Telaah
Negara yang mencibir Indonesia ternyata juga ingin naturalisasi
Oleh Jafar M Sidik
2 April 2024 16:12 WIB
Pesepak bola Cyrus Margono mencium bendera merah putih usai pembacaan sumpah menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) di Kantor Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta, Cawang, Jakarta, Kamis (21/3/2024). Atlet yang bermain di klub Divisi 2 Liga Super Yunani, Panathinaikos B sebagai penjaga gawang tersebut resmi menjadi WNI. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/nym.
Jakarta (ANTARA) - Vietnam dan Thailand pernah mencibir langkah Indonesia ketika merekrut pemain naturalisasi untuk memperkuat skuad tim nasional sepak bolanya.
Tapi kini terungkap negara-negara itu ternyata juga menginginkan pemain naturalisasi, terlebih setelah melihat formula ini efektif mendongkrak kualitas Timnas Indonesia.
Vietnam dan Thailand kemudian mengaku terbentur aturan hukum nasionalnya yang tak bisa bebas mewujudkan program naturalisasi.
Ironisnya, sejumlah kalangan di Thailand, termasuk pemerhati olahraga di negeri itu, sudah mempertimbangkan hal yang kini dilakukan Indonesia itu saat mereka gagal melaju ke babak berikutnya selama kualifikasi Piala Dunia 2022.
Kini, dalam kualifikasi Piala Dunia 2026, Thailand kemungkinan bernasib sama seperti 2 tahun sebelumnya, terlempar dari persaingan sampai hanya babak kedua kualifikasi Piala Dunia.
Itu karena mereka harus bersaing keras dengan China yang skuadnya juga diperkuat pemain naturalisasi, untuk menjadi pendamping Korea Selatan yang kemungkinan besar menjadi juara Grup C kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia.
Jika melihat berbagai laporan media Thailand 2 tahun lalu, negara itu sudah ingin merekrut pemain naturalisasi jauh sebelum kualifikasi Piala Dunia 2026, tapi terbentur rezim kewarganegaraan yang rumit yang mereka anut.
Contoh kerumitan itu terjadi pada Azuki Iwatani beberapa tahun lalu. Karateka putri ini besar dan lahir di Thailand, tapi dia memiliki orang tua berkewarganegaraan Jepang.
Sekalipun pemangku kebijakan olahraga di Thailand sangat ingin mengubah status kewarganegaraan Iwatani menjadi warga Thailand, karateka putri ini ditolak menjadi warga negara Thailand.
Undang-undang di negara itu menerapkan syarat ketat dan proses yang panjang sebelum seseorang bisa dinaturalisasi sehingga banyak yang urung berganti menjadi warga negara Thailand.
Situasi sama sulit dan pelik dihadapi oleh para pemangku kepentingan dan pengelola olahraga di Vietnam, yang juga memiliki rezim kewarganegaraan yang rumit dan kaku.
Formula tingkatkan kualitas
Vietnam sulit melakukan apa yang tengah dan sudah dilakukan Indonesia, walau sebenarnya melihat program naturalisasi sebagai faktor yang bisa mendongkrak kualitas tim olahraga mereka.
Keinginan itu mungkin kian membuncah karena baik Vietnam maupun Thailand terlihat terintimidasi oleh fakta terus meningkatnya kualitas timnas sepak bola Indonesia.
Grafik itu bisa mereka lihat dengan mata telanjang dari bagaimana Indonesia melalui kualifikasi Piala Dunia 2026 dan Piala Asia 2023 beberapa waktu lalu.
Yang membuat mereka makin terganggu adalah peringkat FIFA yang ditempati Indonesia, terus meningkat, yang tegak lurus dengan beberapa pencapaian positif timnas belakangan ini.
Thailand dan Vietnam juga tak bisa memungkiri fakta bahwa Garuda kini memiliki prospek lebih baik ketimbang mereka dalam meretas jalan ke putaran final Piala Dunia FIFA.
Bukan hanya Vietnam dan Thailand yang was-was, Malaysia juga begitu. Bahkan peringkat FIFA negara inilah yang kemungkinan disalip lebih dulu oleh Indonesia.
Sementara itu, beberapa negara Asia Tenggara berusaha realistis, dengan mempertimbangkan langkah yang sudah ditempuh Indonesia dalam melibatkan atlet naturalisasi. Salah satu yang tampaknya ingin mengadopsi program naturalisasi adalah Singapura.
Bahkan Singapura sudah mencetuskannya tahun lalu ketika pada Mei 2023, Presiden Federasi Sepak Bola Singapura, Bernard Tan, meminta negaranya mempertimbangkan atlet naturalisasi demi meningkatkan kualitas timnas mereka.
Seperti para penggemar sepak bola di Singapura, Bernard Tan mungkin sudah jenuh menanti hadirnya timnas yang berbicara banyak dalam ajang-ajang internasional.
Keinginan Bernard Tan dalam merekrut pemain naturalisasi mungkin kian menggebu-gebu saat ini ketika Singapura di ambang terlempar dari babak kedua kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia.
