Jakarta (ANTARA News) - Jumat siang itu, dua hari sebelum Hari Pahlawan, Wimo Sumanto sibuk melekatkan lencana-lencana tanda kepahlawanan seperti patra (bintang pahlawan gerilya) dan sekitar lima medali tugas pada jas berwarna biru tua di teras rumahnya.

Veteran Indonesia dari Tentara Pelajar Brigade 17 ini tengah bersiap memperingati Hari Pahlawan 10 November. Dia berencana mengikuti upacara di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

"Tidak pernah saya absen upacara," kata Wimo yang biasa disaa Mbah Mo ini.

Mbah Mo tak berada di Surabaya saat Pertempuran 10 November terjadi. Saat itu, ia sedang berada di Magelang bersama sekitar 640 orang atau dua kompi pasukan tentara pelajar dari Sekolah Menengah Pertama (SMP). Tentara pelajar ini adalah gabungan dari pelajar SMP seluruh Indonesia untuk dilatih berperang di Magelang, kata Wimo.

Wimo mengetahui Pertempuran 10 November dari siaran radio. Dia dan rekan-rekannya mengikuti dengan saksama pertempuran akbar itu. "

Wumo masih mengingatr pekikan Bung Tomo yang membakar semangat para pejuang untuk mengusir penjajah. Suara Bung Tomo itulah yang juga membakar semangat pejuang muda lainnya, termasuk para tentara pelajar di Magelang.

Pria berusia 87 tahun itu mengenang Pertempuran 10 November sebagai palagan dahyat. Merdeka atau mati adalah prinsip yang dipegang pejuang saat itu, katanya.

Saking dahsyatnya, pertempuran ini merenggut nyawa komandan pasukan Sekutu Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby. “Panglimanya tentara sekutu itu enggak tewas dalam perang dunia II, tapi di Surabaya (malah) tewas," ujarnya.

Sepeninggal Jepang yang kalah pada Perang Dunia II, pasukan sekutu pimpinan Inggris memasuki Indonesia. "Tentara sekutu itu berniat kembali menjajah Indonesia. Mereka berniat menguasai Jawa dulu untuk menguasai Indonesia," kata Wimo.

Wimo mengenang Pertempuran 10 November itu sebagai barometer perjuangan seluruh Indonesia. "Dengan peristiwa 10 November, pemuda Indonesia bergerak maju perang menuju kemerdekaan Indonesia," katanya.

Setelah Pertempuran 10 November, dua kompi tentara pelajar Brigade 17 di Magelang bersiap menghadapi kemungkinan pertempuran berikutnya.

"Kita menghimpun diri dengan menamakan tentara pelajar untuk berjuang melawan tentara sekutu, " kata Wimo.

Wimo masih ingat saat ia dan rekannya sesama tentara pelajar harus menghadapi korps Baret Merah tentara KNIL Belanda pada 1949 saat baik tentara pelajar maupun Baret Merah sama-sama berpatroli di desa Rejodani, 8 km dari kota Yogyakarta. Pertempuran tak bisa dihindari.

"Pertempurannya di areal terbuka, areal sawah. Kita hanya dua regu sedangkan dari Belanda satu pleton. Kita hanya setengah dari jumlah tentara Baret Merah," ujar Wimo.

Pertempuran ini menewaskan 21 orang tentara baret merah Belanda, dan 8 orang tentara pelajar. "Padahal mereka itu menang dari segi kemampuan, senjata dan jumlah. Mereka itu menguasai ilmu militer," kenang Wimo. Sebaliknya, tentara pelajar hanya menggunakan senjata alakadarnya.

"Kita sudah sumpah pada waktu perang itu, tidak akan mundur. Merdeka atau mati. Juga karena terinspirasi oleh pertempuran palagan dahsyat 10 November itu, " katanya.