Jakarta (ANTARA) - Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis menyebut persoalan pelanggaran administratif pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) tetap menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK).

“Kami tetap melihat persoalan TSM itu merupakan bagian dari kewenangan MK. Kalau kita membaca Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, kita mesti kembali ke sana sebagai hukum dasar kita,” ucap Todung saat konferensi pers di Gedung I MK RI, Jakarta, Kamis.

Selain itu, Todung mengatakan narasi yang dikemukakan oleh kubu Prabowo-Gibran bahwa MK hanya berwenang menangani persoalan penghitungan suara adalah argumentasi yang sempit. Ia menolak argumentasi tersebut.

“Kami menolak, ya, argumentasi itu. Kenapa? Karena proses pilpres, pemilu itu tidak bisa dipisahkan dari proses pra-pencoblosan, pencoblosan, dan pasca-pencoblosan.

Oleh sebab itu, kubu Ganjar-Mahfud meminta MK melihat Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 ini secara holistik atau menyeluruh.

Sebelumnya, ahli yang dihadirkan oleh Prabowo-Gibran menyebut TSM bukan kewenangan MK. Pakar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Abdul Chair Ramadhan mengatakan perkara TSM semestinya diadili oleh Bawaslu.

Menurutnya, MK hanya berwenang mengadili keberatan terhadap hasil penghitungan suara, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemilu. “Tegasnya, selain penghitungan suara adalah bukan menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi,” kata Abdul dalam pemaparannya.

Dia mengutip Pasal 475 ayat (2) Undang-Undang Pemilu bahwa “Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya terhadap hasil penghitungan suara yang memengaruhi penentuan terpilihnya pasangan calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”.

Menurut Abdul, frasa hanya terhadap hasil penghitungan suara bermakna pembatasan kewenangan MK dalam mengadili sengketa pilpres. Di sisi lain, imbuh dia, terdapat dalil bahwa ketentuan hukum harus dilaksanakan berdasarkan susunan kalimatnya.

“Di sini tidak ada peluang untuk memperluas atau menafsirkan lain kewenangan MK tersebut. Dengan kata lain, tidak boleh ada rechtsvinding (penemuan hukum),” tutur dia.