Singapura baru mengumpulkan satu poin setelah satu kali seri dan tiga kali kalah dari empat pertandingan.
Tak sporadis
Namun, negara-negara itu mungkin tak tahu bahwa proses naturalisasi atlet di Indonesia ditempuh melalui proses panjang yang bahkan sekarang dibarengi pula dengan syarat lain bahwa calon-calon pemain naturalisasi harus memiliki darah Indonesia.
Belanda adalah salah satu negara yang memiliki populasi keturunan Indonesia yang besar. Tak heran kebanyakan pemain naturalisasi Indonesia berasal dari negara itu yang memiliki iklim sepak bola yang bagus.
Bandingkan dengan yang dilakukan negara-negara seperti China yang pernah menaturalisasi banyak pemain Brazil, yang secara etnik dan sosio-kultural tak ada hubungannya dengan China.
Bahkan dalam cabang-cabang seperti bola basket, China berani menaturalisasi atlet-atlet bintang yang tak sedikit pun memiliki akar China, salah satunya forward Minnesota Timberwolves, Kyle Anderson, dari liga basket profesional NBA di Amerika Serikat.
Mantan gelandang Arsenal dan Brentford, Nico Yennaris, yang lahir dan besar di Inggris serta sama sekali tak berdarah China, menjadi pesepak bola naturalisasi pertama yang dipanggil masuk Timnas China pada 2019.
Indonesia nyaris tak melakukan hal sejauh seperti dilakukan China, apalagi melakukan hal yang sudah ditempuh Kamboja pada SEA Games 2023.
Dalam SEA Games edisi tahun lalu itu, Kamboja menempuh langkah kontroversial dengan menurunkan atlet-atlet naturalisasi pada banyak cabang olahraga, mulai basket sampai atletik.
Asal atlet-atlet naturalisasi ini pun beragam, ada yang asli Korea Selatan, Hong Kong, Pakistan, India, China, tapi juga ada beberapa atlet berdarah campuran Kamboja-Amerika.
Naturalisasi yang dilakukan Indonesia tidak sporadis seperti dilakukan Kamboja itu.
Bukan hanya tak mau asal naturalisasi, tapi juga melakukannya secara terbatas di sejumlah kecil cabang olahraga, di antaranya sepak bola, yang itu pun merupakan program jangka pendek, seperti sudah ditandaskan Wakil Ketua Umum PSSI Zainudin Amali beberapa waktu lalu.
Pelatih Shin Tae-yong sendiri menerapkan kriteria dasar bahwa pesepak bola yang boleh dinaturalisasi untuk memperkuat timnas harus memiliki darah Indonesia atau memiliki leluhur orang Indonesia.
Dengan kata lain, naturalisasi yang ditempuh Indonesia tak hanya ditujukan untuk meningkatkan kualitas tim olahraga, tapi juga dengan mempertimbangkan identitas keindonesiaan.
Tapi kini terungkap negara-negara itu ternyata juga menginginkan pemain naturalisasi, terlebih setelah melihat formula ini efektif mendongkrak kualitas Timnas Indonesia.
Vietnam dan Thailand kemudian mengaku terbentur aturan hukum nasionalnya yang tak bisa bebas mewujudkan program naturalisasi.
Ironisnya, sejumlah kalangan di Thailand, termasuk pemerhati olahraga di negeri itu, sudah mempertimbangkan hal yang kini dilakukan Indonesia itu saat mereka gagal melaju ke babak berikutnya selama kualifikasi Piala Dunia 2022.
Kini, dalam kualifikasi Piala Dunia 2026, Thailand kemungkinan bernasib sama seperti 2 tahun sebelumnya, terlempar dari persaingan sampai hanya babak kedua kualifikasi Piala Dunia.
Itu karena mereka harus bersaing keras dengan China yang skuadnya juga diperkuat pemain naturalisasi, untuk menjadi pendamping Korea Selatan yang kemungkinan besar menjadi juara Grup C kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia.
Jika melihat berbagai laporan media Thailand 2 tahun lalu, negara itu sudah ingin merekrut pemain naturalisasi jauh sebelum kualifikasi Piala Dunia 2026, tapi terbentur rezim kewarganegaraan yang rumit yang mereka anut.
Contoh kerumitan itu terjadi pada Azuki Iwatani beberapa tahun lalu. Karateka putri ini besar dan lahir di Thailand, tapi dia memiliki orang tua berkewarganegaraan Jepang.
Sekalipun pemangku kebijakan olahraga di Thailand sangat ingin mengubah status kewarganegaraan Iwatani menjadi warga Thailand, karateka putri ini ditolak menjadi warga negara Thailand.
Undang-undang di negara itu menerapkan syarat ketat dan proses yang panjang sebelum seseorang bisa dinaturalisasi sehingga banyak yang urung berganti menjadi warga negara Thailand.
Situasi sama sulit dan pelik dihadapi oleh para pemangku kepentingan dan pengelola olahraga di Vietnam, yang juga memiliki rezim kewarganegaraan yang rumit dan kaku.
