Anak dengan spektrum autisme dapat didukung jadi orang hebat
2 April 2024 10:12 WIB
Ilustrasi. Pameran lukisan anak-anak autis yang diselenggarakan di Bentara Budaya Jakarta pada Senin (15/5/2023). (ANTARA/Lintang Budiyanti Prameswari)
Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr. Rini Sekartini mengatakan, anak dengan spektrum autisme dapat didukung potensinya hingga menjadi orang-orang hebat.
"Pada masa balita, kenali kemampuan atau kelebihan anak. Baik dari segi seni maupun ilmiah. Bila sudah diidentifikasi, sebaiknya berikan porsi latihan kegiatan tersebut lebih besar, ajak berkompetisi atau melakukan pameran hasil karyanya," kata Rini dalam pernyataannya yang diterima di Jakarta, Selasa.
Dia menjelaskan bahwa spektrum autisme adalah gangguan perkembangan saraf otak pada awal kehidupan, ditandai adanya defisit dalam 2 domain, yaitu interaksi sosial serta komunikasi serta perilaku dan aktivitas berupa pola perilaku stereotipikal, repetitif, restriktif, serta minat yang terbatas.
"ASD (autism spectrum disorder) bukan gangguan fungsional semata tetapi didasari oleh gangguan organik seperti perubahan neurokimiawi otak, kelainan neuroanatomi, dan faktor genetik," katanya.
Dia menjelaskan bahwa autisme bukan suatu penyakit infeksi, dan penanganan dapat dilakukan, antara lain berupa perbaikan perilaku anak, serta kemampuan mereka beradaptasi dan bersosialisasi.
Baca juga: Mengenal sejarah Hari Peduli Autisme Sedunia
Menurutnya, penanganan tersebut memerlukan waktu yang panjang, dan peran orang tua serta anggota keluarga lainnya krusial dalam hal itu. Keluarga, katanya, wajib mengulang latihan yang dilakukan seperti terapi bicara dan okupasi. Semua anggota keluarga perlu kompak dalam membantu anak dengan autisme untuk berkembang dan menjadi mandiri.
"Terapi dapat membantu meningkatkan fungsi dan kemampuan anak, tetapi terapi yang utama dan pertama adalah keluarga," katanya.
Dia menjelaskan bahwa terdapat dua faktor risiko autisme, yaitu genetik dan lingkungan. Pada faktor genetik, katanya, jika seseorang memiliki saudara laki-laki, saudara perempuan, saudara kembar, atau orang tua yang autis, kemungkinan besar seseorang juga mengidap autisme.
"Misalnya, jika salah satu kembar identik didiagnosis ASD, kemungkinan kembar lainnya juga autis adalah 60-90 persen," kata Rini.
Adapun faktor-faktor risiko lain, katanya, seperti kelahiran prematur, atau berat badan lahir sangat rendah. Dia juga mengatakan, risiko autisme lebih tinggi pada anak-anak dengan tuberous sclerosis dibandingkan pada mereka yang tidak menderita penyakit tersebut.
Dia juga menyebut bahwa autisme lebih sering dijumpai pada anak laki-laki daripada anak perempuan.
Baca juga: Apa perbedaan autisme dengan hiperaktif? Berikut penjelasan KND
"Studi menunjukkan bahwa paparan orang tua terhadap logam berat dan racun lingkungan lainnya selama kehamilan," dokter itu menambahkan.
Dia juga menyebut, pada faktor lingkungan lain, beberapa penelitian juga menunjukkan hubungan antara infeksi virus tertentu atau ketidakseimbangan metabolisme dan kemungkinan terlahir dengan autisme.
"Anak-anak yang lahir dari orang tua yang lebih tua juga memiliki peluang lebih besar, menurut CDC," katanya.
Ada juga faktor prenatal atau ketika kehamilan anak tersebut, katanya, antara lain obesitas, demam, gizi buruk, polusi udara, dan paparan pestisida.
Dia berharap pada momen Hari Autisme Sedunia 2024, ada perhatian lebih terhadap ketersediaan terapis, serta peningkatan jumlah institusi yang dapat mencetak terapis, sehingga anak-anak dengan spektrum autisme di seluruh Indonesia dapat menjalankan terapi dengan maksimal.
Baca juga: Dokter pastikan vaksin tidak menyebabkan autisme pada anak
"Pada masa balita, kenali kemampuan atau kelebihan anak. Baik dari segi seni maupun ilmiah. Bila sudah diidentifikasi, sebaiknya berikan porsi latihan kegiatan tersebut lebih besar, ajak berkompetisi atau melakukan pameran hasil karyanya," kata Rini dalam pernyataannya yang diterima di Jakarta, Selasa.
Dia menjelaskan bahwa spektrum autisme adalah gangguan perkembangan saraf otak pada awal kehidupan, ditandai adanya defisit dalam 2 domain, yaitu interaksi sosial serta komunikasi serta perilaku dan aktivitas berupa pola perilaku stereotipikal, repetitif, restriktif, serta minat yang terbatas.
"ASD (autism spectrum disorder) bukan gangguan fungsional semata tetapi didasari oleh gangguan organik seperti perubahan neurokimiawi otak, kelainan neuroanatomi, dan faktor genetik," katanya.
Dia menjelaskan bahwa autisme bukan suatu penyakit infeksi, dan penanganan dapat dilakukan, antara lain berupa perbaikan perilaku anak, serta kemampuan mereka beradaptasi dan bersosialisasi.
Baca juga: Mengenal sejarah Hari Peduli Autisme Sedunia
Menurutnya, penanganan tersebut memerlukan waktu yang panjang, dan peran orang tua serta anggota keluarga lainnya krusial dalam hal itu. Keluarga, katanya, wajib mengulang latihan yang dilakukan seperti terapi bicara dan okupasi. Semua anggota keluarga perlu kompak dalam membantu anak dengan autisme untuk berkembang dan menjadi mandiri.
"Terapi dapat membantu meningkatkan fungsi dan kemampuan anak, tetapi terapi yang utama dan pertama adalah keluarga," katanya.
Dia menjelaskan bahwa terdapat dua faktor risiko autisme, yaitu genetik dan lingkungan. Pada faktor genetik, katanya, jika seseorang memiliki saudara laki-laki, saudara perempuan, saudara kembar, atau orang tua yang autis, kemungkinan besar seseorang juga mengidap autisme.
"Misalnya, jika salah satu kembar identik didiagnosis ASD, kemungkinan kembar lainnya juga autis adalah 60-90 persen," kata Rini.
Adapun faktor-faktor risiko lain, katanya, seperti kelahiran prematur, atau berat badan lahir sangat rendah. Dia juga mengatakan, risiko autisme lebih tinggi pada anak-anak dengan tuberous sclerosis dibandingkan pada mereka yang tidak menderita penyakit tersebut.
Dia juga menyebut bahwa autisme lebih sering dijumpai pada anak laki-laki daripada anak perempuan.
Baca juga: Apa perbedaan autisme dengan hiperaktif? Berikut penjelasan KND
"Studi menunjukkan bahwa paparan orang tua terhadap logam berat dan racun lingkungan lainnya selama kehamilan," dokter itu menambahkan.
Dia juga menyebut, pada faktor lingkungan lain, beberapa penelitian juga menunjukkan hubungan antara infeksi virus tertentu atau ketidakseimbangan metabolisme dan kemungkinan terlahir dengan autisme.
"Anak-anak yang lahir dari orang tua yang lebih tua juga memiliki peluang lebih besar, menurut CDC," katanya.
Ada juga faktor prenatal atau ketika kehamilan anak tersebut, katanya, antara lain obesitas, demam, gizi buruk, polusi udara, dan paparan pestisida.
Dia berharap pada momen Hari Autisme Sedunia 2024, ada perhatian lebih terhadap ketersediaan terapis, serta peningkatan jumlah institusi yang dapat mencetak terapis, sehingga anak-anak dengan spektrum autisme di seluruh Indonesia dapat menjalankan terapi dengan maksimal.
Baca juga: Dokter pastikan vaksin tidak menyebabkan autisme pada anak
Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2024
Tags: