Ketua Komisi II DPR: Penetapan penjabat kepala daerah sesuai UU
4 April 2024 17:43 WIB
Tangkapan layar - Saksi yang dihadirkan Tim Pembela Prabowo-Gibran, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung, berbicara dalam sidang lanjutan perkara PHPU Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (4/4/2024). ANTARA/Nadia Putri Rahmani
Jakarta (ANTARA) - Saksi yang dihadirkan Tim Pembela Prabowo-Gibran, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung, menegaskan bahwa pelaksanaan penetapan penjabat kepala daerah sesuai dengan perintah dalam undang-undang.
“Pelaksanaan penetapan penjabat kepala daerah adalah sesuai dengan perintah undang-undang, khususnya Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016,” kata Doli dalam sidang lanjutan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis.
Pernyataan Doli tersebut untuk membantah adanya dugaan bahwa pengangkatan penjabat kepala daerah dipenuhi unsur politisasi jelang Pemilu 2024.
Ia menjelaskan, penetapan kebijakan tersebut berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2016 yang menyebutkan bahwa setelah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Tahun 2020, tidak akan lagi Pilkada sampai pada bulan November 2024.
Konsekuensinya, lanjut dia, terjadi kekosongan kepala daerah karena sesuai ketentuan undang-undang, hasil Pilkada tahun 2017 berakhir pada tahun 2022 dan hasil Pilkada tahun 2018 berakhir pada tahun 2023.
Kemudian, untuk melangsungkan jalannya pemerintah daerah, maka harus ada penunjukan penjabat kepala daerah.
Ia menyebut bahwa di tahun 2022 terdapat 100 kepala daerah yang habis masa jabatannya. Sedangkan pada 2023, terdapat 170 kepala daerah yang habis masa jabatannya.
“Di dalam UUD 1945 juga disebutkan bahwa pemerintah adalah pelaksana undang-undang, jadi pemerintah memang harus melaksanakan penetapan penjabat kepala daerah itu sesuai dengan amanat UU Nomor 10 Tahun 2016,” ujarnya.
Pada pertengahan tahun 2022, Doli mengatakan bahwa Komisi II DPR menerima aspirasi dari kelompok masyarakat sipil yang meminta agar ada peraturan lebih teknis yang mengatur agar penetapan penjabat kepala daerah dilakukan secara demokratis.
“Kami menerimanya waktu itu dan kami juga sampaikan kepada pemerintah melalui mitra kami di Komisi II, Menteri Dalam Negeri, dan kemudian mereka juga mengajukannya ke Mahkamah Konstitusi,” ucapnya.
Hasilnya, lanjut dia, terbitlah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PPU-X/2022 tentang penjabat kepala daerah. Putusan tersebut oleh Menteri Dalam Negeri dirumuskan sebagai bentuk Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2023.
Ia juga menegaskan bahwa Komisi II DPR selalu mengingatkan agar proses penetapan penjabat kepala daerah dilaksanakan dengan objektif.
“Setiap ada rapat kerja di Komisi II dengan Mendagri, seluruh anggota dari berbagai fraksi selalu mengingatkan agar proses penetapan penjabat kepala daerah ini harus betul-betul objektif dan bebas dari kepentingan politik,” pungkasnya.
Tim Pembela Prabowo-Gibran selaku Pihak Terkait dalam sidang perkara PHPU Pilpres menghadirkan delapan ahli dan enam saksi.
Ahli yang dihadirkan adalah Guru Besar Ilmu Konstitusi Universitas Pakuan Andi Muhammad Asrun, Pakar Hukum Abdul Khair Ramadhan, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Aminuddin Ilmar, Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis.
Kemudian adalah Dekan Fakultas Manajemen Pemerintahan IPDN Khalilul Khairi, Guru Besar Hukum Pidana UGM dan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej, Pendiri Lembaga Survei Cyrus Network Hasan Hasbi, Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari.
Sedangkan saksi yang dihadirkan adalah Gani Muhammad, Andi Bataralifu, Ahmad Doli Kurnia Tandjung, Suprianto, Abdul Wahid, Ace Hasan Syadzily.
“Pelaksanaan penetapan penjabat kepala daerah adalah sesuai dengan perintah undang-undang, khususnya Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016,” kata Doli dalam sidang lanjutan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis.
Pernyataan Doli tersebut untuk membantah adanya dugaan bahwa pengangkatan penjabat kepala daerah dipenuhi unsur politisasi jelang Pemilu 2024.
Ia menjelaskan, penetapan kebijakan tersebut berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2016 yang menyebutkan bahwa setelah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Tahun 2020, tidak akan lagi Pilkada sampai pada bulan November 2024.
Konsekuensinya, lanjut dia, terjadi kekosongan kepala daerah karena sesuai ketentuan undang-undang, hasil Pilkada tahun 2017 berakhir pada tahun 2022 dan hasil Pilkada tahun 2018 berakhir pada tahun 2023.
Kemudian, untuk melangsungkan jalannya pemerintah daerah, maka harus ada penunjukan penjabat kepala daerah.
Ia menyebut bahwa di tahun 2022 terdapat 100 kepala daerah yang habis masa jabatannya. Sedangkan pada 2023, terdapat 170 kepala daerah yang habis masa jabatannya.
“Di dalam UUD 1945 juga disebutkan bahwa pemerintah adalah pelaksana undang-undang, jadi pemerintah memang harus melaksanakan penetapan penjabat kepala daerah itu sesuai dengan amanat UU Nomor 10 Tahun 2016,” ujarnya.
Pada pertengahan tahun 2022, Doli mengatakan bahwa Komisi II DPR menerima aspirasi dari kelompok masyarakat sipil yang meminta agar ada peraturan lebih teknis yang mengatur agar penetapan penjabat kepala daerah dilakukan secara demokratis.
“Kami menerimanya waktu itu dan kami juga sampaikan kepada pemerintah melalui mitra kami di Komisi II, Menteri Dalam Negeri, dan kemudian mereka juga mengajukannya ke Mahkamah Konstitusi,” ucapnya.
Hasilnya, lanjut dia, terbitlah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PPU-X/2022 tentang penjabat kepala daerah. Putusan tersebut oleh Menteri Dalam Negeri dirumuskan sebagai bentuk Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2023.
Ia juga menegaskan bahwa Komisi II DPR selalu mengingatkan agar proses penetapan penjabat kepala daerah dilaksanakan dengan objektif.
“Setiap ada rapat kerja di Komisi II dengan Mendagri, seluruh anggota dari berbagai fraksi selalu mengingatkan agar proses penetapan penjabat kepala daerah ini harus betul-betul objektif dan bebas dari kepentingan politik,” pungkasnya.
Tim Pembela Prabowo-Gibran selaku Pihak Terkait dalam sidang perkara PHPU Pilpres menghadirkan delapan ahli dan enam saksi.
Ahli yang dihadirkan adalah Guru Besar Ilmu Konstitusi Universitas Pakuan Andi Muhammad Asrun, Pakar Hukum Abdul Khair Ramadhan, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Aminuddin Ilmar, Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis.
Kemudian adalah Dekan Fakultas Manajemen Pemerintahan IPDN Khalilul Khairi, Guru Besar Hukum Pidana UGM dan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej, Pendiri Lembaga Survei Cyrus Network Hasan Hasbi, Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari.
Sedangkan saksi yang dihadirkan adalah Gani Muhammad, Andi Bataralifu, Ahmad Doli Kurnia Tandjung, Suprianto, Abdul Wahid, Ace Hasan Syadzily.
Pewarta: Nadia Putri Rahmani
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2024
Tags: