penumpang kapal laut pada musim mudik Lebaran dalam kurun waktu dua tahun terakhir.

Menurut Kadishub Maluku Muhammad Malawat, pada 2022 jumlah pemudik Lebaran menggunakan kapal laut sebanyak 7.354 orang, kemudian terjadi peningkatan sebesar 295 persen pada 2023 atau sebanyak 29.051 orang.

Terjadinya peningkatan pemudik menggunakan kapal laut di antaranya disebabkan tingginya harga tiket pesawat. Hal itu bisa dibuktikan dengan terjadi penurunan penumpang pesawat hingga 20,33 persen dalam waktu dua tahun terakhir.

Akibat adanya peningkatan jumlah pemudik kapal laut tersebut maka masyarakat yang mendapatkan tiket nonseat atau tanpa tempat duduk harus rela menanggalkan kenyamanannya.

Bermodalkan tikar yang terbuat dari kantong semen bekas, setiap sudut di KM Ngapulu menjadi tempat tidur nyaman yang disekat menggunakan koper dan tas bawaan penumpang.

Bahkan, dinding pintu toilet hingga anjungan kapal pun tak luput dipenuhi penumpang dengan tiket nonseat. “Yang penting bisa Idul Fitri dengan keluarga, dari pada harga tiket pesawat tiga kali lipat dari tiket kapal,” kata salah satu pemudik, Daffa Aulia.

Daffa merupakan satu dari sekian banyak penumpang KM Nggapulu rute Ambon-Jakarta. Daffa harus rela berlayar empat hari tiga malam untuk bisa mudik ke kampung halamannya.


Para penumpang Kapal Nggapulu memenuhi setiap sudut kapal (Antara/Dedy Azis)

Meski demikian, pihak Pelni memastikan para penumpang mendapatkan asupan makanan yang cukup. Setidaknya tiga kali sehari ditambah waktu sahur dan berbuka puasa.

Para petugas kapal akan mengumumkan kepada para penumpang untuk mengambil jatah makanan di pantry yang berada di deck empat. Makanan yang disediakan cukup layak dan mengenyangkan.

Namun begitu, mengingat penumpang yang banyak, maka antrean selalu mengular setiap hari. Butuh waktu sekitar tiga jam agar seluruh penumpang mendapatkan jatah makanan.


Interaksi penuh keakraban

Berhari-hari di atas kapal tanpa jaringan internet tak banyak yang bisa dilakukan para penumpang untuk mengisi waktu luang hingga sampai ke pelabuhan tujuan.

Pihak kapal memang menyediakan hiburan seperti bioskop mini yang diputar tiga kali sehari dengan tarif Rp20 ribu per tiketnya. Namun satu-satunya hiburan yang bisa dirasakan para penumpang tanpa merogoh kocek adalah deck tujuh.

Di lantai paling atas KM Nggapulu yang sedikit terbuka ini para penumpang dapat melihat langsung hamparan laut lepas sejauh mata memandang. Tak hanya itu, ada kafetaria yang menyediakan aneka makanan dan minuman yang bisa dinikmati pada meja yang telah disediakan.

Di deck tujuh, semua orang yang tidak saling mengenal dengan tujuan pelabuhan yang berbeda seolah menjadi teman lama yang hanyut dalam obrolan-obrolan lepas dan santai.

Mereka yang berasal dari latar belakang berbeda pun menjadi akrab satu sama lain. Obrolan selalu dimulai dengan pertanyaan ‘tujuan mana?’ hingga merambat membahas topik-topik lainnya.

Ada juga sekelompok penumpang yang melakukan konser dadakan untuk menghibur penumpang lainnya. Hal itu dilakukan hanya bermodalkan gitar lalu menyanyikan tembang pilihan dan membawa suasana malam hari terasa sendu. Paling tidak interaksi seperti itulah yang bisa dilakukan hingga sampai di pelabuhan tujuan.



Suasana Deck Tujuh Km Nggapulu di malam hari (Antara/Dedy Azis)

Ramadhan di tengah laut

Meskipun sedang berada dalam perjalanan jauh yang diperbolehkan untuk seseorang dapat membatalkan puasanya, sebagian besar penumpang tetap teguh menjalani puasa Ramadhan.

Berpuasa di tengah laut dengan gelombang tak menentu tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi mereka yang teguh menjalankan puasanya.

Pihak pengelola kapal memfasilitasi mushala yang cukup luas untuk menampung sekitar 100 jamaah. Mereka yang berpuasa justru banyak menghabiskan waktunya di mushala Ar-Rouf di KM Nggapulu itu.

Di dalam mushala banyak penumpang yang beritikaf untuk mendapatkan keutamaan 10 hari terakhir di bulan Ramadhan, yakni "Lailatulqodar" atau malam seribu bulan. Mereka tetap menjalankan ibadah-ibadah seperti shalat, membaca Al-Qu'ran, maupun mendengarkan tausiah.



Menanti waktu tiba

Salah satu pengumuman yang ditunggu para penumpang selain pengumuman mengambil jatah makan, yaitu pengumuman yang berbunyi ‘kapal akan sandar dalam waktu satu jam’. Seolah mendapatkan durian jatuh, raut wajah lelah para penumpang berubah sumringah.

Keinginan besar untuk merayakan Idul Fitri bersama keluarga akhirnya berada di depan mata. Berhari-hari berlayar dan bersesakan diatas kapal seolah langsung dilupakan begitu saja.

Para pria sibuk mengemasi barang-barangnya menggunakan kardus dan tali agar dapat dibawa turun dengan ringkas.

Sementara para wanita sibuk berias diri mengenakan pakaian terbaik. Merahnya gincu teroles rapi di bibir, kilauan perhiasan seperti kalung, cincin dan gelang siap menyambut waktu tiba.

Bahkan, saat kapal belum sandar pun pintu deck empat depan dan belakang sudah dipenuhi para penumpang berikut dengan barang-barang bawaan agar dapat lekas turun.

Saat pintu deck empat dibuka dan tangga kapal disandarkan, para penumpang tak bisa langsung melenggang turun. Mereka harus menghadapi riuh dan ramainya para buruh yang berlomba-lomba menawarkan jasanya untuk mengangkut barang milik penumpang.

Sembari berlari, para buruh menelisik masuk melalui koridor-koridor menuju deck-deck yang ada agar mendapatkan banyak barang yang bisa diangkut.

Terlepas dari hiruk pikuk mudik menggunakan kapal laut, setiap perjalanan memiliki ceritanya masing-masing. Sejauh seseorang mengadu nasib, bahkan hingga ke pelosok negeri, tradisi mudik mengingatkan bahwa akan selalu ada rumah untuk pulang bagi siapa saja.