Formula tingkatkan kualitas
Vietnam sulit melakukan apa yang tengah dan sudah dilakukan Indonesia, walau sebenarnya melihat program naturalisasi sebagai faktor yang bisa mendongkrak kualitas tim olahraga mereka.
Keinginan itu mungkin kian membuncah karena baik Vietnam maupun Thailand terlihat terintimidasi oleh fakta terus meningkatnya kualitas timnas sepak bola Indonesia.
Grafik itu bisa mereka lihat dengan mata telanjang dari bagaimana Indonesia melalui kualifikasi Piala Dunia 2026 dan Piala Asia 2023 beberapa waktu lalu.
Yang membuat mereka makin terganggu adalah peringkat FIFA yang ditempati Indonesia, terus meningkat, yang tegak lurus dengan beberapa pencapaian positif timnas belakangan ini.
Thailand dan Vietnam juga tak bisa memungkiri fakta bahwa Garuda kini memiliki prospek lebih baik ketimbang mereka dalam meretas jalan ke putaran final Piala Dunia FIFA.
Bukan hanya Vietnam dan Thailand yang was-was, Malaysia juga begitu. Bahkan peringkat FIFA negara inilah yang kemungkinan disalip lebih dulu oleh Indonesia.
Sementara itu, beberapa negara Asia Tenggara berusaha realistis, dengan mempertimbangkan langkah yang sudah ditempuh Indonesia dalam melibatkan atlet naturalisasi. Salah satu yang tampaknya ingin mengadopsi program naturalisasi adalah Singapura.
Bahkan Singapura sudah mencetuskannya tahun lalu ketika pada Mei 2023, Presiden Federasi Sepak Bola Singapura, Bernard Tan, meminta negaranya mempertimbangkan atlet naturalisasi demi meningkatkan kualitas timnas mereka.
Seperti para penggemar sepak bola di Singapura, Bernard Tan mungkin sudah jenuh menanti hadirnya timnas yang berbicara banyak dalam ajang-ajang internasional.
Keinginan Bernard Tan dalam merekrut pemain naturalisasi mungkin kian menggebu-gebu saat ini ketika Singapura di ambang terlempar dari babak kedua kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia.
Singapura baru mengumpulkan satu poin setelah satu kali seri dan tiga kali kalah dari empat pertandingan.
Tak sporadis
Namun, negara-negara itu mungkin tak tahu bahwa proses naturalisasi atlet di Indonesia ditempuh melalui proses panjang yang bahkan sekarang dibarengi pula dengan syarat lain bahwa calon-calon pemain naturalisasi harus memiliki darah Indonesia.
Belanda adalah salah satu negara yang memiliki populasi keturunan Indonesia yang besar. Tak heran kebanyakan pemain naturalisasi Indonesia berasal dari negara itu yang memiliki iklim sepak bola yang bagus.
Bandingkan dengan yang dilakukan negara-negara seperti China yang pernah menaturalisasi banyak pemain Brazil, yang secara etnik dan sosio-kultural tak ada hubungannya dengan China.
Bahkan dalam cabang-cabang seperti bola basket, China berani menaturalisasi atlet-atlet bintang yang tak sedikit pun memiliki akar China, salah satunya forward Minnesota Timberwolves, Kyle Anderson, dari liga basket profesional NBA di Amerika Serikat.
Mantan gelandang Arsenal dan Brentford, Nico Yennaris, yang lahir dan besar di Inggris serta sama sekali tak berdarah China, menjadi pesepak bola naturalisasi pertama yang dipanggil masuk Timnas China pada 2019.
Indonesia nyaris tak melakukan hal sejauh seperti dilakukan China, apalagi melakukan hal yang sudah ditempuh Kamboja pada SEA Games 2023.
Dalam SEA Games edisi tahun lalu itu, Kamboja menempuh langkah kontroversial dengan menurunkan atlet-atlet naturalisasi pada banyak cabang olahraga, mulai basket sampai atletik.
Asal atlet-atlet naturalisasi ini pun beragam, ada yang asli Korea Selatan, Hong Kong, Pakistan, India, China, tapi juga ada beberapa atlet berdarah campuran Kamboja-Amerika.
Naturalisasi yang dilakukan Indonesia tidak sporadis seperti dilakukan Kamboja itu.
Bukan hanya tak mau asal naturalisasi, tapi juga melakukannya secara terbatas di sejumlah kecil cabang olahraga, di antaranya sepak bola, yang itu pun merupakan program jangka pendek, seperti sudah ditandaskan Wakil Ketua Umum PSSI Zainudin Amali beberapa waktu lalu.
Pelatih Shin Tae-yong sendiri menerapkan kriteria dasar bahwa pesepak bola yang boleh dinaturalisasi untuk memperkuat timnas harus memiliki darah Indonesia atau memiliki leluhur orang Indonesia.
Dengan kata lain, naturalisasi yang ditempuh Indonesia tak hanya ditujukan untuk meningkatkan kualitas tim olahraga, tapi juga dengan mempertimbangkan identitas keindonesiaan.
Copyright © ANTARA 2024
Tags: