Semarang (ANTARA) - Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia mengimbau pembentuk undang-undang segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat menjadi undang-undang, mengingat RUU ini mengendap di parlemen kurang lebih 17 tahun.

Ketua Umum APHA Indonesia Prof. Dr. St. Laksanto Utomo, S.H., M.Hum. mengatakan bahwa konstitusi memberikan atribusi kekuasaan eksekutif dan legislatif serta preskripsi kewenangan dalam membentuk undang-undang (UU).

"Kami mendukung para penggugat dengan mengambil posisi sebagai sahabat pengadilan (amicus curiae) yang mengimbau agar DPR RI dan Presiden RI segera membentuk UU Masyarakat Hukum Adat," kata Prof. Laksanto ketika dikonfirmasi ANTARA dari Semarang, Selasa pagi.

Prof. Laksanto yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (UbharaJaya) mengemukakan hal itu terkait dengan Surat Nomor 019/PPMAN/VII/2023 tertanggal 24 Juli 2023 perihal permohonan pembentukan UU tentang Masyarakat Hukum Adat.

Pernyataan pakar hukum adat itu terkait pula dengan gugatan Perkara Nomor 542/G/TF/2023/PTUN.JKT dan dinamika proses persidangan yang sudah memasuki tahap pembuktian.

Sehubungan dengan gugatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) terhadap pembentuk undang-undang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, pihaknya mempercayakan kepada Yamin, S.S.,S.H.,M.Hum.,M.H. dari Tim Advokasi APHA Indonesia untuk mendukung para penggugat.

Sebagai amicus curiae, APHA Indonesia mendukung penggugat sebagai pencari keadilan agar majelis hakim yang memeriksa dan mengadili Perkara Nomor 542/G/TF/2023/PTUN.JKT mengabulkan gugatan penggugat untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat hukum adat.

Dalam hal ini, lanjut Prof. Laksanto, masyarakat adat sebagai subjek yang harus diakui dan dilindungi eksistensinya demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang berdasarkan Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Pada kesempatan itu, dia mengingatkan kepada pembentuk undang-undang bahwa Pasal 18 B Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam undang-undang.

Di samping itu, kata Prof. Laksanto, Indonesia telah meratifikasi beberapa instrumen hukum internasional yang disahkan melalui undang-undang sebagai landasan yuridis melalui taraf sinkronisasi horizontal.

Ia menyebutkan Indonesia telah meratifikasi ICCPR pada tanggal 28 Oktober 2005 melalui UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang disertai dengan deklarasi terhadap Pasal 1 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.

"Selain itu, UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya)," ujarnya.

Baca juga: AMAN desak DPR segera sahkan RUU Masyarakat Adat
Baca juga: Tokoh: Realisasi UU masyarakat adat perlu jadi fokus pemimpin terpilih