Padahal, kata dia, dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 473 ditentukan nama sengketa itu sebagai Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Apabila berupa hasil, maka yang diperkarakan pemohon kepada termohon adalah perolehan suara hasil pemilu secara nasional.
“Sampai dengan pemeriksaan terakhir hari ini, tidak sama sekali soal suara saya di TPS ini seharusnya sekian, tapi ditulis KPU sekian, tidak ada,” kata Hasyim usai sidang lanjutan perkara PHPU Pilpres di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat.
Ia juga menegaskan bahwa dalam Pasal 6A UUD 1945 telah didalilkan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk ditentukan menjadi pemenang harus memperoleh suara lebih dari 50 persen jumlah suara sah nasional dan persebaran menangnya lebih dari sejumlah provinsi di Indonesia dengan perolehan 20 persen suara.
Dengan demikian, penentu terpilihnya para calon berdasarkan perolehan suara. Ia pun mempertanyakan mengapa pemohon tidak mengajukan dalil tentang selisih perolehan suara yang mana seharusnya menjadi gugatan utama dalam PHPU.
Hasyim menilai, Hakim Konstitusi lebih mempertimbangkan fakta yang diajukan di dalam persidangan dibandingkan dengan keterangan dari luar persidangan.
Untuk itu, lanjutnya, KPU menyerahkan sejumlah alat bukti yang berkaitan dengan perolehan suara di dalam persidangan, di antaranya adalah formulir D Hasil di tingkat kecamatan dan tingkat kabupaten.
Pihaknya juga memberikan keterangan terkait ada atau tidaknya selisih suara di dalam formulir tersebut, ada keterangan keberatan atau tidak, dan juga tanda tangan saksi. Hasyim menegaskan, itu adalah cara KPU untuk berbicara di dalam persidangan.
“Kami yakin pasti Hakim MK pasti mempertimbangkan apa yang didalilkan dan apa yang dibuktikan oleh masing-masing pihak, termasuk apa yang dijawab oleh KPU sebagai pihak termohon dan bukti apa yang diajukan oleh pihak KPU,” pungkasnya.
Baca juga: Ahli dari KPU sebut belum cukup bukti untuk lakukan audit forensik