Jakarta (ANTARA News) - Ada satu hal yang mengusik ANTARA News sewaktu hampir sebulan di Belanda guna mengikuti kursus pada Radio Netherlands Training Centre (RNTC) pertengahan 2011 silam, "mengapa corak semua rumah di negeri itu mirip satu sama lain".

Jeroen Westerbeek, warga kota Utrecht yang menjadi instruktur RNTC, menjawab, "karena kalau Anda membuatnya berbeda dari ketentuan, Anda akan dikenai denda 1.000 euro (Rp15,2 juta)."

Tony Wilkinson, juga dari RNTC, menerangkan lebih jauh bahwa denda dikenakan karena seseorang telah "merusak pemandangan".

Bahkan di salah satu negeri paling liberal di dunia dan amat mengagungkan individualime seperti Belanda saja, kebebasan dibungkus kuat-kuat oleh aturan, sampai eksterior rumah pun diatur.

"Belanda itu negara penuh aturan. Apa apa denda. Salah parkir didenda, menyalahi ketentuan kecepatan berkendara didenda. Bikin taman cuma berapa meter saja harus lapor walikota," kata Prita Riadhini, orang Indonesia yang tinggal di Weesp, Belanda, sejak 13 tahun lalu, dalam perbincangan online dengan ANTARA News belum lama ini.

Denda dikenakan untuk mengendalikan warga negara agar tak seenaknya merampas hak orang lain, sedangkan regulasi dipahami sebagai unsur pemaksa untuk hadirnya sikap bertanggungjawab warga negara kepada warga negara lainnya dan lingkungannya.

Logikanya begini, "Anda ingin diri Anda nyaman, maka hormatilah hak orang lain dengan menyamankan lingkungan sekitar Anda dan orang lain itu".

Lebih dari setahun kemudian, 11.350 km dari Belanda, di bawah kepemimpinan Gubernur DKI Joko Widodo dan Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama yang biasa disebut duet Jokowi-Ahok, Jakarta juga berusaha menegakkan aturan.

Tak menunggu studi banding ke kota-kota paling menarik di dunia, Jokowi-Ahok meyakini bahwa kunci menciptakan ketertiban dan kenyamanan adalah "menempatkan sesuatu pada tempatnya". Taman ya untuk taman, begitu juga trotoar dan banyak lagi.

Mereka anteng mengenali akar masalah wilayah yang dipimpinnya tapi dengan cara ini mereka mengharmonikan rancangan dan kajian dengan keadaan lapangan, termasuk saat menyentil mobil murah.

"Saya tahu karena kita ini orang lapangan," kata Jokowi ketika menyebut prakarsa mobil murah hanya memperpelik kemacetan karena jalanan bisa kian padat oleh kendaraan.

Tentu saja, mereka yang tak pernah merasakan bagaimana stresnya dikepung kemacetan atau melulu mengejar pertumbuhan angka ekonomi semata, tak memasalahkannya. Mereka ini yang lalu berkata, "jangan halangi orang untuk membeli mobil."

Benar, Jokowi tak punya hak menghalangi siapa pun untuk memiliki apa pun, tetapi sebagai Gubernur DKI Jakarta di mana kemacetan menjadi masalah utama kota, dia wajib memastikan Jakarta tak macet.

Lagi pula itu berkaitan dengan komitmen pemimpin yang bertanggungjawab pada janji yang telah disampaikannya kepada rakyat selama kampanye.

Bukankah rakyat menyenangi pemimpin yang tak ingkar janji? Presiden AS Barack Obama saja mati-matian mewujudkan janjinya, salah satunya memberikan "jaminan kesehatan untuk semua warga negara", kendati dihadang lawan politiknya dengan amat ekstrem hingga operasi layanan pemerintahan pun sempat berhenti.

Pemimpin berani

Logika Jokowi-Ahok sederhana, yaitu ketika sudah menyentuh kepentingan, ketertiban dan kenyamanan umum, maka kepemilikan pribadi harus tunduk pada aturan.

Anda boleh memiliki apa saja atau melakukan apa saja, tapi begitu semua itu menyinggung kepentingan umum, maka Anda tak bisa lagi mengklaim hak Anda seorang.

Dari perspektif itu, kebijakan-kebijakan tanpa kompromi seperti "cabut pentil kendaraan bermotor", bisa dipahami.

Dia memilih itu karena masyarakat telah lama dibutakan oleh sistem penegakan hukum yang sangat permisif pada kesalahan dan koruptif sehingga masyarakat terbiasa menginvasi ruang publik.

Memang, di negeri yang amat sinis pada individualisme ini, banyak warganya yang malah amat egoistis dan gemar memanipulasi kerbatasan dirinya seperti terlukis dalam kalimat "manusia tak luput dari berbuat salah" sebagai pemakluman atas prilaku buruk melanggar aturan, menipu, mencuri, bahkan menyalahgunakan wewenang dan korupsi.

Di sisi lain, orang-orang yang berwenang acap rikuh menegakkan aturan karena tak kuasa melawan rayuan pemburu marjin atau memang sengaja mengail untung dari kekacauan sistem.

Sebaliknya, langkah Jokowi-Ahok bisa dipandang sebagai upaya menegakkan aturan yang lumrah dilakukan pemimpin yang bertekad kuat menertibkan masyarakatnya, seperti misalnya dilakukan bapak bangsa Singapura, Lee Kuan Yew.

Wartawan kawakan Tom Plate dalam bukunya "Confessions of an American Media Man" melukiskan Lee sebagai pemimpin keras hati yang sukses mengubah sarang bandit menjadi kota makmur nan nyaman seperti dikenal sekarang.

Lee berpikir, kenyamanan berkaitan dengan tertib dan tertib berkaitan dengan penegakan aturan.

Dengan kemauan kuat dan perspektif itu Lee Kuan Yew sukses mengubah ketidaknyamanan menjadi kenyamanan.

Jokowi mungkin bertekad serupa, setidaknya terlihat dari kemauan kerasnya menertibkan pasar Tanah Abang, meluruskan peruntukan trotoar dan taman, mengenakan denda maksimum kepada penerobos jalur Busway, dan banyak lagi.

Bersama Ahok, dia sadar, jika kepatuhan hukum tidak ada, maka ketertiban dan kenyamanan tidak akan hadir.

"Negara ini akan rusak kalau dilanggar terus," kata Ahok kepada sebuah televisi nasional beberapa waktu lalu.

Kemauan keras itu pula yang menjadi salah satu faktor berlanjutnya pembangunan monorel.

"Jokowi memiliki kehendak kuat untuk melakukan ini," puji mantan Gubernur DKI Sutiyoso saat menghadiri peresmian groundbreaking monorel 16 Oktober lalu.

Tak hanya berkemauan kuat, Jokowi-Ahok juga berani mengoreksi kesalahan dan siap menghadapi risiko, selain meneladankan masyarakatnya tentang bekerja dan bergerak.

Perubahan dalam masyarakat memang kerap bermula dari pemimpin-pemimpin berani dan bersedia mengambil risiko seperti itu.

"Kemajuan dicapai ketika pemimpin berani dan terampil masuk mengisi peluang untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik," kata mantan Presiden AS Harry Truman.